Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ratapan 40 distrik belford roxo

Marli, penduduk baixada, brazil, menuntut satuan polisi militer dengan tuduhan membunuh kakaknya. kasus ini berbuntut dengan pembakaran rumah marli. ekonomi brasil memburuk. kejahatan naik.

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAM menunjukkan: pukul 11.00 malam. Hari itu, 27 September 1979. 10 orang tentara mendobrak rumah Marli, dan menghambur masuk. Di bawah todongan senjata seisi rumah diperintahkan menampakkan diri. Gemetar, yang diperintah untuk kumpul menampilkan wajah, berjajar di ruang tengah: Marli, keempat orang anaknya yang masih kecil-kecil, kekasih gelapnya Carlos Barbosa, dan kakaknya Paulo. Dengan hardikan keras, 10 orang berseragam itu sekaligus menuduh, sekaligus menuntut keterangan: di mana uang, perhiasan dan obat-obat narkotik disembunyikan. Nadanya terdengar sangat pasti. Tak ada yang tahu apa juntrungan penggerebekan ini. Juga tak tahu menahu tentang yang ditanyakan. Kelanjutannya pun biasa: penggeledahan. Yang dicari memang tak ditemukan. Tapi yang disita ada. Tentara-tentara itu merenggutkan kalung emas seharga 800 Cruzeiro dolar (Rp 3.800) dari leher anak Marli, dan juga mengantungi sebuah kalkulator mini. Penyerbu-penyerbu ini tak begitu saja menganggap persoalan yang mereka tuduhkan selesai. Barangkali didorong rasa tak puas, atau entah apa, Paulo dan Carlos Barbosa diperintahkan ikut ke markas. Kalau yang "diamankan" ini betul tak ersalah, kata mereka tiga hari lagi pasti balik. Marli masih ingat dengan jelas, dua orang yang sangat dicintainya didorong-dorong, disodok, dan disepak ke atas jip. Dua jip dengan tanda Polisi Militer dan sebuah mobil V, lalu menghilang di kegelapan malam. Sejak itu, Marli tak lagi pernah melihat kekasihnya Carlos Barbosa. Tak bisa dipastikannya, apakah kekasihnyaitu ditangkap atau pergi meninggalkannya demi keamanan. Paulo tak bisa memberi keterangan. Malam itu, di markas, ia dan Carlos diperiksa terpisah, juga lalu ditahan terpisah. Paulo pulang 6 hari kemudian. Tapi persoalan tak juga selesai. 12 Oktober 1979. Kali ini pukul 2.00 dini hari, lagi-lagi ada pasukan bersenjata menggedor rumah Marli. 8 orang berpakaian sipil menyerbu masuk. Penggerebekan kali ini nampaknya lebih serius. Lebih kasar. 4 orang menjaga di luar, 3 orang lagi menggeledah, dan seorang menjagai Marli dan keluarganya dengan todongan senjata. Pagi itu, rumah Marli sungguhsungguh dipenuhi kepanikan. Keempat anaknya menangis ketakutan, rumahnya kucar-kacir di tengah suara bantingan barang dan bentakan -bentakan pasukan yang mengamuk. Tak seorang pun tetangga datang menolong. Operasi subuh itu selesai dengan sebuah penemuan--cara klasik untuk mengintimidasi orang: sebuah senjata api panjang ditemukan di bawah ranjang. Tuduhan pun resmi dijatuhkan, kendati Marli mati-matian menyangkal ada senjata api di rumahnya. Paulo agaknya sudah tak bisa diajak bicara. Laki-laki itu sudah sejak semula tak bisa menguasai dirinya. Gemetar. Kini ia pucat, basah oleh keringat dingin, berdiri seperti patung dengan biji mata separuh keluar. Gagap waktu ditanyai Marli. Kepalanya bergetar keras, putus asa. Marli tak yakin Paulo pun tahu asal-usul senjata api. Tapi sang kakak itu sudah kehilangan kekuatan untuk menyangkal. Ia tahu, dialah yang bakal kena tuduh. Dan sepertinya ia punya perasaan, apa pun yang dikatakannya, garis takdir rupanya tak bakal bergeming. Nyali laki-laki itu punah samasekali. Teriakan-teriakannya terdengar seperti jeritan kera-la diseret ke luar rumah dengan tangan terikat dasi dan kaki terikat sabuk. Di tengah lolongan anak-anaknya dan tangisnya, Marli masih mendengar, kakaknya akan dibawa ke DP54, markas pasukan keamanan daerah Baixada. Katanya untuk diperiksa. Setengah menit setelah jip yang membawa kakaknya menghilang, Marli bergegas mencari bantuan. Tetangganya yang terdekat berjarak hampir 200 meter dari rumahnya. Tdpi, belum sepuluh langkah ia meninggalkan pintu rumahnya, ia tertegun. Serentetan letusan senjata api terdengar memecah kesunyian. Didorong firasat buruk, Marli berlari sekencang dia bisa menuju suara letusan itu. Dan 150 meter dari rumahnya, ia menemukan tubuh Paulo tergeletak dihunjam peluru-peluru revolver. Mati! Marli pingsan. Tidak seperti biasanya, pagi itu, Marli tak bisa menyaksikan hari menjadi terang. Ia tergeletak di samping mayat kakaknya entah untuk berapa lama. Marli Pereira Soares, gadis hitam, 28 tahun adalah penduduk Vila Paulina. Distrik itu terletak di Belford Roxo, sebuah kota di daerah Baixada, sebuah daerah berbukit-bukit di bagian utara Rio de Janeiro -- kota yang paling indah di Brazilia. Hidupnya tak terlalu berkecukupan dengan beban menghidupi keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Marli bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah daerah suhurb, tak jauh dari Rio de Janeiro. Baixada, daerah Marli, termasuk daerah paling miskin di Brazilia Rata-rata penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Tak aneh kalau daerah itu menjadi salah satu daerah paling gelap di dunia. Di situ, ensiklopedi kebusukan akan bisa menemukan semua kenyataannya. Di sanalah, pasukan keamanan tak bisa dibedakan dari pasukan teror. Kapan saja sepasukan orang bersenjata bisa saja datang, menuduh lalu menghukum. Begitu saja. Salah tak salah agaknya hampir tak pernah terungkap dengan jelas. Diliputi lagu-lagu Amerika Latin yang ceria, jarang orang tahu, banyak pelosok-pelosok suram macam Baixada di bagian dunia itu. Penuh dengan kegetiran dan ketakutan. Tapi tahun lalu, sebuah celah terbuka untuk mengintip. Ghislaine Morel seorang wartawati Swiss nekat menyelusup ke Baixada. Ia sempat mendampingi Marli sampai pertengahan tahun ini. Dengan risiko nyawanya ia memotret dan meliput berbagai kejadian ngeri di daerah ini. Dari reportasenya dunia mendengar ratapan 40 distrik Belford Roxo di Baixada. "Marli, wanita sederhana itu tak tinggal diam. Dia mengambil sebuah tindakan yang paling berani. Ia menuntut satuan Polisi Militer dengan tuduhan membunuh kakaknya," tulis Ghislaine Morel. "Dan ia sungguh-sungguh tak tahu, tindakannya ternyata membuat geger besar yang sempat mengguncangkan penguasapenguasa bejat Baixada." 13 Oktober 1979--hari yang tercatat pada batu nisan kuburan Paulo --Marli bersama ayahnya mendatangi DP-54, markas pasukan keamanan di Beflord Roxo. Ia mengajukan tuntutannya. Ia beruntung diterima komisaris polisi, Geraldo Amin Chaim yang dengan sungguh-sungguh mendengarkan keluhannya. Karena jasa perwira polisi inilah kasus Marli kemudian berekor panjang. Dari catatan operasi, segera diketahui pasukan yang datang ke rumah Marli adalah patroli Polisi Militer dari Batalyon 20. Amin Chaim kemudian ikut menuntut Polisi Militer (PM) agar menyerahkan anggota-anggotanya yang bersalah. Pihak PM pada mulanya berusaha mengelak dengan berbagai alasan. Komandan PM Baixada, KoJonel Cecilo Mendes resmi menyatakan tak bersedia bertemu dengan Komisaris Amin Chaim, dan menyerahkan semua urusan itu kepada wakilnya, Letnan Kolonel d'Ambrosio. Ribut-ribut ini kemudian lepas ke pers. Kasus Marli kemudian menjadi ramai. Tuntutan Marli pun menjadi lebih keras. Kini ia didampingi pengacara Luiz da Rocha Braz yang menjadl penasihat hukumnya dengan cuma-cuma. Polisi Militer terdesak. Dan seminggu sesudah peristiwa penembakan Paulo, kasus Marli resmi terdaftar di Pengadilan Nova Iguacu, ibukota daerah Baixada. Amin Chaim mendapat wewenang pengadilan untuk mencari orang-orang yang bersalah dalam tubuh/Batalyon 20 PM. Marli kemudian diminta menunjuk orangorang yang bersalah, dalam sebuah identifikasi. Semua pasukan Batalyon 20 dibariskan di sebuah lapangan, dan Marli diberi kesempatan untuk mengenali pembunuh-pembunuh kakaknya. Seorang dari delapan orang yang bersalah segera terjaring. Dia Jairo Pedro dos Santos. Marli segera pula mengenal suaranya. Tapi yang lain, tidak juga terjaring. Marli ternyata tak bisa mengenali lewat identifikasi yang memakan waktu berhari-hari. Ternyata ada permainan curang dalam identifikasi itu. Kapten Bastos, kepala bagian penyusunan taktik Batalyon 20, ternyata membariskan anggota pasukan untuk diperiksa Marli, yang itu-itu juga. Ini memungkinkan karena Mari memeriksa pasukan 30 orang demi 30 orang. Amin (haim melihat kecurangan itu. Dan Kapten Bastos menyerah ketika jaksa Anne Marie Faber Barbalat memerintahkan, agar semua anggota Batalyon 20 dibariskan sekaligus. Di tengah keletihan dan tekanan perasaan, Marli tak dapat membuat identifikasi dengan baik. Hanya dua orang kemudian dikenalinya. Jorge Alves dos Santos dan Adalvo Crescencio Viera. Pengadilan segera mengenali Adalvo Crescencio Viera. Dia ini anggota pasukan yang pernah diputus pengadilan, bersalah karena membunuh seorang pekerja bangunan dengan popor senapan. Pembunuh ini ternyata tidak menjalani hukumannya di penjara. Di Batalyon 20 ia tercatat sebagai tukang masak. Tapi kenyataannya ia juga ikut operasi. Dan lagi-lagi membunuh. Dalam keadaan terdesak, Kapten Bastos kehilangan kesabarannya. Lewat kekuasaan yang didapatnya dari "atas" kasus Marli kemudian dibekukan. Ia malah kemudian berbalik menuduh Marli disebutnya sebagai pencuri, pelacur yang membuat tuduhan palsu. Paulo disebutnya sebagai bajingan, bandit yang terlibat dalam beberapa kasus pemerkosaan. Main kuasa ini berlanjut. Di suatu malam rumah Marli dibakar. Marli terpaksa mengungsi ke rumah orang tuanya di Clodovil, sebuah distrik lain Belord Roxo. Bukan cuma itu. Komisaris Geraldo Amin Chaim tiba-tiba dipindahtugaskan. Ia mendapat tugas baru di Musium Polisi di Rio de Janeiro. Jaksa Anne Marie Faber Barbalat juga dimutasikan. Entah ke mana. Dan Kapten Bastos, dianggap berjasa--menutup kasus Marli. Kedudukannya tiba-tiba naik. Ia diserahi kursi kepala bagian intelijen. Beberapa hari kemudian, ia muncul di hadapan pers, sudah tak lagi berseragam. Amin Chaim digantikan Komisaris Polisi Milton de Costa.Dan pejabat inilah yang beberapa hari kemudian mengumumkan kepada pers, pelaku-pelaku pembunuhan Paulo telah mengaku. Empat nama diajukan, tapi hanya satu yang didasarkan identifikasi Marli, yaitu Jairo Pedro dos Santos--yang pertama kali dikenali Marli. Tiga orang lainnya, dikenali pers sebagai penjaga malam, bukan anggota pasukan Batalyon 20. Jairo, seorang dari tiga penjaga malam" yang mengaku itu membuat pernyataan, ia ikut membunuh Paulo karena orang yang dibunuhnya itu pernah memperkosa istrinya. Setelah makan waktu hampir lima bulan, kasus Marli reda. Pengacara da Rocha Braz, juga pers tak bisa berbuat apa-aa. Ada kekuasaan di atas hukum di sana. Brazilia memasuki tahun 60-an dengan tanda-tanda kebangkrutan. Dua hal buruk menggerogoti negara itu: runtuhnya perekonomiannya dan munculnya pemerintahan militer yang menjalankan militerisme. Di sekitar Perang Dunia II perekonomian Brazilia masih sehat, berkat berbagai hasil pertanian dan perkebunan terutama kopi. Di saat itu pula, Brazilia mulai mengembangkan industri dan penambangan, mineral. Tapi waktu itu telah tercium bahwa kekuasaan di negara itu tak sehat. Presidennya, Getuilo Vargas memerintah secara diktatorial. Karena hubungan baiknya dengan beberapa negara Eropa, atas perintahnya, Brazilia jadi satu-satunya negara Amerika Latin yang terlibat langsung dalam Perang Dunia II. Brazilia mengirimkan pasukan para ke Eropa, untuk ikut bertempur. Menjelang tahun 50-an Vargas membangun cita-cita pribadinya: Brazilia yang modern dan megah. Tapi nyatanya Vargas tak bisa mengendalikan akibat-akibat buruk dari industrialisasi yang diprogramkan terlalu ambisius. Di tahun 1950 tanpa perhitungan, berbagai industri besar dibangun di sekitar Rio de Janeiro dan Sao Paolo. Brasilia sebagai ibu negeri seperti mau meledak karena pembangunan. Seperti mau membawa Brazilia ke era modern dengan ajaib. Jadinya memang megah luar biasa. Seperti biasanya, penduduk pedalaman pun mengalir ke daerah industri, dan meninggalkan profesi bertani. Maka produksi pertanian yang sebenarnya menunjang perekonomian Brazilia merosot drastis. Sedang industri yang diharapkan menggantikannya macet. Ditambah lagi kebiasaan korupsi yang muncul. Tahun 1954 Vargas bunuh diri di tengah keputusasaan menghadapi rontoknya perekonomian Brazilia-yang berarti pula kehancuran kekuasannya. Sampai kini keruntuhan ekonomi itu masih saja terus berlangsung. Rio de Janeiro dan Sao Paolo menjadi daerah padat dan kisruh. Juga daerah sekitarnya. Ketika berbagai industri macet di kedua kota itu, bekas pekerja-pekerja yang menganggur--juga pendatang yang tak mendapat pekerjaan--pindah ke daerah Baixada. Di tempat ini kehidupan jauh lebih murah dibandingkan dengan kedua kota besar itu. Maka jadilah Baixada daerah terpadat. Di daerah yang mempunyai luas 800 kilometer persegi itu, hidup 3,5 juta jiwa berhimpit-himpitan. 10% di antaranya adalah anak-anak yang hidup tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan. Rata-rata penghasilan pun sangat rendah, US$ 100 per bulan. Itu pun tak seluruhnya, sebagian besar justru menganggur. "Di kota-kota Morro Agudo, Belford Roxo dan Vila de Cava, adalah pemandangan biasa bila ada sekelompok orang--dewasa dan anak-anak-mengorek-ngorek timbunan sampah seperti tikus, mencari makanan dan barang-barang bekas yang masih bisa dijual," tulis Ghislaine Morel, wartawati itu. Presiden sipil terakhir yang mencoba mengatasi Brazilia yang sudah porak poranda itu adalah Joao Goulart. Ia terpilih tahun 1961 dan dijatuhkan tahun 1964 oleh kudeta militer. Sejak tahun itu, kekuasaan di Brazilia berada di tangan militer, yang tak jarang saling menjatuhkan. Goulart jatuh terutama karena tak bisa menguasai keamanan negeri. Dan justru itu pula yang menaikkan pamor militer. Menjelang tahun 60-an kriminalitas meningkat di Brazilia, terutama kejahatan-kejahatan yang terorganisasi. Untuk mengatasi itu1958, penguasa militer membentuk sebuah pasukan keamanan dan ketertiban yang dinamai Angkatan Bersenjata ke-2. Komandan Daerah Militer Rio de Janeiro, Jenderal Kruel ditunjuk sebagai komandan pertama Komando Keamanan dan Ketertiban itu. Belakangan, tahun 1964 ia mempunyai peran besar dalam kudeta menjatuhkan Goulart. Setelah militer berkuasa, atas usul seorang ahli strategi Euripedes Maltade Sawas, Jenderal Kruel memutuskan membentuk sebuah pasukan khusus antibanditisme. Pasukan khusus ini segera menggantikan tugas polisi yang kedudukannya makin lama makin terdesak dan seringkali dilangkahi. Karena itu tak jarang terjadi bentrokan antara polisi dan pasukan khusus itu. Cara keduanya mengatasi kriminalitas, jauh berbeda. Bila polisi masih mencoba berjalan di jalur hukum, pasukan khusus itu, tidak. Cara mereka khas: tembak di tempat. Tapi usaha membangun tentara antikejahatan ini tak bisa dikatakan berhasil. Di beberapa segi malah buruk. Caranya membentuk divisi-divisi menggambarkan keburukan itu. Pasukan itu banyak mempekerjakan bekas-bekas bandit dan pekerja-pekerja yang sama sekali tak terpelajar. Mendapat latihan ala kadarnya, bekas-bekas bajingan ini kemudian diberi seragam militer atas nama keamanan. Siapa pun tahu, itulah salah satu sebab mengapa pasukan keamanan itu menjadi liar dan kejam. Barangkali lebih dari pada bila mereka menjadi bajingan. Kini mereka dilindungi undang-undang. Berbagai nama yang dipakai sebagai atribut seperti The Seven Golden Men, The Death Squad dan Mesquita menunjukkan citra mereka sebenarnya tak berbeda dari kelompok bajingan--umpamanya, yang terkenal di Amerika Serikat, The Hell's Angel. The Seven Golden Men adalah kesatuan yang bertugas di Rio de Janeiro. Terdiri dari 7 kelompok pasukan di bawah pimpinan Odilon Cateloes Moreira. Satu di antara pemimpin kelompok itu adalah Mariel Mariscot. Dia bekas bajingan kelas berat yang mendapat hukuman 20 tahun penjara. Tapi,sekalipun di penjara masih mempunyai kekuasaan Pengaruhnya nampak jelas ketika ia diperbolehkan merayakan perkawinannya di penjara. Kini, tiba-tiba ia menjadi perwira yang memimpin sebuah pasukan. Tak syak, tentara acak-acakan macam ini segera punya hubungan dengan dunia hitam Brazilia--sebuah ironi. Mereka jadinya melindungi berbagai kegiatan kriminal. Antara lain pencurian mobil yang kemudian diekspor ke Paraguay dan Columbia. Mereka juga menjadi bodyguard dan pelindung berbagai usaha dan toko, dengan bayaran tinggi. Dan yang paling tak masuk akal, mereka juga bersedia menjadi pembunuh bayaran. Pernah terjadi, seorang anggota PM Jose Renato Maia, terlibat dalam sebuah kasus pembunuhan. Seorang pengusahakaya, Jorge Hagenauer, membayarnya US$ 3000 untuk membunuh bini muda si pengusaha kaya itu, Irene Renato Guimaraes. Wanita muda ini kebetulan direktur administratif sebuah perkumpulan sepakbola di Rio de Janeiro. Berita kematiannya cepat tersebar. Mayat Irene ditemukan 17 Agustus 1979 di Nova Iguacu. Ia mati karena dibakar, dan sebelah tangannya putus, hilang. Kasus ini terbongkar karena dua pembantu Jose Renato Maia dalam menjalankan pembunuhan, tertangkap dan mengaku. Sejak pasukan-pasukan antibanditisme ini bermunculan, berbagai pembunuhan pun jadi biasa di Brazilia. Dan yang terbunuh justru bukan banditnya. Bisa dipastikan rakyat kecillah yang tertimpa sial. Daerah Baixada adalah contoh yang paling jelas. Daerah ini termasuk daerah paling miskin di Brazilia, angka kriminalitas termasuk besar. Cuma kriminalitas ini boleh dikata tak berarti bila dibandingkan dengan kejahatan gangster-gangster di Rio de Janeiro dan Sao Paolo. Kejahatan di Baixada umumnya: pencurian, perkelahian karena mabuk, penipuan dan pengedaran obat-obat narkotik. Tapi, tahun 1975 komandan daerah militer Rio de Janeiro, Jenderal Oswaldo Ignacio Domingues merasa perlu untuk memperketat keamanan di daerah itu. Satuan polisi dibubarkan. Dan sebagai gantinya ditempatkan di situ pasukan khusus Polisi Militer yang berjumlah 5000 orang. Segera tersebar berita, pasukan khusus Baixada terkenal paling kejam dan biadab. Seperti biasanya pembunuh-pembunuh berdarah dingin, mereka merasa perlu untuk meninggalkan identitasnya bila membunuh. Kelompok Joao Coelho misalnya, senantiasa memasang lilin berkliling di dekat korban yang dibunuhnya. Ini masih tergolong sopan. Kelompok-kelompok lain mempunyai cara yang jauh lebih biadab. Menurut catatan Morel Grup A, misalnya, mempunyai ciri mengikat tangan korban dengan tali nilon. Grup B, meninggalkan korbannya dengan muka menghadap ke tanah. Grup C, membakar dan menggantung korbannya. Sungguh-sungguh gila. Di atas semua itu, nafsu untuk membunuh nampaknya tak lagi bisa dibayangkan bisa ada pada manusia. Korban rata-rata tewas dengan berpuluh-puluh peluru di tubuhnya. Lalu tak adakah usaha mengatasi kebiadaban ini? Itulah barangkali yang dikatakan kekuasaan. Mereka yang tahu terlampau banyak, berani menentang, atau protes, dalam waktu tak lama akan segera ditemukan mayatnya. Semua orang di Baixada hafal urutannya: ada pasukan bersenjata datang di malam hari, ada seseorang yang diseret ke jip, ada sejumlah tembakan terdengar, dan keesokannya ada mayat yang ditemukan. Tuduhan atau barang bukti yang ditemukan, sepert yang dialami Marli Per eira Soares, tak selalu dirasakan perlu. Artinya, tak sedikit penduduk Baixada yang ditembak begitu saja. Nah, siapa yang berani. Jose Carlos umpamanya. Ia enam kali diseret, dan enam kali ditembak tapi atas rahmat Tuhan, dia selamat. Ada usaha di kalangan pers untuk mengekspose pengalamannya dalam rangka menyorot kekejaman PM yang memberondongnya. Tapi ia menolak, bahkan bersembunyi. Kepada Ghisaine Morel dikatakannya, "Saya berjumpa dengan kematian dalam jarak yang sangat dekat. Sekarang saya menghargai hidup jauh di atas segalanya." Pers memang termasuk salah satu alat yang ampuh. Dalam kasus Marli misalnya, tanpa pemberitaan di surat kabar, bisa dipastikan wanita 28 tahun itu bakal mati bersama anak-anaknya. Entah mengapa, kendati sudah sebegitu buruknya muka penguasa di mata rakyat, agaknya mereka masih mau bersolek di surat-surat kabar. Selain pers, pejabat-pejabat polisi yang masih ditempatkan di markas-markas pasukan keamanan, termasuk juga yang gigih membendung kegilaan militer di Brazilia. Bersama jaksa dan sejumlah pengacara, mereka biasanya mencoba membawa kasus-kasus pembunuhan ke pengadilan. Tapi kebanyakan usaha itu sia-sia. Di Baixada, kini seorang jaksa masih juga berjuang atas nama keadilan. Tapi tahun ini saja, 20 kasus yang sudah dipersiapkannya bakal disidangkan gagal karena BPAE--dinas intelijen PM--membekukannya dengan alasan-alasan terdapat rahasia militer. Sejauh ini ia masih beruntung tidak dimutasikan, mungkin karena belum lagi ada kasusnya yang "masuk". Tapi misalnya ia dimutasikan seperti Anne Marie Faber Barbalat, ia masih beruntung. Seorang jaksa lainnya, Luiz Carlos Rangel de Carvalho tewas ditembak seorang anggota pasukan PM. Edannya, ini pun tak sampai dimejahijaukan. Neraka, itu nama yang paling tepat bagi Baixada. Menurut catatan PBB, berdasarkan sebuah penelitian antara tahun 1971-1976 Baixada tcrmasuk sebuah daerah yang paling penuh dengan kekerasan, di dunia. Khususnya 40 distrik di Belford Roxo, di mana Marli tinggal. Wanita itu kini tak lagi bekerja. Kesadarannya sudah semakin susut. Jiwanya guncang. Sehari-hari, ia duduk saja di beranda rumah orang tuanya, di sebuah kursi goyang memangku anaknya yang bungsu. Kadang-kadang terdengar ia bergumam, melagukan sebuah lagu anak-anak Brazilia. Lirih, jauh tak semerdu hentakan lagu-lagu Sergio Mendes and His Brazil 66. Barangkali ia sedang mengulang sebuah pertanyaan usang: adakah keadilan di dunia ini. Tapi dengan makna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus