Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wajah Kontemporer Seni Serat

Pameran Fiber Face 3 makin melebarkan pemahaman seni serat sebagai materi, teknik, dan idiom. Pameran seni serat yang mulai digarap serius dan berkelanjutan.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAUN perempuan itu digantung dengan sejumlah tali pada ujung rumbai-rumbainya di bagian bawah. Gaun tanpa lengan yang berkilauan diterpa cahaya ini lebih mirip gaun pesta ketimbang gaun pengantin, dengan bobotnya terasa berat dari bahan yang tampak tebal dalam warna cokelat. Tapi, manakala dilihat lebih dekat, barulah ketahuan gaun ini terbuat dari jalinan pita kaset perangkat rekaman yang kini sudah jarang dipakai. Gaun ini karya Andita Purnama, satu dari puluhan karya seni serat dalam pameran Fiber Face 3 bertajuk Transformation di Taman Budaya Yogyakarta, sampai akhir Februari ini.

Kurator Joanna Barrkman asal Australia menggolongkan karya ini sebagai ”transformasi bahan serat lewat teknik”. Bagi Barrkman, bahan pita kaset yang didaur ulang memang tak sejalan dengan pengertian konvensional tentang serat. Tapi, katanya, proses penenunan (penganyaman) bahan nonserat ini menuntut menjalankan fungsi serat, seperti kelenturan, kesaling-jalinan, dan kontinuitas.

Tengok pula karya Itsnataini Rahmadillah, seniman asal Bandung, dari potongan bahan stainless steel dan kuningan yang dijalin membentuk citraan sepatu. Atau kebaya dari lembar aluminum foil karya Kahfiati Kahdar bertajuk Treasure I. ”Di sini teknik menjadi agen transformasi bahan,” tulis Barrkman dalam konsep kuratorialnya. Sehingga seni serat kini dihasilkan oleh kemampuan teknis dan daya cipta imajinatif seniman dalam menafsir ulang perjumpaan interaktif antara bahan dan teknik pembuatan.

Dalam pameran ini kurasi Barrkman menerobos batasan konvensional seni serat, dengan memperkaya pemahaman tentang seni serat dari sekadar materi berupa jaringan organik lewat proses pembelahan, pemintalan, atau penggulungan untuk memperkuat bahan alami tertentu sehingga menjadi serat yang lentur. Ada pula dari bahan non-organik dengan teknik menjalin, menenun, menganyam, dan merajut dengan menjalankan fungsi keseratan untuk menghasilkan karya dua atau tiga dimensi.

Karya Fiona Gavino, seniman dari Australia, misalnya, menggunakan materi limbah berupa bahan pengikat benda konsumsi dari plastik dalam warna bening dan biru dianyam menjadi bentuk tiga dimensi. Dia menggabungkan struktur anyaman yang terpola—mirip wadah ketupat—di bagian bawah dengan bentuk hiasan bebas di bagian atasnya.

Tapi penggunaan serat konvensional dengan perlakuan kontemporer masih tetap dominan dalam pameran ini, seperti karya perupa Mella Jaarsma bertajuk Image of a No Dream; karya Alie Gopal bertajuk Eruption, yang menggunakan materi karung goni, menghasilkan citraan dua dimensi peta erupsi Gunung Merapi; karya Eko Nugroho, perupa yang salah satu karyanya selama ini menggunakan medium serat dengan teknik bordir. Atau karya tiga dimensi lima seniman Australia lewat Pandanus Project, yang mengaktualkan tradisi menganyam perempuan bangsa Aborigin Australia dengan membuat obyek-obyek tiga dimensi yang menarik dari bahan daun pandan. Sedangkan seniman Jepang, Rieko Yashiro, membuat karya instalasi menggunakan bahan kertas tradisional Jepang, washi. Karya Rieko berjudul The Spirit That Hides in the Forest ini berbentuk struktur alat musik akordeon menjulang ke atas tapi bisa dikempiskan sehingga mudah dibawa.

Toh, masih ada sejumlah peserta yang membuat karya seni serat berbentuk tapestry yang tetap menawan seperti karya seniman dari Bandung: Dian Widiawati, Ardita Ayu Lestari, Eka Arifianti Puspita, Rani Ariefanti, Nurlina Khairunnisa, Sabila Nurul Afifi, Santika Syaravina, dan Rara Pradnya Nindita. Sejumlah seniman bertahan dengan karya lukis dengan teknik batik, semacam karya lukis realis Fritz Donart dari Austria dan Brigitte Willach dari Jerman, Victor Sarjono dari Yogyakarta dan Joachim Blank dari Jerman yang bercorak abstrak, dan bahkan Hartinah dari Yogyakarta dengan corak batik tradisional Giriloyo.

Kehadiran karya batik Hartinah kini merupakan satu-satunya karya seni serat yang sepenuhnya tradisional di tengah semangat eksplorasi bahan, teknik, dan medium karya seniman lain dalam pameran ini yang jauh melesat mulai meninggalkan seni serat tradisi. Proses perubahan ini mirip dengan perubahan proses kreatif tenun ulos Batak yang juga dipamerkan secara khusus dalam pameran ini.

Kurator Sandra Niessen memboyong 21 helai kain ulos yang di antaranya ditenun pada awal abad ke-20, yang menunjukkan perubahan proses kreatif dan teknik produksi. Perajin ulos yang sebelumnya berkutat dengan kemuraman warna-warna magis kemudian memasukkan unsur pola dan pewarnaan dari luar yang menghasilkan varian baru dalam seni ulos. Bahkan kini perajin ulos tak lagi menggunakan alat tenun Batak yang secara teknis lebih rumit, yang kini digantikan dengan alat tenun bukan mesin yang biasa dipakai penenun tradisi di luar tanah Batak.

Perubahan gradual materi pameran seni serat sejak pertama ka­li digelar pada 2007 hingga kini tere­kam dari kategorisasi lewat kurasi Barrkman. Adalah pasangan suami-istri seniman batik Agus Ismoyo dan Nia Fliam yang memulai menggelar pameran seni serat dalam skala kecil Fiber Face Yogyakarta, yang hanya melibatkan 10 seniman, di Galeri Babaran Segaragunung milik pasangan itu.

Agus dan Nia kembali menggelar pameran Fiber Face 2 pada 2009, bertajuk Evolusi, dengan mengundang lebih banyak seniman seni serat, 43 orang, dari berbagai wilayah Indonesia serta dari Amerika Serikat, Jerman, Mali di Afrika, dan Australia. Dalam pameran ini Agus dan Nia mulai menabrak sekat pengategorian seni serat sebagai seni kriya yang diperlakukan berbeda dengan karya seni rupa modern. Mereka membuka diri pada karya seni rupa kontemporer yang menggunakan medium serat.

Perubahan cara pandang yang lebih radikal muncul dalam pameran Fiber Face 3 kali ini. Agus dan Nia mempercayakan kurasi pada Joanna Barrkman, yang membuka lebar pintu bagi medium dan teknik seni kontemporer dan tak lagi membatasi diri pada materi serat konvensional dari bahan organik, tapi tetap menjaga kehadiran seni serat tradisi.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus