BEBERAPA kali pejabat resmi mengatakan tidak akan ada devaluasi tahun ini. Cadangan devisa cukup. Silakan bila mau borong dolar. Keadaan ekonomi cukup mantap. Inflasi sangat terkendali. Ternyata, pemerintah mengadakan devaluasi juga. Apa itu berarti pemerintah kita "ingkar" sabda pandita ratu-nya? Nanti dulu. Pemerintah tak pernah ingkar. Apa yang diucapkan, itu yang dijalankan. Satunya kata dan perbuatan. Pemerintah memang mengatakan tak akan ada devaluasi tahun ini. Tetapi, juga tidak pernah bilang "tahun ini" itu berarti tahun 1986. Ketika sabda itu diucapkan adalah tahun 1406 Hijriah. Ketika devaluasi diumumkan tahunnya adalah tahun 1407 Hijriah. Persisnya, 9 Muharam 1407. Jadi, sudah ganti tahun Islam. Juga ganti tahun Jawa. Biar Pak Arifin Siregar orang Batak, beliau sangat paham kosmologi Jawa. Di suatu kuliah di Bandung, jamhur ekonomi yang biasanya sangat kredibel ini juga bilang bahwa orang yang ngomong soal devaluasi saat nilai dolar merosot sampai tiga puluh persen, itu keblinger namanya. Dari teori ekonomi mana pun juga, tidak ada dasarnya, melakukan devaluasi di saat kondisi ekonomi seperti sekarang ini, katanya. Lagi pula, kurs kita 'kan sudah mengambang. Nilai tukar rupiah sudah diberi peluang bergerak naik turun, sesuai dengan maunya sekeranjang mata uang kuat: dolar, yen, mark pound, dan sebagainya. Eh, ternyata dilakukan devaluasi juga. Barangkali beliau terkejut juga. Karena sepuh, sang jamhur mungkin lupa. Sudah lama rupiah kita kawinkan (dikaitkan) dengan dolar untuk mengukur nilai tukarnya. Sekurang-kurangnya begitulah kenyataannya, kalau ada yang bilang, mestinya tidak. Dan perkawinan itu terjadi di bumi Nusantara yang tua kebudayaannya. Menurut kewicaksanaan budaya lama, orang kawin itu mesti swarga nunut, neraka katut. Kalau enak, hanyalah numpang di pinggiran turut enaknya. Kalau runyam, apa boleh buat, mesti terbawa pula bahkan jadi lebih parah beban runyamnya. Celakanya, akhir-akhir ini dolar lagi runyam. Nilainya anjlok 30% . Lha wong namanya sudah kawin, apa boleh buat rupiah juga terpaksa katut turun, 45%. Angka 45 itu versi pemerintah. Menurut saya, sebenarnya turunnya nilai rupiah hanya sekitar 30% saja. Lho, mana bisa? Bisa saja. Menurut pengumuman pemerintah, melalui devaluasi, nilai rupiah turun 45%. Sehingga, nilai 1 dolar semula sama dengan Rp 1.134 menjadi Rp 1.644. Lalu saya hitung: Benar,45% selisihnya. Tetapi, ini 'kan artinya nilai dolar yang naik 45%. Kalau nilai rupiahnya, turunnya 'kan dari seribu rupiah, yang semula dihargai US$ 0,88, sekarang tinggal US$ 0,61 -- turunnya US$ 0,27 atau hanya 30,7%. Jadi, angka 45% persen itu adalah apresiasi atau peningkatan nilai atau kekayaan si pemegang dolar. Kalau ruginya pemegang rupiah 'kan cuma sekitar 30% ? Itu ngelmu bejo saya. Perkara itu disengaja, atau keseleo, karena telanjur rujukan kantungnya sudah lama dolar. Wallahualam bissawab. Itu pula sebabnya Om Willem Soeryadjaya sangat bijak bestari. Beliau cermat hitung dan segera membetulkan pernyataan anak buahnya. Harga mobil Toyota tidak jadi naik 45%. Wong rupiah cuma turun 30%, kok. Yang jeli soal angka tentu terperanjat memperhatikan deret eskalasi frekuensi devaluasi, sejak Orde Baru. Mulanya, seret dan alot. Jarak waktu antara devaluasi pertama tahun 1971 dan devaluasi kedua tahun 1978 adalah 7 tahun. Setelah belajar kenal dan enak berbijak-bijakan dengan devaluasi, maka bertambahlah kelancarannya. Jarak waktu antara devaluasi kedua tahun 1978 dan ketiga tahun 1983, sekitar 5 tahun saja. Rupanya, pilihan kebijaksanaan ini membuat ketagihan. Sehingga, tanpa susah payah dan dengan ringan tangan tiba-tiba keharusan devaluasi ketiga pun segera saja muncul. Tahun 1986 devaluasi lagi. Jadi, jarak waktu devaluasi ketiga dan keempat tiga tahun saja. Jika angka jarak waktu itu kita jajarkan, astaga, menggambarkan deret bilangan prima yang jelas aturannya: 7 5 3 . . Cuma awas! Tidak seorang pun boleh meramal kapan devaluasi berikut bakal terjadi. Tidak seorang pun diizinkan meneruskan deret itu, bila tidak ingin saya cap subversive! Lalu, cara mengatasi dampak devaluasi? Pemerintah sudah harus siap dengan tim kerja yang tangguh, dan sudah keluar instruksi panglima ABRI. Saran dan pendapat masyarakat ditampung. Juga kritik terbuka diakomodaslkan, asal niatnya konstruktif bagi tegaknya republik dan pembangunan. Termasuk saran yang berasal dari Gedung DPR yang terhormat. Dari sana misalnya disarankan agar masyarakat bisa memahami devaluasi, sandiwara, dan ria jenaka digalakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini