JAM menunjukkan: pukul 11.00 malam. Hari itu, 27 September 1979.
10 orang tentara mendobrak rumah Marli, dan menghambur masuk. Di
bawah todongan senjata seisi rumah diperintahkan menampakkan
diri. Gemetar, yang diperintah untuk kumpul menampilkan wajah,
berjajar di ruang tengah: Marli, keempat orang anaknya yang
masih kecil-kecil, kekasih gelapnya Carlos Barbosa, dan kakaknya
Paulo.
Dengan hardikan keras, 10 orang berseragam itu sekaligus
menuduh, sekaligus menuntut keterangan: di mana uang, perhiasan
dan obat-obat narkotik disembunyikan. Nadanya terdengar sangat
pasti.
Tak ada yang tahu apa juntrungan penggerebekan ini. Juga tak
tahu menahu tentang yang ditanyakan. Kelanjutannya pun biasa:
penggeledahan.
Yang dicari memang tak ditemukan. Tapi yang disita ada.
Tentara-tentara itu merenggutkan kalung emas seharga 800
Cruzeiro dolar (Rp 3.800) dari leher anak Marli, dan juga
mengantungi sebuah kalkulator mini.
Penyerbu-penyerbu ini tak begitu saja menganggap persoalan yang
mereka tuduhkan selesai. Barangkali didorong rasa tak puas, atau
entah apa, Paulo dan Carlos Barbosa diperintahkan ikut ke
markas. Kalau yang "diamankan" ini betul tak ersalah, kata
mereka tiga hari lagi pasti balik. Marli masih ingat dengan
jelas, dua orang yang sangat dicintainya didorong-dorong,
disodok, dan disepak ke atas jip. Dua jip dengan tanda Polisi
Militer dan sebuah mobil V, lalu menghilang di kegelapan malam.
Sejak itu, Marli tak lagi pernah melihat kekasihnya Carlos
Barbosa. Tak bisa dipastikannya, apakah kekasihnyaitu ditangkap
atau pergi meninggalkannya demi keamanan. Paulo tak bisa memberi
keterangan. Malam itu, di markas, ia dan Carlos diperiksa
terpisah, juga lalu ditahan terpisah. Paulo pulang 6 hari
kemudian.
Tapi persoalan tak juga selesai. 12 Oktober 1979. Kali ini pukul
2.00 dini hari, lagi-lagi ada pasukan bersenjata menggedor rumah
Marli. 8 orang berpakaian sipil menyerbu masuk.
Penggerebekan kali ini nampaknya lebih serius. Lebih kasar. 4
orang menjaga di luar, 3 orang lagi menggeledah, dan seorang
menjagai Marli dan keluarganya dengan todongan senjata.
Pagi itu, rumah Marli sungguhsungguh dipenuhi kepanikan. Keempat
anaknya menangis ketakutan, rumahnya kucar-kacir di tengah suara
bantingan barang dan bentakan -bentakan pasukan yang mengamuk.
Tak seorang pun tetangga datang menolong.
Operasi subuh itu selesai dengan sebuah penemuan--cara klasik
untuk mengintimidasi orang: sebuah senjata api panjang ditemukan
di bawah ranjang. Tuduhan pun resmi dijatuhkan, kendati Marli
mati-matian menyangkal ada senjata api di rumahnya. Paulo
agaknya sudah tak bisa diajak bicara. Laki-laki itu sudah sejak
semula tak bisa menguasai dirinya. Gemetar. Kini ia pucat, basah
oleh keringat dingin, berdiri seperti patung dengan biji mata
separuh keluar. Gagap waktu ditanyai Marli. Kepalanya bergetar
keras, putus asa.
Marli tak yakin Paulo pun tahu asal-usul senjata api. Tapi sang
kakak itu sudah kehilangan kekuatan untuk menyangkal. Ia tahu,
dialah yang bakal kena tuduh. Dan sepertinya ia punya perasaan,
apa pun yang dikatakannya, garis takdir rupanya tak bakal
bergeming.
Nyali laki-laki itu punah samasekali. Teriakan-teriakannya
terdengar seperti jeritan kera-la diseret ke luar rumah dengan
tangan terikat dasi dan kaki terikat sabuk.
Di tengah lolongan anak-anaknya dan tangisnya, Marli masih
mendengar, kakaknya akan dibawa ke DP54, markas pasukan
keamanan daerah Baixada. Katanya untuk diperiksa.
Setengah menit setelah jip yang membawa kakaknya menghilang,
Marli bergegas mencari bantuan. Tetangganya yang terdekat
berjarak hampir 200 meter dari rumahnya. Tdpi, belum sepuluh
langkah ia meninggalkan pintu rumahnya, ia tertegun. Serentetan
letusan senjata api terdengar memecah kesunyian.
Didorong firasat buruk, Marli berlari sekencang dia bisa menuju
suara letusan itu. Dan 150 meter dari rumahnya, ia menemukan
tubuh Paulo tergeletak dihunjam peluru-peluru revolver. Mati!
Marli pingsan. Tidak seperti biasanya, pagi itu, Marli tak bisa
menyaksikan hari menjadi terang. Ia tergeletak di samping mayat
kakaknya entah untuk berapa lama.
Marli Pereira Soares, gadis hitam, 28 tahun adalah penduduk Vila
Paulina. Distrik itu terletak di Belford Roxo, sebuah kota di
daerah Baixada, sebuah daerah berbukit-bukit di bagian utara Rio
de Janeiro -- kota yang paling indah di Brazilia. Hidupnya tak
terlalu berkecukupan dengan beban menghidupi keempat anaknya
yang masih kecil-kecil. Marli bekerja sebagai pembantu rumah
tangga di sebuah daerah suhurb, tak jauh dari Rio de Janeiro.
Baixada, daerah Marli, termasuk daerah paling miskin di Brazilia
Rata-rata penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Tak aneh
kalau daerah itu menjadi salah satu daerah paling gelap di
dunia. Di situ, ensiklopedi kebusukan akan bisa menemukan semua
kenyataannya.
Di sanalah, pasukan keamanan tak bisa dibedakan dari pasukan
teror. Kapan saja sepasukan orang bersenjata bisa saja datang,
menuduh lalu menghukum. Begitu saja. Salah tak salah agaknya
hampir tak pernah terungkap dengan jelas.
Diliputi lagu-lagu Amerika Latin yang ceria, jarang orang tahu,
banyak pelosok-pelosok suram macam Baixada di bagian dunia itu.
Penuh dengan kegetiran dan ketakutan. Tapi tahun lalu, sebuah
celah terbuka untuk mengintip.
Ghislaine Morel seorang wartawati Swiss nekat menyelusup ke
Baixada. Ia sempat mendampingi Marli sampai pertengahan tahun
ini. Dengan risiko nyawanya ia memotret dan meliput berbagai
kejadian ngeri di daerah ini. Dari reportasenya dunia mendengar
ratapan 40 distrik Belford Roxo di Baixada.
"Marli, wanita sederhana itu tak tinggal diam. Dia mengambil
sebuah tindakan yang paling berani. Ia menuntut satuan Polisi
Militer dengan tuduhan membunuh kakaknya," tulis Ghislaine
Morel. "Dan ia sungguh-sungguh tak tahu, tindakannya ternyata
membuat geger besar yang sempat mengguncangkan penguasapenguasa
bejat Baixada."
13 Oktober 1979--hari yang tercatat pada batu nisan kuburan
Paulo --Marli bersama ayahnya mendatangi DP-54, markas pasukan
keamanan di Beflord Roxo. Ia mengajukan tuntutannya. Ia
beruntung diterima komisaris polisi, Geraldo Amin Chaim yang
dengan sungguh-sungguh mendengarkan keluhannya. Karena jasa
perwira polisi inilah kasus Marli kemudian berekor panjang.
Dari catatan operasi, segera diketahui pasukan yang datang ke
rumah Marli adalah patroli Polisi Militer dari Batalyon 20. Amin
Chaim kemudian ikut menuntut Polisi Militer (PM) agar
menyerahkan anggota-anggotanya yang bersalah. Pihak PM pada
mulanya berusaha mengelak dengan berbagai alasan. Komandan PM
Baixada, KoJonel Cecilo Mendes resmi menyatakan tak bersedia
bertemu dengan Komisaris Amin Chaim, dan menyerahkan semua
urusan itu kepada wakilnya, Letnan Kolonel d'Ambrosio.
Ribut-ribut ini kemudian lepas ke pers. Kasus Marli kemudian
menjadi ramai. Tuntutan Marli pun menjadi lebih keras. Kini ia
didampingi pengacara Luiz da Rocha Braz yang menjadl penasihat
hukumnya dengan cuma-cuma.
Polisi Militer terdesak. Dan seminggu sesudah peristiwa
penembakan Paulo, kasus Marli resmi terdaftar di Pengadilan Nova
Iguacu, ibukota daerah Baixada. Amin Chaim mendapat wewenang
pengadilan untuk mencari orang-orang yang bersalah dalam
tubuh/Batalyon 20 PM. Marli kemudian diminta menunjuk orangorang
yang bersalah, dalam sebuah identifikasi. Semua pasukan Batalyon
20 dibariskan di sebuah lapangan, dan Marli diberi kesempatan
untuk mengenali pembunuh-pembunuh kakaknya.
Seorang dari delapan orang yang bersalah segera terjaring. Dia
Jairo Pedro dos Santos. Marli segera pula mengenal suaranya.
Tapi yang lain, tidak juga terjaring. Marli ternyata tak bisa
mengenali lewat identifikasi yang memakan waktu berhari-hari.
Ternyata ada permainan curang dalam identifikasi itu. Kapten
Bastos, kepala bagian penyusunan taktik Batalyon 20, ternyata
membariskan anggota pasukan untuk diperiksa Marli, yang itu-itu
juga. Ini memungkinkan karena Mari memeriksa pasukan 30 orang
demi 30 orang.
Amin (haim melihat kecurangan itu. Dan Kapten Bastos menyerah
ketika jaksa Anne Marie Faber Barbalat memerintahkan, agar semua
anggota Batalyon 20 dibariskan sekaligus.
Di tengah keletihan dan tekanan perasaan, Marli tak dapat
membuat identifikasi dengan baik. Hanya dua orang kemudian
dikenalinya. Jorge Alves dos Santos dan Adalvo Crescencio Viera.
Pengadilan segera mengenali Adalvo Crescencio Viera. Dia ini
anggota pasukan yang pernah diputus pengadilan, bersalah karena
membunuh seorang pekerja bangunan dengan popor senapan. Pembunuh
ini ternyata tidak menjalani hukumannya di penjara. Di Batalyon
20 ia tercatat sebagai tukang masak. Tapi kenyataannya ia juga
ikut operasi. Dan lagi-lagi membunuh.
Dalam keadaan terdesak, Kapten Bastos kehilangan kesabarannya.
Lewat kekuasaan yang didapatnya dari "atas" kasus Marli kemudian
dibekukan. Ia malah kemudian berbalik menuduh Marli disebutnya
sebagai pencuri, pelacur yang membuat tuduhan palsu. Paulo
disebutnya sebagai bajingan, bandit yang terlibat dalam beberapa
kasus pemerkosaan.
Main kuasa ini berlanjut. Di suatu malam rumah Marli dibakar.
Marli terpaksa mengungsi ke rumah orang tuanya di Clodovil,
sebuah distrik lain Belord Roxo.
Bukan cuma itu. Komisaris Geraldo Amin Chaim tiba-tiba
dipindahtugaskan. Ia mendapat tugas baru di Musium Polisi di Rio
de Janeiro. Jaksa Anne Marie Faber Barbalat juga dimutasikan.
Entah ke mana.
Dan Kapten Bastos, dianggap berjasa--menutup kasus Marli.
Kedudukannya tiba-tiba naik. Ia diserahi kursi kepala bagian
intelijen. Beberapa hari kemudian, ia muncul di hadapan pers,
sudah tak lagi berseragam.
Amin Chaim digantikan Komisaris Polisi Milton de Costa.Dan
pejabat inilah yang beberapa hari kemudian mengumumkan kepada
pers, pelaku-pelaku pembunuhan Paulo telah mengaku. Empat nama
diajukan, tapi hanya satu yang didasarkan identifikasi Marli,
yaitu Jairo Pedro dos Santos--yang pertama kali dikenali Marli.
Tiga orang lainnya, dikenali pers sebagai penjaga malam, bukan
anggota pasukan Batalyon 20. Jairo, seorang dari tiga penjaga
malam" yang mengaku itu membuat pernyataan, ia ikut membunuh
Paulo karena orang yang dibunuhnya itu pernah memperkosa
istrinya.
Setelah makan waktu hampir lima bulan, kasus Marli reda.
Pengacara da Rocha Braz, juga pers tak bisa berbuat apa-aa. Ada
kekuasaan di atas hukum di sana.
Brazilia memasuki tahun 60-an dengan tanda-tanda kebangkrutan.
Dua hal buruk menggerogoti negara itu: runtuhnya perekonomiannya
dan munculnya pemerintahan militer yang menjalankan militerisme.
Di sekitar Perang Dunia II perekonomian Brazilia masih sehat,
berkat berbagai hasil pertanian dan perkebunan terutama kopi. Di
saat itu pula, Brazilia mulai mengembangkan industri dan
penambangan, mineral.
Tapi waktu itu telah tercium bahwa kekuasaan di negara itu tak
sehat. Presidennya, Getuilo Vargas memerintah secara
diktatorial. Karena hubungan baiknya dengan beberapa negara
Eropa, atas perintahnya, Brazilia jadi satu-satunya negara
Amerika Latin yang terlibat langsung dalam Perang Dunia II.
Brazilia mengirimkan pasukan para ke Eropa, untuk ikut
bertempur.
Menjelang tahun 50-an Vargas membangun cita-cita pribadinya:
Brazilia yang modern dan megah. Tapi nyatanya Vargas tak bisa
mengendalikan akibat-akibat buruk dari industrialisasi yang
diprogramkan terlalu ambisius. Di tahun 1950 tanpa perhitungan,
berbagai industri besar dibangun di sekitar Rio de Janeiro dan
Sao Paolo. Brasilia sebagai ibu negeri seperti mau meledak
karena pembangunan. Seperti mau membawa Brazilia ke era modern
dengan ajaib. Jadinya memang megah luar biasa.
Seperti biasanya, penduduk pedalaman pun mengalir ke daerah
industri, dan meninggalkan profesi bertani. Maka produksi
pertanian yang sebenarnya menunjang perekonomian Brazilia
merosot drastis. Sedang industri yang diharapkan menggantikannya
macet. Ditambah lagi kebiasaan korupsi yang muncul.
Tahun 1954 Vargas bunuh diri di tengah keputusasaan menghadapi
rontoknya perekonomian Brazilia-yang berarti pula kehancuran
kekuasannya.
Sampai kini keruntuhan ekonomi itu masih saja terus berlangsung.
Rio de Janeiro dan Sao Paolo menjadi daerah padat dan kisruh.
Juga daerah sekitarnya. Ketika berbagai industri macet di kedua
kota itu, bekas pekerja-pekerja yang menganggur--juga pendatang
yang tak mendapat pekerjaan--pindah ke daerah Baixada. Di tempat
ini kehidupan jauh lebih murah dibandingkan dengan kedua kota
besar itu. Maka jadilah Baixada daerah terpadat.
Di daerah yang mempunyai luas 800 kilometer persegi itu, hidup
3,5 juta jiwa berhimpit-himpitan. 10% di antaranya adalah
anak-anak yang hidup tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan.
Rata-rata penghasilan pun sangat rendah, US$ 100 per bulan. Itu
pun tak seluruhnya, sebagian besar justru menganggur.
"Di kota-kota Morro Agudo, Belford Roxo dan Vila de Cava, adalah
pemandangan biasa bila ada sekelompok orang--dewasa dan
anak-anak-mengorek-ngorek timbunan sampah seperti tikus, mencari
makanan dan barang-barang bekas yang masih bisa dijual," tulis
Ghislaine Morel, wartawati itu.
Presiden sipil terakhir yang mencoba mengatasi Brazilia yang
sudah porak poranda itu adalah Joao Goulart. Ia terpilih tahun
1961 dan dijatuhkan tahun 1964 oleh kudeta militer. Sejak tahun
itu, kekuasaan di Brazilia berada di tangan militer, yang tak
jarang saling menjatuhkan.
Goulart jatuh terutama karena tak bisa menguasai keamanan
negeri. Dan justru itu pula yang menaikkan pamor militer.
Menjelang tahun 60-an kriminalitas meningkat di Brazilia,
terutama kejahatan-kejahatan yang terorganisasi. Untuk mengatasi
itu1958, penguasa militer membentuk sebuah pasukan keamanan dan
ketertiban yang dinamai Angkatan Bersenjata ke-2. Komandan
Daerah Militer Rio de Janeiro, Jenderal Kruel ditunjuk sebagai
komandan pertama Komando Keamanan dan Ketertiban itu.
Belakangan, tahun 1964 ia mempunyai peran besar dalam kudeta
menjatuhkan Goulart.
Setelah militer berkuasa, atas usul seorang ahli strategi
Euripedes Maltade Sawas, Jenderal Kruel memutuskan membentuk
sebuah pasukan khusus antibanditisme.
Pasukan khusus ini segera menggantikan tugas polisi yang
kedudukannya makin lama makin terdesak dan seringkali
dilangkahi. Karena itu tak jarang terjadi bentrokan antara
polisi dan pasukan khusus itu. Cara keduanya mengatasi
kriminalitas, jauh berbeda. Bila polisi masih mencoba berjalan
di jalur hukum, pasukan khusus itu, tidak. Cara mereka khas:
tembak di tempat.
Tapi usaha membangun tentara antikejahatan ini tak bisa
dikatakan berhasil. Di beberapa segi malah buruk. Caranya
membentuk divisi-divisi menggambarkan keburukan itu. Pasukan itu
banyak mempekerjakan bekas-bekas bandit dan pekerja-pekerja yang
sama sekali tak terpelajar. Mendapat latihan ala kadarnya,
bekas-bekas bajingan ini kemudian diberi seragam militer atas
nama keamanan. Siapa pun tahu, itulah salah satu sebab mengapa
pasukan keamanan itu menjadi liar dan kejam. Barangkali lebih
dari pada bila mereka menjadi bajingan. Kini mereka dilindungi
undang-undang.
Berbagai nama yang dipakai sebagai atribut seperti The Seven
Golden Men, The Death Squad dan Mesquita menunjukkan citra
mereka sebenarnya tak berbeda dari kelompok bajingan--umpamanya,
yang terkenal di Amerika Serikat, The Hell's Angel.
The Seven Golden Men adalah kesatuan yang bertugas di Rio de
Janeiro. Terdiri dari 7 kelompok pasukan di bawah pimpinan
Odilon Cateloes Moreira. Satu di antara pemimpin kelompok itu
adalah Mariel Mariscot.
Dia bekas bajingan kelas berat yang mendapat hukuman 20 tahun
penjara. Tapi,sekalipun di penjara masih mempunyai kekuasaan
Pengaruhnya nampak jelas ketika ia diperbolehkan merayakan
perkawinannya di penjara. Kini, tiba-tiba ia menjadi perwira
yang memimpin sebuah pasukan.
Tak syak, tentara acak-acakan macam ini segera punya hubungan
dengan dunia hitam Brazilia--sebuah ironi. Mereka jadinya
melindungi berbagai kegiatan kriminal. Antara lain pencurian
mobil yang kemudian diekspor ke Paraguay dan Columbia. Mereka
juga menjadi bodyguard dan pelindung berbagai usaha dan toko,
dengan bayaran tinggi. Dan yang paling tak masuk akal, mereka
juga bersedia menjadi pembunuh bayaran.
Pernah terjadi, seorang anggota PM Jose Renato Maia, terlibat
dalam sebuah kasus pembunuhan. Seorang pengusahakaya, Jorge
Hagenauer, membayarnya US$ 3000 untuk membunuh bini muda si
pengusaha kaya itu, Irene Renato Guimaraes. Wanita muda ini
kebetulan direktur administratif sebuah perkumpulan sepakbola di
Rio de Janeiro. Berita kematiannya cepat tersebar.
Mayat Irene ditemukan 17 Agustus 1979 di Nova Iguacu. Ia mati
karena dibakar, dan sebelah tangannya putus, hilang. Kasus ini
terbongkar karena dua pembantu Jose Renato Maia dalam
menjalankan pembunuhan, tertangkap dan mengaku.
Sejak pasukan-pasukan antibanditisme ini bermunculan, berbagai
pembunuhan pun jadi biasa di Brazilia. Dan yang terbunuh justru
bukan banditnya. Bisa dipastikan rakyat kecillah yang tertimpa
sial.
Daerah Baixada adalah contoh yang paling jelas. Daerah ini
termasuk daerah paling miskin di Brazilia, angka kriminalitas
termasuk besar. Cuma kriminalitas ini boleh dikata tak berarti
bila dibandingkan dengan kejahatan gangster-gangster di Rio de
Janeiro dan Sao Paolo. Kejahatan di Baixada umumnya: pencurian,
perkelahian karena mabuk, penipuan dan pengedaran obat-obat
narkotik.
Tapi, tahun 1975 komandan daerah militer Rio de Janeiro,
Jenderal Oswaldo Ignacio Domingues merasa perlu untuk
memperketat keamanan di daerah itu. Satuan polisi dibubarkan.
Dan sebagai gantinya ditempatkan di situ pasukan khusus Polisi
Militer yang berjumlah 5000 orang.
Segera tersebar berita, pasukan khusus Baixada terkenal paling
kejam dan biadab. Seperti biasanya pembunuh-pembunuh berdarah
dingin, mereka merasa perlu untuk meninggalkan identitasnya bila
membunuh. Kelompok Joao Coelho misalnya, senantiasa memasang
lilin berkliling di dekat korban yang dibunuhnya. Ini masih
tergolong sopan.
Kelompok-kelompok lain mempunyai cara yang jauh lebih biadab.
Menurut catatan Morel Grup A, misalnya, mempunyai ciri mengikat
tangan korban dengan tali nilon. Grup B, meninggalkan korbannya
dengan muka menghadap ke tanah. Grup C, membakar dan menggantung
korbannya. Sungguh-sungguh gila.
Di atas semua itu, nafsu untuk membunuh nampaknya tak lagi bisa
dibayangkan bisa ada pada manusia. Korban rata-rata tewas
dengan berpuluh-puluh peluru di tubuhnya.
Lalu tak adakah usaha mengatasi kebiadaban ini? Itulah
barangkali yang dikatakan kekuasaan. Mereka yang tahu terlampau
banyak, berani menentang, atau protes, dalam waktu tak lama akan
segera ditemukan mayatnya. Semua orang di Baixada hafal
urutannya: ada pasukan bersenjata datang di malam hari, ada
seseorang yang diseret ke jip, ada sejumlah tembakan terdengar,
dan keesokannya ada mayat yang ditemukan. Tuduhan atau barang
bukti yang ditemukan, sepert yang dialami Marli Per eira
Soares, tak selalu dirasakan perlu. Artinya, tak sedikit
penduduk Baixada yang ditembak begitu saja. Nah, siapa yang
berani.
Jose Carlos umpamanya. Ia enam kali diseret, dan enam kali
ditembak tapi atas rahmat Tuhan, dia selamat. Ada usaha di
kalangan pers untuk mengekspose pengalamannya dalam rangka
menyorot kekejaman PM yang memberondongnya. Tapi ia menolak,
bahkan bersembunyi. Kepada Ghisaine Morel dikatakannya, "Saya
berjumpa dengan kematian dalam jarak yang sangat dekat. Sekarang
saya menghargai hidup jauh di atas segalanya."
Pers memang termasuk salah satu alat yang ampuh. Dalam kasus
Marli misalnya, tanpa pemberitaan di surat kabar, bisa
dipastikan wanita 28 tahun itu bakal mati bersama anak-anaknya.
Entah mengapa, kendati sudah sebegitu buruknya muka penguasa di
mata rakyat, agaknya mereka masih mau bersolek di surat-surat
kabar.
Selain pers, pejabat-pejabat polisi yang masih ditempatkan di
markas-markas pasukan keamanan, termasuk juga yang gigih
membendung kegilaan militer di Brazilia. Bersama jaksa dan
sejumlah pengacara, mereka biasanya mencoba membawa kasus-kasus
pembunuhan ke pengadilan. Tapi kebanyakan usaha itu sia-sia.
Di Baixada, kini seorang jaksa masih juga berjuang atas nama
keadilan. Tapi tahun ini saja, 20 kasus yang sudah
dipersiapkannya bakal disidangkan gagal karena BPAE--dinas
intelijen PM--membekukannya dengan alasan-alasan terdapat
rahasia militer. Sejauh ini ia masih beruntung tidak
dimutasikan, mungkin karena belum lagi ada kasusnya yang
"masuk". Tapi misalnya ia dimutasikan seperti Anne Marie Faber
Barbalat, ia masih beruntung. Seorang jaksa lainnya, Luiz Carlos
Rangel de Carvalho tewas ditembak seorang anggota pasukan PM.
Edannya, ini pun tak sampai dimejahijaukan.
Neraka, itu nama yang paling tepat bagi Baixada. Menurut catatan
PBB, berdasarkan sebuah penelitian antara tahun 1971-1976
Baixada tcrmasuk sebuah daerah yang paling penuh dengan
kekerasan, di dunia. Khususnya 40 distrik di Belford Roxo, di
mana Marli tinggal.
Wanita itu kini tak lagi bekerja. Kesadarannya sudah semakin
susut. Jiwanya guncang. Sehari-hari, ia duduk saja di beranda
rumah orang tuanya, di sebuah kursi goyang memangku anaknya yang
bungsu. Kadang-kadang terdengar ia bergumam, melagukan sebuah
lagu anak-anak Brazilia. Lirih, jauh tak semerdu hentakan
lagu-lagu Sergio Mendes and His Brazil 66. Barangkali ia sedang
mengulang sebuah pertanyaan usang: adakah keadilan di dunia ini.
Tapi dengan makna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini