KERETA api Purbaya (Purwokerto-Surabaya) berhenti di stasiun Mojokerto dalam perjalanan menuju kota pertama itu. Biasanya tak begitu lama -- barang dua-tiga menit. Tapi kali ini, oh, luar biasa. Selain waktu istirahat agak panjang, penumpang di dua gerbong tiba-tiba brullll ... turun serentak, berlari saling mendahului. Eh, bukannya mereka menyebar ke luar peron, tapi bersatu menyerbu dan berdesak-desak di depan sebuah pintu yang tiba-tiba menjadi begitu amat penting. Itulah pintu WC stasiun. Karena kamar penyelamat yang sempit itu cuma satu, sedangkan penumpang yang kebelet ternyata berjumlah 160 orang, bayangkan, oh, bayangkan. Djikin, petugas WC di sana, dengan cepat membuka WC khusus kepala stasiun. Tidak cukup, tentu. Sebagian penumpang, tak peduli lingkungan, langsung saja menjarah ladang yang cuma beberapa meter dari stasiun, laki perempuan serentak berjongkok, riuh rendah mewah meriah, tak tepermanai suasananya. Beberapa saat kemudian terdengarlah bunyi tiut ... tiut ... tiuuuuut .... Ini bukan bunyi dari perut mereka, atau bunyi peluit kereta. Ini bunyi mobil ambulans dari rumah sakit Mojokerto. Dan, para penumpang yang sudah sukses melakukan pengeluaran itu kini kembali berebut masuk ambulans. Kenapa, wahai, kenapa Tuhan menurunkan bencana ini? "Untung, cuma berak. Jadi, cukup diberi pil nont," kata dr. Nicolaas Wolfe yang menangani kasus itu. Toh 63 orang diangkut ke rumah sakit untuk diperiksa lebih teliti. Menurut dr. Wiwik Dharmanto, petugas poliklinik RS Mojokerto, para penumpang ini keracunan makanan. "Tidak terlalu berat. Siang harinya mereka sudah keluar rumah sakit, kembali ke Purwokerto." Mereka itu para mahasiswa -- plus dosen pembimbing -- dari Universitas Sudirman, Purwokerto, yang pulang dari Bali. Mereka naik kereta Purbaya dari Surabaya -- Sabtu pagi dua pekan lalu. Beberapa menit setelah kereta bergerak, nasi rames yang disediakan restorasi KA dibagikan. Seterusnya, terjadilah adegan besar yang meriah tadi. Contoh nasi rames model Purbaya itu kemudian diteliti -- kabarnya. "Hasilnya positif. Tak ada tanda-tanda penyebab keracunan," ujar J. Soemarsono, Kepala Humas PJKA Eksploitasi Timur. Lagi pula, "Makanan itu hangat, dimasak di kereta. Tidak mungkin kami memberikan makanan sisa." Anda kecewa? Memang, tak ada penjelasan mengapa bukan nasi sisa dari bungkus-bungkus yang dimakan itu yang diteliti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini