Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Strategi Liar Seorang Demonstran

Dari memburu kereta api sampai pengempisan ban mobil menteri. Berdebat sengit dengan tentara.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM belum kehilangan sunyi. Markas Batalion Yani, Laskar Arief Rahman Hakim, yang berada di seberang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat, malam itu tiba-tiba seperti menggelegak. Malam pada pertengahan Januari 1966 itu menjadi saksi betapa briliannya Soe Hok-gie, aktivis yang menjadi motor penggerak demonstrasi-demonstrasi mahasiswa.

Malam itu, puluhan mahasiswa yang berkumpul di Laskar Arief Rahman Hakim tiba-tiba bergerak menggeruduk Stasiun Gambir. Ada yang bergegas naik sepeda. Sebagian lagi menggeber skuter mereka. Ada pula yang berlompatan ke bak pikap milik salah seorang mahasiswa. Di sudut bak, teronggok setumpuk pamflet perjuangan.

Sesampai di Stasiun Gambir, para mahasiswa itu memburu kereta-kereta yang akan berangkat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pamflet dan poster berisi Tiga Tuntutan Rakyat atawa yang dikenal sebagai Tritura—tuntutan agar harga bahan kebutuhan pokok diturunkan, Partai Komunis Indonesia serta organisasi kemasyarakatannya dibubarkan, dan kabinet dirombak—ditempelkan di gerbong-gerbong kereta.

"Agar pesan-pesan itu sampai ke Jawa," kata Sarlito Wirawan Sarwono, mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saat ditemui di kampus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, September lalu. Membuat pesan go viral di "zaman batu" saat tiada Internet, Facebook, atau Twitter seperti pada tahun itu bukanlah pekerjaan gampang. Tapi Soe Hok-gie menemukan caranya: via kereta!

"Banyak ide liar dia yang dieksekusi Batalion Yani, laskar mahasiswa Fakultas Sastra dan Psikologi," ujar Sarlito, kawan seperjuangan Hok-gie. Sarlito mengenal pemuda bertubuh kecil itu melalui kakaknya, Arief Budiman.

Unjuk rasa mahasiswa Sastra dan Psikologi Universitas Indonesia itu menjadi salah satu dari rentetan demonstrasi Angkatan 1966 untuk menolak PKI dan Sukarno. Biasanya, mahasiswa Fakultas Sastra yang berada di kampus UI di Rawamangun melakukan long march ke kampus Fakultas Psikologi di Salemba. Aksi mahasiswa ini dipimpin Ketua Senat Fakultas Sastra Herman Onesimus Lantang. Perancang aksi ini Soe Hok-gie, Boeli Londa, dan Jopie Lasut.

"Demo anak Sastra selalu menarik perhatian karena pesertanya sebagian besar perempuan. Gaya mereka beda," kata Herman, September lalu, saat ditemui di bumi perkemahan miliknya di kaki Gunung Salak, Kabupaten Bogor.

Selama Januari-Maret 1966, banyak ide jenius Gie dan Herman yang muncul saat merancang unjuk rasa mahasiswa Sastra dan Psikologi. Salah satunya, para mahasiswi meletakkan bunga di pucuk senapan tentara seraya berkata, "Bapak-bapak juga punya anak dan istri, bukan?" Aksi itu membuat para anggota pasukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdiam. "Kala berhadapan dengan perempuan, hati tentara langsung lumer," ujarnya.

Herman bertugas mengerahkan massa, sementara Gie membakar massa dengan orasi. Kata-kata Hok-gie selalu seperti menyihir para pengunjuk rasa. "Saat dia berorasi, semua terdiam."

Berkat Hok-gie, para aktivis seperti tak pernah kekeringan ide untuk berunjuk rasa. Mengapa bersepeda? "Tujuannya membikin kemacetan," kata Gie seperti tertulis dalam buku Catatan Seorang Demonstran.

Itu dilakukan di depan Istana Bogor ketika berlangsung sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966. Dari kampus Salemba, para mahasiswa menaikkan sepeda-sepeda itu ke truk. Sesampai di Bogor, sepeda-sepeda diturunkan dan langsung membuat perhatian tentara yang berjaga terpecah.

Ide-ide kreatif untuk berunjuk rasa dari Gie ini dibenarkan Ketua KAMI Jaya masa itu, Marsillam Simanjuntak. Pada 22 Februari 1966, Gie dan Marsillam merancang demonstrasi mahasiswa dengan menyusup ke dalam apel setia kepada Bung Karno di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Gie mengusulkan mahasiswa UI membuat tanda pengenal sebagai antisipasi jika terjadi chaos. "Dia minta satu celana dilipat yang menandakan itu aksi mahasiswa UI, selain memakai jaket almamater kuning," kata Marsillam, awal September lalu.

Ide lain, Marsillam menuturkan, ketika berlangsung aksi Tritura pada 10 Januari 1966, Gie bahkan mengusulkan pengempisan ban-ban mobil anggota Kabinet Dwikora. "Agar mereka tidak bisa bergerak."

Situasi unjuk rasa saat itu memanas karena sebagian mahasiswa tidur di jalanan menghadang panser. Sebagian lain memblokade Jalan Nusantara dan Harmoni. Mereka duduk-duduk di jalanan. Mahasiswa yang beragama Islam melakukan salat di tengah jalan. "Mereka bersujud pada-Nya, di tengah matahari, mereka berpuasa, mereka menyembah Tuhan, dan mereka berjuang untuk rakyat yang melarat," kata Gie mengenang peristiwa itu seperti dikutip dari Catatan Seorang Demonstran.

Juru bicara KAMI, Ismid Hadad, menuturkan, Hok-gie brilian mencari perhatian. Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia yang dipimpinnya bersama Gie pernah menggelar pawai alegoris. "Kami berbaris dalam kelompok besar dengan memakai busana daerah sambil membawa poster membangkitkan kesadaran massa."

Ia pun mengakui keuletan Hok-gie dan Jopie Lasut dalam memimpin aksi mahasiswa Sastra dan Psikologi. Ketika memimpin demonstrasi KAMI di depan kantor Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh di Sekretariat Negara, Ismid tak berhasil membujuk menteri yang bertanggung jawab menaikkan harga bahan kebutuhan pokok itu keluar. "Tapi Hok-gie dan sejumlah teman berhasil menyusup ke dalam dan memaksa Chaerul Saleh keluar menemui kami," ujar Ismid.

"Soe Hok-gie adalah paket komplet seorang demonstran," begitu kata Cornelis Joost Katoppo atau Josi Katoppo, sahabat Gie yang juga mahasiswa Publisistik UI. "Dia itu pandai berbicara, cerdas, matang, dan nekat."

Josi menyaksikan sendiri kenekatan Gie ketika memimpin demonstrasi di depan kantor Comite Central PKI di Kramat, Senen, Jakarta Pusat. "Saat kami lari karena dihadang panser, ia justru melompat ke depan dan menghadangnya," ujar Josi, yang saat itu bekerja sebagai pewarta foto United Press International. "Ia orang paling berani yang pernah saya temui."

Ia menyebut satu peristiwa yang merontokkan nyalinya: kala berboncengan dengan Gie menyusuri Jalan Cikini. Di jalan, mereka dihadang rombongan tentara yang sedang menertibkan preman berbaju ala TNI. "Kami disuruh melepas jaket UI, tapi Gie menolak." Nyali Josi sudah di titik terendah. Ia hampir membuka jaketnya, tapi dicegah Gie. Perdebatan sengit terjadi antara Gie—yang berbadan kecil dan ringkih—dan kawanan tentara itu.

Gie akhirnya diringkus dan diangkut dengan truk tentara. Adapun Josi membuntuti dengan mengendarai Vespa di belakangnya. Setelah sempat diinterogasi di markas tentara, Gie dilepas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus