Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOETANTO Pranoto masih terang mengingat peristiwa tujuh tahun lalu. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat 1999-2004 itu diundang ke ruang kerja koleganya, Mangara Siahaan. Setengah jam mereka bertemu, Mangara—wakil sekretaris jenderal partai itu—ternyata menyampaikan teguran lisan.
Ketika itu, Juni 2004, Soetanto dianggap kerap absen dalam sidang-sidang di Komisi Keuangan Dewan, tempat ia menjadi anggota. Ia diminta memperbaiki tingkat kehadirannya, terutama menghadapi sidang penting di komisi itu: pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Partai Banteng ketika itu telah menetapkan Miranda Swaray Goeltom sebagai kandidat.
Kini, Soetanto menjadi tersangka perkara cek pelawat yang ditebar setelah Miranda memenangi pemilihan. Ia diketahui mencairkan 12 cek pelawat senilai total Rp 600 juta. Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Soetanto bercerita, jika absen pada pemilihan, ia bisa dikenai sanksi partai. Petrus Selestinus, penasihat hukumnya, mengatakan, ”Ini ancaman sebelum pemilihan Miranda.” Menurut dia, PDI Perjuangan ketika itu sangat berkepentingan mengegolkan Miranda. Karena itu, petinggi fraksi berusaha agar dukungan 18 anggotanya di Komisi Keuangan tetap utuh.
Ditemui di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, Rabu pekan lalu, Soetanto hanya memberikan keterangan off the record. ”Akan saya buka semuanya nanti di persidangan,” katanya. Ia hanya memberikan kuasa kepada pengacaranya untuk berbicara. Adapun Mangara Siahaan, ketika dimintai konfirmasi, berujar, ”Saya tidak mengancam, hanya mengingatkan Soetanto agar tidak salah pilih.” Pembicaraan juga dilakukan sambil jalan, bukan di ruang kerja. ”Saya juga mengingatkan anggota Komisi Keuangan lainnya.”
Hubungan PDI Perjuangan dengan Miranda sudah lama dekat. Setahun sebelumnya, partai ini mengajukan Miranda sebagai calon gubernur. Diadu dengan dua calon lain—Burhanuddin Abdullah dan Cyrillus Harinowo—Miranda diyakini bakal menang. Soalnya, Megawati, presiden dan ketua umum partai itu, bulat mendukung. Pada hari pemilihan, situasi berbalik. Burhanuddin unggul jauh, meraih 34 suara. Miranda hanya delapan, dan Cyrillus satu suara.
Tak ingin kekalahan terulang, Partai Banteng menyusun langkah lebih awal. Sebulan sebelum pemilihan, yang dijadwalkan pada awal Juni 2004, fraksi mulai menggalang konsolidasi internal. Fraksi antara lain menggelar rapat yang dihadiri 153 anggotanya. Bertempat di salah satu ruang rapat komisi Dewan, Ketua Fraksi Tjahjo Kumolo bersuara lantang: partai telah memutuskan untuk memilih Miranda.
”Ini sesuai dengan arahan dari DPP PDIP,” kata Tjahjo, seperti ditirukan Emir Moeis, ketua kelompok Komisi Keuangan dari partai itu. Rapat berikutnya digelar di ruang fraksi, lantai tujuh Gedung Nusantara I, sepekan kemudian. Pesertanya terbatas anggota Komisi Keuangan Dewan dari PDI Perjuangan.
Mereka yang hadir antara lain Dudhie Makmun Murod, Matheos Pormes, Max Moein, Willem Tutuarima, Emir Moeis, Ketua Fraksi Tjahjo Kumolo, dan Sekretaris Panda Nababan. Dudhie, ketika itu bendahara fraksi, telah divonis dua tahun penjara dalam perkara cek pelawat ini. Ketika rapat, menurut Emir, Panda meminta ”memperjuangkan Miranda secara maksimal”. Panda merujuk kekalahan Miranda pada pemilihan Gubernur Bank Indonesia. Emir mengangguk.
Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Tjahjo mengatakan meminta peserta rapat meneliti kredibilitas Miranda, terutama berkaitan dengan penggelontoran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk bank-bank setelah krisis keuangan 1998. Namun ia mengatakan masalah pribadi sang calon—seperti status perkawinan dan agama—dikesampingkan saja.
Masih menurut Emir, Panda juga mengatakan pemimpin fraksi memahami keinginan anggotanya untuk mengenal Miranda secara pribadi. ”Nanti akan kita adakan pertemuan informal dengan Saudari Miranda di Hotel Dharmawangsa,” ujarnya. Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Panda mengatakan kehadirannya dalam pertemuan di hotel itu atas permintaan Tjahjo Kumolo. Sedangkan Emir mengatakan dihubungi Panda untuk datang.
Sehari sebelum pertemuan di Hotel Dharmawangsa, 29 Mei 2004, Fraksi PDI Perjuangan menggelar pertemuan rutin. Satu poin hasil rapat, pemimpin kelompok fraksi di Komisi Keuangan dapat mengusulkan penggantian anggotanya yang tidak bisa hadir pada saat pemilihan. Ini untuk menjaga agar 18 suara fraksi di Komisi Keuangan tetap utuh. Keutuhan ini penting jika Miranda dipilih melalui pemungutan suara.
Ketika menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Budhiningsih, yang juga tersangka perkara ini, mengatakan dipindahkan sementara dari Komisi Agama ke Komisi Keuangan. ”Agar suara fraksi utuh dalam memilih Miranda,” katanya. Setelah pemilihan, ia pun dikembalikan ke komisi awalnya.
Menurut sumber Tempo, dalam konsolidasi, fraksi juga sempat mengeluarkan surat perubahan penugasan tertanggal 17 Mei 2004 nomor 187/F-PDIP/DPR-RI/V/2004. Surat yang ditandatangani Tjahjo ini mencantumkan penggantian personel Fraksi PDI Perjuangan di Komisi Keuangan. Tiga orang keluar, yaitu Pramono Anung, Theo Syafei, dan Daniel Setiawan. Penggantinya Rusman Lumbantoruan, Ni Luh Mariani, dan Muhammad Iqbal. ”Ini mekanisme yang sah di Dewan,” kata Mangara.
Pertemuan dengan Miranda digelar di ruang Dwarawati, Hotel Dharmawangsa. Ruangan di hotel eksklusif ini dipesan untuk pukul 15.00-23.00 atas nama Miranda S. Goeltom. Belakangan, Panda mengatakan ruangan ini dibayar oleh Miranda. Kepada para politikus, Miranda menjanjikan nilai tukar rupiah akan diperkuat pada kisaran Rp 7.000 per dolar Amerika. Ia berkata, ”Ke depan, saya berupaya menjaga kestabilan nilai rupiah seperti di masa pemerintahan Ibu Megawati saat ini.”
Miranda enggan berkomentar soal kasus ini. Kepada pers awal bulan ini, ia menolak bicara. Adapun dua tersangka dari fraksi itu, Matheos Pormes dan Poltak Sitorus, ketika ditemui di Cipinang, mengatakan pertemuan itu ”tidak istimewa”.
Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo