Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bersemi karena Kenaikan Konsumsi

Efek musiman Ramadan mulai dinikmati pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bagaimana menjaga momentum pertumbuhan ini?

 

20 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung memilih pakaian gamis yang dijajakan pedagang di atas mobil di Pasar Tasik Cideng, Jakarta, 20 Maret 2023. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ramadan tahun ini jadi momentum pemulihan usaha kecil.

  • Perputaran uang yang lebih tinggi di masa Ramadan akan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.

  • Pemerintah melancarkan berbagai strategi untuk menjaga momentum pemulihan bisnis UMKM.

SEPEKAN menjelang Lebaran, Nuraeni, 47 tahun, sibuk menyelesaikan pembuatan tunik terakhirnya. Pakaian wanita itu jadi produk kesembilan yang ia buat sejak dua bulan lalu. "Semuanya pesanan buat Lebaran," tuturnya kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjahit asal Brebes ini tak menyangka bisa memproduksi pakaian sebanyak itu di rumahnya. Sejak dua bulan lalu, permintaan masuk bergantian. Kondisi tahun ini jelas jauh berbeda dengan Ramadan tiga tahun terakhir, di mana Nuraeni mengaku sangat sulit mendapatkan order jahitan. "Waktu pandemi, (membeli atau menjahit) baju kan bukan pilihan utama masyarakat."  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan permintaan juga dirasakan pengusaha bingkisan Lebaran alias hampers, Dinda Audriene. Selama Ramadan ini, pesanan paket makanan dan minuman berdatangan hingga wanita berusia 30 tahun ini mengantongi omzet lebih dari Rp 30 juta. "Angkanya naik berkali lipat dibanding tahun lalu," ujarnya. 

Selain karena ada kenaikan daya beli, pertumbuhan penjualan tersebut berkat upaya Audriene mengembangkan pasarnya. Akun instagram @jajandirumah yang ia gunakan untuk berdagang menjangkau semakin banyak pengguna. Tahun ini dia bahkan menerima pesanan pembuatan hampers dari salah satu badan usaha milik negara. 

Ramadan kali ini diperkirakan menjadi musim semi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk menggenjot pemasukan, setelah tiga tahun terakhir usaha mereka lesu dihantam pandemi. Head of Mandiri Institute, Teguh Yudo Wicaksono, mengatakan momentum Ramadan selalu memicu kenaikan permintaan dan konsumsi.

Menjelang bulan puasa saja, dia mencatat ada kenaikan belanja rata-rata 4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Belanja barang keperluan sehari-hari, busana, hingga perlengkapan rumah tangga dan elektronik paling banyak diminati. "Seiring dengan perkiraan aktivitas mudik yang akan lebih masif di tahun ini, belanja masyarakat diperkirakan meningkat signifikan menjelang Lebaran," ujarnya.  

Tapi faktor pendorong pertumbuhan konsumsi ini bukan hanya bulan suci dan hari raya. Teguh mengatakan, penghapusan pembatasan mobilitas masyarakat atau PPKM di akhir tahun lalu meningkatkan aktivitas ekonomi di awal 2023. Meskipun lajunya pada dua bulan pertama masih tertahan kenaikan inflasi. Dia menyebut stabilitas inflasi penting untuk menjaga momentum kenaikan konsumsi ini.

Pekerja menyelesaikan pembuatan kue di rumah produksi kue kering Pusaka Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, 4 April 2023. Tempo/Tony Hartawan

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyatakan momentum puasa dan Lebaran juga akan memberikan efek musiman yang berdampak positif kepada kinerja pertumbuhan ekonomi, dengan proyeksi pertumbuhan di kisaran 5-5,3 persen. Menurut dia, salah satu faktor pendorongnya adalah tingkat konsumsi masyarakat yang masih stabil.

Hal itu terlihat dari indeks keyakinan konsumen yang masih stabil di tingkat yang tinggi, yakni 122,4. Indeks tersebut menunjukkan masyarakat masih optimistis akan kondisi perekonomian ke depan. “Daya beli konsumen masih menunjukkan tingkat keyakinan, meski kita terus memantau tingkat inflasi. Hal ini cukup bagus menjelang puasa dan Lebaran,” kata Sri Mulyani, Maret lalu.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, juga sepakat bahwa momentum Ramadan, terutama masa mudik Lebaran, bisa menjadi titik balik pelaku usaha kecil dari tekanan pandemi Covid-19 dalam tiga tahun terakhir. Bhima menilai banyak pelaku UMKM di daerah yang tidak sabar menanti efek Lebaran. "Mereka merekrut tenaga kerja lebih banyak dan tentu berharap omzet bisa sama dengan Lebaran pra-pandemi."

Salah satu efek Lebaran yang akan terasa adalah peningkatan peredaran uang di daerah yang diperkirakan mencapai Rp 50-67 triliun. "Angka ini didasarkan pada kenaikan mobilitas masyarakat yang mendorong belanja di momen Lebaran." Menurut Bhima, pembayaran tunjangan hari raya atau THR tanpa dicicil akan digunakan oleh masyarakat untuk mengirim sebagian uang ke sanak saudara di kampung halamannya.

Kondisinya berbeda dengan puncak pandemi Covid-19, karena perusahaan sudah mampu membayar THR karyawan secara penuh. "Kenaikan uang beredar juga dipicu oleh pertumbuhan kredit perbankan yang cukup positif," kata Bhima. Pada kuartal I lalu, pertumbuhan kredit konsumsi, investasi, dan modal kerja tercatat mengalami pertumbuhan hingga 11,4 persen.

Momentum Pemulihan Bisnis

Adapun, merujuk pada data dari Crewdible--start-up platform gudang online dan pemenuhan pemesanan produk asal Indonesia--momentum Ramadan ini diperkirakan berdampak positif bagi pelaku UMKM. Crewdible memprediksi, UMKM bisa mengalami lonjakan pesanan hingga 63 persen selama Ramadan. Prediksi tersebut dibuat berdasarkan tren kenaikan transaksi penjual UMKM yang tergabung di start-up tersebut pada Ramadan 2022. 

Masih dari data yang sama, Crewdible mencatat lonjakan transaksi terjadi di berbagai bidang usaha. Namun penjualan produk busana mengalami kenaikan terbesar, khususnya pakaian anak dan muslim. 

Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia, Hermawati Setyorini, meyakini efek hari raya muslim dirasakan hampir semua anggotanya. Dia optimistis momentum ini bisa jadi kesempatan untuk memulihkan bisnis yang sempat terhantam pandemi. 

Selama periode 2020, Hermawati mencatat, penjualan anggotanya anjlok lebih dari 60 persen. Kondisinya mulai membaik pada 2021 karena para pelaku usaha mulai menyesuaikan diri dengan situasi pandemi. Penurunan penjualan berkurang jadi 40 persen saja. 

Salah satu inovasi pelaku UMKM adalah mengubah jenis bisnis mereka. Pengusaha yang memproduksi pakaian, misalnya, mulai beralih menjadi produsen masker kain. Mereka juga berupaya menjaga harga jual stabil agar tidak kehilangan lebih banyak pelanggan.

Pemicu lain yang membuat UMKM bergeliat adalah teknologi digital. Strategi ini banyak digunakan pelaku usaha untuk mengurangi biaya operasi. Mereka bisa menutup toko dan menjual produknya lewat beragam media sosial. Teknologi juga memudahkan pelaku usaha menjangkau pasar yang lebih luas. "Mereka mulai jualan lewat siaran langsung di Facebook, Instagram, apalagi TikTok itu, banyak sekali pengaruhnya ke penjualan," tutur Hermawati.

Pekerja menyelesaikan pembuatan mukena bordir di galeri Djasmin Bordir, Desa Peganjaran, Bae, Kudus, Jawa Tengah, 30 Maret 2023. ANTARA/Yusuf Nugroho

Kebijakan pemerintah mencabut pembatasan kegiatan masyarakat juga memiliki andil besar. Hermawati mengatakan setelah tak ada lagi pembatasan, dia tak mendengar anggotanya mengeluh lagi. Para pelaku bisnis, terutama di sektor fashion hingga usaha pendukung pariwisata, mulai tumbuh. "Karena masyarakat juga sudah jenuh, mereka mulai pergi ke tempat wisata, beli baju, sepatu, dan tas baru untuk jalan-jalan."

Hermawati mengatakan beragam kreativitas pelaku UMKM untuk bertahan tersebut, ditambah dengan kebijakan pemerintah, terbukti ampuh. Pada 2022, penjualan mereka sudah kembali ke kisaran 80 persen dibanding sebelum pandemi. 

Tahun ini, dia berharap penjualan bisa kembali pulih seperti sebelum pandemi. Meskipun ada beberapa tantangan yang menghadang, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, elpiji, hingga listrik. Belum lagi efek kehadiran teknologi digital yang memudahkan siapa pun jadi pelaku UMKM. Artinya, pasar semakin ramai. Meski persaingan kian ketat, Hermawati masih optimistis. "Di Indonesia itu, hebatnya, masyarakatnya konsumtif," kata dia. Terlebih ketika Ramadan dan Idul Fitri tiba, permintaan bisa melonjak dua kali lipat. 

Menjaga Pertumbuhan UMKM

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mengatakan, upaya meningkatkan penjualan UMKM tidak akan berhenti setelah Lebaran. Program untuk membantu para pengusaha yang sekarang jumlahnya mencapai 65 juta itu naik kelas terus digencarkan. Salah satunya, melibatkan mereka dalam rantai pasok BUMN dan perusahaan besar.

"Kami juga meminta ruang usaha untuk UMKM sebesar 30 persen pada infrastruktur publik," ujarnya. Yang tak kalah penting, kementerian mendorong porsi kredit perbankan menjadi 30 persen untuk sektor UMKM hingga 2024.

Pemerintah juga sudah mewajibkan pemerintah pusat dan daerah membeli porduk dalam negeri sebanyak 40 persen dari total belanja. Menurut Teten, nilainya mencapai Rp 400 triliun. Dia mengklaim kebijakan ini mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,8 persen dan membuka 2 juta lapangan kerja. 

Strategi lain untuk mendorong pertumbuhan UMKM adalah teknologi digital. Kementerian sedang membantu para pelaku usaha menguasai teknologi tersebut. Sampai akhir Desember 2022, sebanyak 21,56 juta UMKM sudah masuk ke ranah digital. "Diharapkan tahun ini sebanyak 24 juta UMKM on boarding digital dan tahun depan bertambah jadi 30 juta UMKM yang terhubung ke ekosistem digital," kata Teten.  

VINDRY FLORENTIN | KHORY ALFARIZI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus