Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namaaz tidak terlihat seperti restoran-sejuta-rupiah-sekali-makan. Letaknya di lantai dua sebuah rumah toko di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Untuk ke sana, kita harus masuk ke Rumah Makan Magali, yang menjual kambing goreng seharga Rp 13 ribu per porsi. Di ujung, ada tangga dengan lantai keramik bocel-bocel menuju lantai dua, tempat Namaaz berada.
Ruang makan di Namaaz hanya seluas 4 x 4 meter. Meja-kursi untuk delapan orang serta dua tabung nitrogen cair dan kompresor angin yang biasa dipakai tukang cat mengisi ruangan itu. "Banyak pelanggan kaget dan tak menyangka tempatnya seperti ini," kata Andrian Ishak, pemilik sekaligus koki kepala di Namaaz.
Para pelanggan kudu mengeluarkan Rp 910 ribu untuk sekali makan malam. Pantas saja, mereka kaget. Tapi janji Namaaz tentang "hidangan molecular gastronomy"—cara memasak mutakhir yang hanya diterapkan sedikit restoran di dunia—rupanya memikat banyak lidah. Untuk mendapat satu dari delapan kursi di ruangan itu, kita harus memesan berpekan-pekan sebelumnya via Internet.
Di Indonesia, kedai molecular gastronomy baru ada satu ini. Dan, tolong jangan berharap menemukan suasana fine dining dengan sendok dan garpu perak. Andrian tidak menjanjikan kemewahan. Yang dia berikan adalah harapan akan pengalaman makan malam yang luar biasa. Dan itu yang dia upayakan setiap malam.
Mari kita lihat beberapa detail "keluarbiasaan" ini. Di sebelah ruang makan, ada dapur dibatasi kaca—mirip etalase toko. Kita bisa melihat Andrian meracik makan malam lewat kaca yang penuh coretan spidol hitam: angka-angka pecahan desimal dan simbol-simbol kimia serta matematika. Setiap kelompok rumus berada di bawah nama makanan seperti sayur asam. Itu resepnya. Andrian menyalinnya dari satu kitab tulis hitam yang lebih mirip lembar jawaban PR kimia dibanding buku resep. Molecular gastronomy memang amat mengandalkan ilmu pengetahuan alam.
Para koki molecular gastronomy tak hanya ditantang membuat makanan enak. Mereka harus mampu menyelidiki dan menerapkan sejumlah rumus fisika dan kimia dalam memasak. Batas laboratorium dan dapur amat tipis. Maka ada yang menyebut cara ini sebagai culinary physics (fisika kuliner) atau experimental cuisine (masakan eksperimental).
Sejak akhir 1990-an, cara ini menjadi topik hangat di dunia kuliner. Selain Alenia yang dikomandani Grant Achatz, ada restoran El Bulli di Spanyol yang amat terkenal. Di sanalah Chef Ferran Adria membuat makanan-makanan ajaib. Ada juga Wylie Dufresne yang membuka tempat makan bernama wd-50. Tujuan mereka? Membuka pintu baru dalam dunia masak-memasak.
Cara memasak selama ribuan tahun, seperti merebus, mengukus, dan menggoreng, diganti dengan cara baru seperti memakai nitrogen cair atau memasukkannya ke ruang hampa udara.
Cara itu yang dipakai sang koki untuk memasak makanan Indonesia di Namaaz. Memulainya tahun lalu dan belajar tanpa guru, pria muda ini dapat dianggap pelopor molecular gastronomy di Indonesia. Lompatan itulah yang membuat kami memilihnya sebagai tokoh kuliner pertama Tempo.
Konsistensi dia tentu perlu diuji, tapi karena penghargaan ini bukan lifetime achievement award dan terikat pada kurun tertentu (tahun 2012), konsistensi sekian tahun bukanlah inti penilaian. Mungkin juga ada kritik bahwa apa yang dilakukannya sebagai "kegenitan" belaka. Tapi dia, setidaknya, berani mencoba hal yang tak pernah disentuh chef Indonesia lainnya.
Tepat pukul delapan malam, pramusaji yang berjas hitam membagi lembaran menu. Sekilas seperti menu di restoran lain, hanya terlihat lebih kecil, 10 x 15 sentimeter. Ada 17 makanan dan minuman tertulis di situ. Saat kita membaliknya, di lembar belakang tertulis: "Think about molecular gastronomy? Please eat this menu!" Ya, lembar menu itu bisa dimakan karena terbuat dari nanas. Pada musim kedua yang dimulai pekan ini, menu terbuat dari martabak manis.
Selanjutnya ada sejumlah starter, seperti Leci. Berbeda dengan buah leci biasa yang airnya ada di luar buah, leci ini airnya ada di dalam buah. Entah bagaimana Andrian mengeluarkan biji dan "menjahit" kembali buah itu agar bisa menampung air. Selanjutnya pramusaji membawa pot kecil dengan tanah dan tanaman hijau di atasnya. Tanaman dan tanah merah kecokelatan itu adalah kemangi yang "ditanam" di atas oncom. Di balik "tanah" itu ada tahu dan sambal yang rasanya berlapis-lapis.
Sejumlah hidangan hanya memanfaatkan kecanggihan sains untuk membuat tampilan memukau. Misalnya Udang di Balik Batu. Ini sebongkah perkedel yang terlihat seperti batu sungguhan dengan udang di dalamnya. Atau semangka di Rujak Buah yang mirip daging mentah; Es Campur yang buah-buahnya dimasukkan ke bola bening hingga mirip snow globe; Pencuci Mulut, kue dari walnut dan cokelat putih yang dibentuk amat mirip sabun batang lengkap dengan busa. Buah cherry biasanya ada di atas black forest. Andrian membuat black forest di dalam buah cherry.
Tapi tidak semua begitu. "Tantangannya bukan hanya menggunakan cara canggih dalam memasak, melainkan bagaimana masakannya harus sangat enak," kata Andrian.
Sejumlah hidangan lain benar-benar memanfaatkan molecular gastronomy untuk mendapatkan rasa baru. Misalnya, ia membuat Telur Balado yang kuning telurnya tidak kering seperti kuning telur rebus atau meleleh karena setengah matang. Kuning telur itu kenyal, liat, dan teksturnya tak mungkin didapat dari cara memasak konvensional. Kita bisa juga mencoba Semur Daging dari daging tenderloin biasa, tapi punya kelembutan wagyu. Si koki memakai cara sous vide: daging dimasukkan ke kantong plastik khusus kedap udara, direbus dalam air selama tiga jam. Hasilnya, daging itu masak merata, masih juicy, dan merah.
Setelah tiga jam dan 16 menu, tamu akan disuguhi Es Teh Lemon Panas. Es kok panas? Ya, dalam satu cangkir, ada es teh lemon dan teh lemon panas. Keduanya tidak bercampur, meski cangkir itu tak disekat. Kalau kita minum tepat di tengah, mulut kiri kita akan mereguk es teh dan mulut kanan dialiri teh panas. Tahu berapa lama Andrian mempersiapkan delapan cangkir teh itu? Tiga puluh enam jam! Waktu memang salah satu bagian dari resep. Untuk membuat Es Campur dalam bola kristal itu Andrian membutuhkan 16 jam.
Perlu seorang koki sinting untuk membuat makanan seperti itu. Dan, Andrian punya stok "kegilaan" berlimpah, yang terwujud dalam rupa-rupa kreasinya di Namaaz. Saat kuliah, dia pernah ikut lomba menggambar. Kertas gambar selebar meja dan waktu tiga jam hanya menghasilkan gambar sebesar kepala sendok.
Jika sudah terobsesi pada sesuatu, pria 36 tahun ini sudi tenggelam di dalamnya. Memasak adalah obsesinya saat ini. Ayahnya, Haji Ishak, pemilik katering kambing guling, adalah orang yang paling berpengaruh dalam hal ini. Mau keluar atau masuk rumah, ia pasti melewati pegawai yang sedang memasak.
Lulusan manajemen perhotelan NHI, Bandung, ini enggan disebut chef. "Saya tidak pernah belajar secara profesional atau menjadi koki kepala di restoran," katanya. "Saya lebih senang disebut sebagai seniman."
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo