Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Komunis dan Map Hijau

Saya sadar betapa sulitnya untuk menanamkan kembali rasa hormat manusia-manusia Indonesia yang dibesarkan dalam suasana "mass murder" ini terhadap hidup. Bagi saya, kehidupan adalah sesuatu yang agung dan mulia.
— Surat kepada Boediono, 26 November 1967

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Burung tanpa Kaki

Dia menyebarkan gagasannya melalui kelompok diskusi kecil dan artikel kritis di media massa.

NAMANYA Shane. Koboi itu datang ke sebuah kota kecil untuk membela warga dari serangan bandit. Setelah bandit disingkirkan dan warga berunding tentang hadiah bagi penolong mereka, Shane diam-diam memacu kudanya menuju perbukitan. Joey, seorang bocah yang mengaguminya, terus memanggil-manggilnya: "Shane! Kembali, Shane!"

Shane tak pernah kembali.

Soe Hok-gie mengisahkan jalan hidup Shane dalam film Shane itu melalui siaran Radio UI, radio mahasiswa Universitas Indonesia, pada April 1966. "Cerita itu berkali-kali mengilhami Hok-gie. Di surat disebut dan film itu diceritakan dengan bagus oleh Arief Budiman dalam sebuah resensi untuk Indonesia Raya," kata Yosep Adi Prasetyo, sahabat Arief, kakak Gie.

Bagi Gie, pilihan hidup Shane menjadi amsal bagi peran mahasiswa, yang disebutnya "the happy selected few" (sedikit orang terpilih yang berbahagia) yang dapat kuliah. Dalam Catatan Seorang Demonstran (1983), dia menulis bahwa mahasiswa harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dia berusaha meyakinkan teman-temannya, seperti Ismid Hadad dan Nugroho Notosusanto, agar mahasiswa mulai bertindak. "Kalau rakyat terlalu melarat, mereka akan bergerak sendiri. Kalau ini terjadi, akan terjadi chaos."

Pada 2 Januari 1966, Gie bersama aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Boeli Londa, mendatangi rumah Jopie Lasut. "Kita harus bertindak cepat dengan ikut memberikan ide-ide serta mengarahkan massa," kata Gie, seperti dituturkan Jopie dalam tulisannya, "Menyongsong Hari Kebangkitan Mahasiswa 10 Januari: Sekali Lagi Soe Hok-gie", di Sinar Harapan edisi 8 Januari 1970.

Gie ikut dalam berbagai demonstrasi mahasiswa, termasuk yang digalang Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan bahkan merancang long march dari kampus Universitas Indonesia di Salemba ke Rawamangun pada 11 Januari 1966. Tapi dia bukan anggota KAMI, tidak punya organisasi massa, bukan pula pejabat teras organisasi kampus. "Bagi Hok-gie, mahasiswa tak seharusnya berpolitik praktis," ujar Aristides Katoppo, wartawan Sinar Harapan dan kawan Gie.

Tapi, tutur Aristides, Gie adalah salah satu tokoh intelektual kampus. Gie, kata Ismid Hadad, juru bicara KAMI, lebih suka terlibat dalam kelompok-kelompok diskusi kecil untuk menyebarkan gagasannya. Pada kelompok yang lebih besar, yakni Grup Diskusi UI, Ismid, Gie, Arief Budiman, Aristides, dan Sjahrir kerap membincangkan jalan keluar dari kepengapan politik saat itu. Dari kelompok-kelompok diskusi itulah para mahasiswa merancang aksi. Gie, Jopie, Boeli, dan Herman Onesimus Lantang menggerakkan mahasiswa Fakultas Sastra dan Psikologi UI.

Meski tak menyukai organisasi massa di luar kampus, menurut Aristides, Gie memiliki kelebihan yang tak banyak dimiliki orang lain. "Dia punya akses ke HMI, PMKRI, pimpinan KAMI, bisa berdebat dengan sangat percaya diri, dan mendapat pintu bertemu Rektor UI," ujarnya.

Tapi senjata utama Gie adalah penanya yang tajam. Lewat tulisan-tulisannya di Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan Mahasiswa Indonesia, dia menyebarkan gagasan dan mengungkapkan kegusaran hatinya. Dia juga memanfaatkan Radio Ampera dan Radio UI. "Perjuangan mahasiswa bukan sekadar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakkan keadilan dan kejujuran. Jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya," tulis Gie dalam catatan hariannya, 13 Januari 1966.

Dia mengkritik Presiden Sukarno, menteri sontoloyo, pejabat korup, mahasiswa munafik dan terlibat polemik tentang "pelacuran intelektual", serta para cendekiawan yang mengotori diri dengan menjadi pejabat publik. Dia juga mengkritik para "jenderal" KAMI yang menerima tawaran menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-royong. Ia memandang sinis pada eksponen 1966 yang sibuk memperebutkan mobil Holden ketimbang menyuarakan kepentingan rakyat. Menurut Ismid, tulisan Gie dapat membuka mata situasi saat itu karena isinya kritis dan analitis, "Tapi disampaikan dengan bahasa simpel dan populer."

Aristides, yang pada 1966 menjabat redaktur pelaksana Sinar Harapan, mengaku kerap meminta Gie menulis tentang situasi sosial. "Saya ingin mendapatkan perspektif yang segar," katanya. Sebab, menurut dia, tulisan Gie bisa mencerminkan zamannya. "Dulu wartawan kebanyakan partisan, sedangkan Gie bisa melihat sejarah dan sangat independen."

Pergantian rezim juga ditandai oleh pembantaian orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia di Bali dan Purwodadi, Jawa Tengah. Hok-gie mendatangi lokasi pembantaian di Purwodadi dan melaporkan secara detail peristiwa itu. Tulisan yang menggunakan nama samaran Dewa itu dimuat di Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat pada Desember 1967. Ini tulisan pertama cendekiawan Indonesia tentang pembunuhan massal tersebut.

Tekanan dan ancaman pun harus dihadapinya. "Saya mendapat peringatan karena tulisannya mengguncang ABRI pada masa Orde Baru," kata Aristides. Seorang intelijen tentara pernah mengancamnya agar tidak memuat tulisan Gie. Suatu hari, Aristides dan Gie diserempet mobil saat menyusuri Kota Jakarta. Setelah kasus penyerempetan itu, kawannya mengatakan, "Karena dia temanmu, peringatannya kecil saja."

Gelombang unjuk rasa mahasiswa, kudeta gagal pada 30 September 1965, dan krisis ekonomi yang membuat harga melambung menjadi badai yang akhirnya menumbangkan Presiden Sukarno. Para eksponen gerakan mahasiswa, yang dekat dengan kelompok militer selama periode aksi-aksi itu, merapat ke kekuasaan dan mendapat berbagai jabatan di pemerintahan dan parlemen.

Tapi Gie memilih jalan sunyi. "Dia ditawarin Presiden Sukarno jadi Kepala Museum Monumen Nasional," kata Rudy Badil, rekannya sesama pendaki gunung, awal September lalu. Gie menolaknya.

Seperti Shane, Gie bagaikan memacu kudanya meninggalkan kota yang sudah diselamatkan. Dia lebih memilih menjadi dosen di almamaternya. "Boedi, saya telah out of politics.... Bagaimana bersihnya kau datang, kau akan keluar dengan kotor sekali. Dan, saya telah keluar," tulis Gie dalam sepucuk surat kepada sahabatnya, Boediono, tertanggal 26 November 1967.

Namun Gie adalah orang yang tak bisa diam. Di kampus pun dia tetap getol mengkritik korupsi di fakultasnya. Mesin tiknya terus mencetak artikel-artikel yang menyerang ketidakberesan di pemerintahan. "Rasanya saya adalah seekor burung yang tak punya kaki. Jadi, saya terpaksa terbang terus di antara awan-awan dan tanah. Tetapi, sebelum saya mati saya masih dapat berkata, 'Ya, saya telah hidup dan merasai panas dan hujan'," tulisnya dalam sepucuk surat kepada Nurmala Kartini Panjaitan bertanggal 23 Juli 1968.

Ketika protes-protes mahasiswa mereda, Gie berpendapat, sudah waktunya mereka menulis kegiatan-kegiatan di belakang layar yang mendahului aksi-aksi mahasiswa pada tahun itu. "Kita harus mulai menginterview orang-orang itu mumpung mereka masih hidup," katanya. Dan dialah orang di balik layar aksi mahasiswa 1966, yang lebih dulu pergi pada 16 Desember 1969.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus