Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gejolak di pasar negara-negara berkembang belum mereda. Perjalanan menuju keseimbangan baru, setelah The Federal Reserve menyedot likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar global, masih panjang. Dan selama keseimbangan itu belum tercapai, rupiah akan tetap tertekan. Itulah sebabnya kurs dolar tak mau menjauh dari Rp 15 ribu sepanjang pekan lalu.
Di tengah tekanan ini, statistik perdagangan Indonesia justru buruk. Ada defisit perdagangan pada Agustus 2018 sebesar US$ 1,02 miliar. Sebetulnya perdagangan non-minyak dan gas masih surplus US$ 640 juta. Tapi defisit perdagangan migas yang mencapai US$ 1,66 miliar menyapu habis surplus itu. Biang keroknya adalah impor bahan bakar minyak.
Dan kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor BBM kembali tak jelas. Tadinya pemerintah merencanakan penggunaan solar dengan campuran minyak sawit hingga 20 persen. Sejak awal, banyak orang ragu langkah ini dapat mengurangi impor solar hingga senilai US$ 2,3 miliar. Belum sempat implementasi kebijakan ini bergulir, pemerintah harus mengakui ada masalah pasokan minyak sawit untuk campuran solar.
Ada pula kesalahan penghitungan. Angka US$ 2,3 miliar itu ternyata asumsi penghematan jika program berjalan setahun penuh. Jadi, kalaupun kebijakan itu langsung efektif Oktober mendatang, keuntungannya hanya seperempat dari klaim US$ 2,3 miliar. Tak jelas bagaimana orang-orang pintar dalam pemerintahan bisa keliru menghitung hal terpenting yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Rencana itu pun harus kembali ke meja perencanaan, dus belum ada langkah konkret untuk meredam defisit migas.
Masalahnya, defisit migas tidak hanya menggerogoti cadangan devisa negara. Penggunaan BBM yang tak terkendali juga membebani anggaran pemerintah karena masih ada subsidi solar. Konsumsi naik, beban pemerintah juga naik.
Kerugian Pertamina dari penjualan Premium dan solar lebih mencemaskan karena perusahaan tak boleh menaikkan harga. Tak ada subsidi untuk Premium, sementara subsidi solar tetap Rp 2.500 per liter. Maka, ketika harga minyak dunia terus naik—pekan lalu harga minyak Brent sudah US$ 79,66 per barel—kerugian Pertamina kian menggunung.
Laba Pertamina sudah merosot tajam menjadi tak sampai Rp 5 triliun selama semester I 2018—tahun lalu masih Rp 18,7 triliun. Entah apa yang terjadi pada rupiah dan ekonomi Indonesia jika harga minyak terus melonjak dan pada akhirnya Pertamina gagal menyediakan BBM karena beban finansial yang tak tertahankan.
Ancaman ini dapat teratasi hanya jika pemerintah berani menaikkan harga BBM. Sayangnya, musim kampanye sudah tiba dan presiden tak berani mengambil risiko politik yang begitu besar. Boleh dibilang pemerintah kini mempertaruhkan nasib ekonomi Indonesia pada harga minyak. Semoga harganya tidak terus melonjak.
Soal BBM bukan satu-satunya perkara pelik yang membuat pemerintah gamang. Ada pula masalah impor beras yang membuat kementerian dan lembaga negara bertikai. Bahkan sampai ada kata kasar terlontar dari pejabat tinggi. Belum lagi masalah defisit yang mencekik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Ujung-ujungnya, defisit ini tentu membebani keuangan pemerintah.
Di tengah berbagai kekisruhan dan kegamangan pengambilan kebijakan, dana asing yang parkir di investasi portofolio terus mengalir pulang. Dari bursa saham, dalam sebulan terakhir saja, Rp 2,13 triliun hengkang. Dari pasar obligasi pemerintah, sejak awal September hingga Selasa pekan lalu, sudah Rp 21,1 triliun yang terbang pulang.
Pasar memang terus mencermati dengan saksama. Jika respons kebijakan pemerintah tak memuaskan, aliran dana keluar itu bisa makin kencang. Minusnya investasi portofolio ketika neraca dagang dan transaksi berjalan tengah defisit menjadi kombinasi yang sangat membahayakan daya tahan rupiah.
Yopie Hidayat
Kontributor Tempo
Sinyal Pasar - Kebijakan Gamang Di Tengah Gejolak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo