Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOHAMAD Sunjaya seperti tengah mementaskan dirinya sendiri. Di auditorium Pusat Kebudayaan Prancis, Bandung, untuk merayakan 70 tahun dirinya, ia memerankan seorang aktor tua bernama Robert yang membimbing seorang rekan mudanya bernama John (Wrachma Rachladi Adji). Mereka berdua bermain selama dua jam.
Panggung dibagi dua. Yang kecil seolah-olah untuk ruang ganti pemain, dengan kapstok penuh gantungan berbagai macam kostum, mantel, topi, dan sebuah meja rias yang di atasnya berserakan tisu, peralatan rias, rambut palsu, jenggot palsu. Akan halnya panggung besar, diandaikan sebagai sebuah proscenium.
Pertunjukan menampilkan percakapan kedua aktor itu di ruang rias dan kemudian latihan-latihannya. Inilah keunikan naskah David Memet, A Life in the Theatre. Sebuah naskah yang secara realis menampilkan kehidupan belakang panggung aktor-aktor teater. ” Jarang ada naskah teater yang membicarakan teater,” kata Wawan Sofwan, sutradara pementasan ini.
Nama David Memet boleh dikatakan kurang dikenal dalam jagat teater kita. Padahal ia memperoleh Pulitzer pada 1984 untuk naskah teaternya, Glengarry Glen Ross, dan banyak skenarionya untuk film terkenal seperti The Postman Always Rings Twice, adaptasi novel James M. Cain; Wag Dog yang dibintangi Dustin Hoffman dan Robert de Niro; atau The Untouchables, sebuah film tentang Al Capone karya Brian De Palma dengan pemain Kevin Costner, Sean Connery. Naskah A Life in Theatre ini sengaja diterjemahkan komunitas Actor Unlimited Bandung untuk menyambut 70 tahun Mohamad Sunjaya. Naskah yang dibuat Memet pada 1977 ini dianggap cocok dimainkan Sunjaya untuk menggambarkan keseniorannya sendiri dalam berteater.
Dan Mohamad Sunjaya, meskipun sebelum pertunjukan harus menghirup oksigen, selama dua jam mampu memperlihatkan akting tanpa ngos-ngosan. Penonton seolah menyaksikan bagaimana ia memang tengah mendidik generasi muda aktor Bandung. ”Di ruang ganti”, seraya membersihkan muka, ia membincangkan adegan-adegan yang dirasa kurang pas. ”Aku rasa ada yang salah dalam adegan meja makan tadi….”
Mengenakan syal, topi, lalu ia mengajak si John pergi ”ke luar”. Menikmati hawa terbuka, santai, mereka makan sembari membedah naskah-naskah yang mau dipentaskan. Mengkaji penjiwaan karakter-karakternya, unsur dramatiknya, serta intonasinya.
Teater ini memperlihatkan bagaimana sang aktor tua menggedor fisik dan batin si aktor muda. Mengenakan singlet putih, Robert memberikan pengarahan ketika suara John dalam latihan olah vokal tak menggetarkan. ”Suara harus keluar dari jiwa,” katanya. Yang menarik kemudian adalah ketika mereka mementaskan cuplikan berbagai adegan.
John tampil membawa pedang. Menjadi serdadu Inggris abad pertengahan, ia lantang berteriak, ”Waktu aku masih muda….” Tapi posisi badannya kurang gagah. ”Luruskan punggungmu,” kata Robert. Atau tatkala mereka berdua mengenakan pakaian pelaut, bergoyang-goyang di bangku seolah berada di sekoci yang dihantam badai.… ”Ada kapal, ada kapal.” Atau pada saat mereka seolah berada dalam pertunjukan benar, dan John di belakang panggung telat ragu-ragu muncul. Si tua memberikan wejangan. ”Aku tidak pernah gugup….”
Pertunjukan ini memperlihatkan bahwa percakapan yang terjadi di belakang panggung itu bukan hanya percakapan remeh. Bagai seorang bapak, Robert mententir John tentang harga diri teater, filsafat teater. ”Kita jangan mau jadi badut yang cuma menghasilkan kesenangan murahan...,” katanya.
Di situ hal-hal yang lucu, konyol, juga menyeruak. ”Itu handukku, Om,” kata John ketika melihat Robert salah comot. Atau sewaktu Robert terpeleset menggunakan pisau cukur, tangannya luka dan diperban. Juga tatkala John berteriak-teriak meminta Robert segera keluar karena penjaga gedung akan segera mematikan lampu.
Duet Mohammad Sunjaya-Wrachma Rachladi ini mengalir lancar. Tiap transisi adegan disisipi iringan piano memberikan atmosfer romantis. Menyuguhkan nuansa bahwa teater yang mereka lakoni adalah suatu pilihan yang eksistensial.
Dan itu memang mencerminkan kehidupan Mohammad Sunjaya sendiri. Di usianya yang lanjut, ia tetap merasa muda dan masih tertantang memainkan peran susah. Ia seperti Robert yang terus memberikan semangat agar John tidak kecut apalagi patah arang lantaran kritik yang ditulis media atas pertunjukan mereka. Kata Robert: ”Tukang bikin resensi itu tidak tahu apa-apa tentang teater. Apalagi mereka kan tidak beli tiket”.
Seno Joko Suyono (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo