RASANYA mendidih darah dalam tubuh Kapten Kusnadi, Komandan Koramil Karangpilang Surabaya, ketika mendengar pengaduan Kopral Satu (Koptu) Ngatimin: Andayati, istri anak buahnya itu, dua kali diajak main serong oleh Supriyanto. "Tangkap Supriyanto!" perintah Kusnadi tanpa selidik lagi. Hari itu, 28 Oktober 1992, Sersan Satu Djaeni, Koptu Hadi Sugianto, Koptu Sutopo, Sersan Dua Zulkan, Koptu Wahyuwanto, Sersan Dua Agus Rahardjo, Sersan Dua Sentot, dan Sersan Kepala Syafian, yang berada di kantor, siap melaksanakan perintah. Tapi satpam perusahaan tegel Asia Tile dan bekas anggota polisi di Polsek Wonocolo, Surabaya, itu tak ada di rumah. Dua hari kemudian, Kusnadi kembali memerintahkan menangkap Supriyanto. Supriyanto dibawa dengan mobil Suzuki Carry milik Kusnadi ke kantor Koramil. Di hadapan anak buah Kusnadi, juga Andayati, ia dipaksa mengaku berzina. Satpam itu membantah. "Bohong," bentak Kusnadi seraya menghajar kepala Supriyanto. Oleh Syafian dan Sudjito, kepala korban yang tertunduk ditegakkan dengan cara dijambak. Saat itulah Kusnadi, Yunus, Sudjito, Ngatimin, dan juga Syafian menghadiahkan bogem. Kepala Supriyanto dibenturkan ke tembok. Darah mengucur lewat hidung dan mulutnya. Tapi pria itu tetap tidak mengaku. "Seret keluar!" perintah Kusnadi. Di halaman kantor itu, pakaian Supriyanto dilucuti, dan yang tersisa cuma celana dalam. Setelah di luar, selain digebuki dengan rotan dan tang, korban ditendangi. Koptu Djuwaini dan Yunus, ipar Ngatimin, ikut menghajar Supriyanto. Setelah hampir kelengar, korban disiram air. Supriyanto terpaksa mengaku menzinai Andayati. Malam itu juga, dalam kondisi luka parah, korban dibawa ke Kantor Kodim Surabaya Selatan. Tapi pihak Kodim menolak. Lalu, ia dibawa ke RS Sumber Kasih Karangpilang. Esoknya, Supriyanto, 43 tahun, meninggal dunia. Berdasarkan visum, korban tewas karena pendarahan di bawah selaput tebal otak, serta memar dalam otak besar dan kecil akibat pukulan benda tumpul. Luka lain yang diderita: bibir robek selebar 4 x 0,5 cm, beberapa gigi rampal, luka memar pada dada kanan, dan memar di beberapa jaringan bawah kulit. "Mungkin itu sudah jalan hidupnya," kata istri Supriyanto. Mereka punya empat anak. Sejak mereka menikah tahun 1987, setahunya, Supriyanto memang sering serong, juga dengan istri Ngatimin tadi. Juni tahun lalu, Ngatimin meninggal karena sakit jantung. Buntut main hakim itu, Kusnadi, 48 tahun, diganjar hukuman 15 bulan penjara oleh Mahkamah Militer III-12 Surabaya, Selasa pekan lalu. Semua yang diungkap di atas tadi terbukti dalam sidang. Ternyata, sebagai komandan, ia menyalahgunakan jabatan dan dianggap merusak citra ABRI. Toh vonis itu lebih rendah 17 bulan dari tuntutan Oditur Kolonel C.H.K. Sri Hadi R. "Putusan itu terlalu ringan. Karenanya, kami banding," kata Sri Hadi di depan sidang. Kusnadi pernah bertugas di Timor Timur, enam kali. Ia dinilai banyak ulah. Misalnya, menurut oditur, melakukan penculikan dan pemaksaan pengakuan di depan banyak anggotanya. Sebelum ini, oknum pelaku di atas ada yang diganjar satu tahun, dan ada yang tujuh bulan. Namun, di antara mereka, tak satu pun yang meringkuk di sel. Mereka sejak awal tidak ditahan. Mengapa? "Tanyakan saja kepada Dandenpom," kata Sri Hadi.WY dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini