Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Teka-Teki Alergi

Berbagai penelitian untuk mengungkap liku-liku alergi dan cara pengobatannya. Hasil penemuan Ishi Zaka menunjukkan mekanisme alergi semakin jelas.

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALERGI sudah sejak lama menjadi persoalan yang merepotkan manusia. Dahulu kala alergi dianggap sebagai kutukan dewa yang dijatuh pada batok kepala orang. Karena sifatnya yang herediter, alergi dianggap kutukan yang turun temurun. Kini alergi memang tidak lagi dianggap sebagai kutukan, tapi sebegitu jauh ternyata belum banyak berhasil diungkapkan liku-likunya. Reaksi alergi bisa lokal, bisa ula menYeluruh. Ia merupakan pertanda bahwa beberapa infiltran cilik telah masuk dan mencoba hendak mengacaukan keseimbangan tubuh kita. Reaksi ini bisa berwujud macam-macam, mulai dari yang paling ringan sampai yang berat. Reaksi lokal berupa urticria--kulit tampak merah-merah, gatal dan bengkak. Jika khusus menyerang mukosa hidung, maka pilek akan menetes berkepanjangan dan hidung terasa mampat. Ada orang yang bersin terus-menerus karena menghirup sari rumputan yang berserakan diterbangkan angin. Ada pula yang sesak napas karena asmanya kumat. Dan pernahkah anda mendengar tentang kematian yang kelabu akibat suntikan yang baru saja diberikan? Alergi penisilin atau obat-obat lainnya sudah begitu sering menghebohkan di sekitar kita. Dalam Discover Juli lalu, terdapat tulisan yang sangat menarik mengenai alergi ini. Berbagai penelitian mencoba mempelajari liku-likunya dan mencoba menemukan obatnya. Sekalipun demikian, ternyata belum banyak yang bisa terjawab dengan tuntas. "Bahkan buat para dokter pun, beberapa aspek tertentu dari aleri masih teta berupa teka-teki," tulis Denise Grady. Meskipun di tahun 1966 sepasang suami-istri, dr. Teruko Ishizaka dan suaminya Kimishige, berhasil memilah-milah komponen dalam serum penderita yang mengalami alergi. Sejak 1960 mereka sudah menekuni penelitian itu di Children's Asthrna Institute, Denver. Dan hari itu mereka menemukan antibodi yang kemudian dikenal sebagai immunoglobulin E (IgE). Tapi alergi memang masih menjadi teka-teki. Antihistamin atau suntikan desensitisasi (suntikan alergen yang disuntikkan berulang-ulang agar terterjadi toleransi) sudah banyak menolong--hampir 80% teratasi. Toh, efektivitasnya masih tetap individual sifatnya. Sejak penemuan Ishizaka, mekanisme terjadinya alergi nampak menjadi lebih terang. Sebelumnya sudah diketahui, bahwa alergen menyebabkan sel mast (yang banyak terdapat pada lapisan kulit), mukosa pernapasan dan gastrointestinal melepaskan beberapa substansi aktif. Yang dilepaskan itu misalnya: histamin, enzym lisosom, anafilaksis, eosinofil. Histamin dan kawan-kawannya ini menyebabkan reaksi alergi yang kita kenal selama ini. Kulit sekitar alergen akan menjadi merah dan bengkak karena dilatasi pembuluh darah. Substansi itu juga bisa menyebabkan serangan asma. SEJAK penemuan Ishizaka, mekanisme alergi menjadi semakin jelas, IgE ternyata akan mengikat alergen dan melekat pada permukaan sel mast. Akibatnya terjadi perubahan permeabilitas permukaan sel itu dan histamin dan kawan-kawan pun lepas. Tiap sel mast akan dikerumuti lebih dari 500.000 IgE. Dengan demikian, berat tidaknya alergi yang terjadi akan sangat tergantung dari banyaknya IgE yang terbentuk dalam tubuh dan banyaknya alergen yang memancing pembentukan itu. Dr. David Katz dari The Scripps Clinic and Research Foundation di La Jolla, California, semula menggelengkan kepalanya heran. "IgE hanya merepotkan manusia yang mengidapnya," katanya. Tapi jika diselusuri lebih dalam, ternyata IgE merupakan salah satu mekanisme pertahanan terdepan dari tubuh. IgE selalu siap sedia memberikan tanda, bila suatu benda asing sedang melakukan invasi ke dalam tubuh kita. IgE dihasilkan oleh sel limfosit B, salah satu dari jenis sel darah putih. Sel limfosit lainnya--sel T--menghasilkan substansi yang dapat memacu atau menghambat pembentukan IgE itu. Keseimbangan yang terjadi antara kedua aktivitas itu akan menentukan besarnya produksi IgE. IgE sendiri merupakan salah satu dari kelima kelas globulin yang terdapat dalam tubuh. Kelima globulin itu adalah: IgA, IgD, IgM, IgG dan IgE. Orang-orang yang tidak cenderung alergis mempunyai IgE dalam jumlah kecil dalam darahnya. Tapi orang-orang yang berbakat untuk mengidap alergi ini ternyata mempunyai IgE yang cukup banyak--puluhan bahkan ratusan kali dari yang normal. Dr. Gregory Siskind dari Cornell University Medical College yakin bahwa IgE sangat penting dalam sistem pertahanan tubuh. J ika seseorang kekurangan IgE di dalam tubuhnya, maka sistem-pertahanan itu akan terganggu dan hal ini tentu membahayakan. Sebaliknya jika IgE jumlahnya berlebihan, maka reaksi alergi akan mudah menghinggapi seseorang. Kimishige maupun Katz yakin, bahwa obat-obat tertentu dapat digunakan untuk menekan produksi IgE, seperti golongan steroid misalnya. Menekan produksi IgE yang sudah normal tentu saja berbahaya--akan memperlemah pertahanan tubuh. Tapi menekan level IgE yang tinggi, tentu sangat berguna untuk mengatasi reaksi alergi yang mungkin terjadi. Para ahli menemukan adanya hubungan timbal balik antara aktivitas sel B dengan sel T. IgE yang dihasilkan oleh sel B akan merangsang sel T sehingga menghasilkan suatu substansi yang bersifat mencegah, yang akan mengontrol aktivitas sel B. Sehingga diharapkan akan senantiasa terjadi keseimbangan produksi IgE dalam tubuh. Sejak beberapa tahun yang lalu, para ahli alergi berhasil memilah-milah substansi IgE pencegah itu dari sel tubuh. Penemuan iri menjanjikan kecerahan yang luar biasa dalam penelitian tentang alergi untuk masa-masa mendatang. Menurut Katz, berdasarkan penemuan itu mungkin saja suatu ketika dibuat obat yang dapat mengatur produksi IgE pencegah itu sendiri. Pengobatan tidak lagi bersifat tailor made, tapi dapat ditujukan untuk semua IgE Katz percaya, sepuluh tahun mendatang impian dan harapan ini akan bisa diwujudkan. "Bahkan IgE pencegah dari sel tubuh manusia akan dapat digunakan untuk pengobatan," katanya. Optimisme Katz ini tak sepenuhnya diterima Ishizaka. Ia bahkan meragukannya. Tak mudah mengharapkan suatu protein asing diterima begitu saja oleh tubuh. Protein itu akan hancur sebelum berfungsi. Sistem pertahanan tubuh akan melawannya dengan tangkas Sesungguhnya sehat atau sakit memang tergantung dari keseimbangan yang terjadi. Selama keseimbangan itu dapat dipertahankan oleh tubuh sendiri, maka selama itu pula memang tidak diperlukan bantuan obat apa pundari luar. Katz mengemukakan teori baru mengenai urusan alergi ini. Teori ini disebutnya sebagai allergic breakthrough. Apabila suatu alergen menyusup ke dalam tubuh, maka produksi IgE meningkat dengan cepat. Keseimbangan antara substansi yang memacu atau yang menghambat produksi IgE menjadi terganggu. Terjadilah ledakan jumlah IgE, dan reaksi alergi pun timbul. Perubahan-perubahan keseimbangan itu akan menentukan timbulnya atau menghilangnya reaksi alergi pada setiap waktu. Dengan demikian, tidak setiap alergen akan mampu menyebabkan meledaknya alergi. Jika rangsangan allergen tidak cukup efektif maka alergi tidak akan timbul. Teori Katz itu juga menjelaskan bahwa skin test yang dilakukan ternyata tidak sepenuhnya menjamin, apakah seseorang mengidap kecenderungan alergi atau tidak. Skin test positif memang berarti di sekitar alergen itu terdapat IgE. Tapi belum tentu jumlah IgE itu cukup efisien untuk menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang luas--dan sel mast menjadi lebih peka untuk melepaskan histamin. Banyak kita temukan orang-orang yang mempunyai hasil skin test yang positif, tapi ternyata mereka tidak pernah sampai terkena reaksi alergi yang rawan itu. Suntikan disensitisasi--merupakan salah satu sistem pengobatan alergi dewasa ini--sebenarnya merupakan suatu cara untuk mencegah jangan sampai terjadi allergic breakthrough dalam tubuh seseorang. Sejumlah kecil alergen disuntikkan berulang-ulang. Dengan jumlah yang kecil itu, alergen tersebut tidak akan cukup efektif meningkatkan produksi IgE. Sehingga, tidak sampai menyebabkan timbulnya reaksi alergi. Alergen itu sendiri akan dirusak oleh antibodi yang lain setiap kali disuntikkan ke dalam tubuh. Ishizaka begitu tergoda oleh penemuannya itu. Menurut pendapatnya, ikatan IgE dengan alergen yang merantai sel mast itu sesungguhnya merupakan suatu proses kimiawi. Ada suatu enzym tertentu berperanan di dalamnya. Maka tentu saja proses kimiawi itu dapat dihambat dengan memberikan suatu enzym penahan tertentu pula. Saat ini ia sedang mengembangkan penelitiannya mengenai penyempurnaan enzym penahan itu. Seorang peneliti lain, dr. Frank Austen dari Harvard Medical School, melakukan percobaan dari sisi lain. Ia tidak mencoba menghambat proses kimiawi yang enzymatis itu tapi mencoba mencegah sel mast aga tidak melepaskan histamin dan substansi yang lain. Ia tidak memutuskan rantai ikatan IgE dengan alergen, tapi mempengaruhi permeabilitas dari dinding sel mast. Untuk tujuan itu ia menemukan suatu zat yang disebutnya sebagai cromolyn sodium. Tapi suatu hal yang masih dikhawatirkan sebagai efek samping adalah sel mast bisa tidak mengeluarkan histamin sama sekali. Ini justru juga akan merusak keseimbangan dalam tubuh. Percobaan Ishizaka dan Austen memang cukup menggembirakan dan banyak memberi harapan. Sejak antihistamin ditemu kan pada tahun 1930, sampai saat ini belum ada percobaan lain yang memberikan harapan. Antihistamin sendiri, yang bekerja dengan cara menetralisasi histamin yang dikeluarkan oleh sel mast, ternyata seting pula gagal untuk mengatasi allergic breakthrough. Ini membuktikan ada substansi-substansi lainnya yang dikeluarkan oleh sel mast yang ikut mengambil bagian dalam proses itu. Substansi itu mulai dikenal pada tahun 1970 sebagai leukotriene. Leukotriene jauh lebih kuat dibandingkan histamin. Dan leukotriene ini yang terutama berperanan dalam reaksi asma dan shock anafilaksis. Di Harvard suatu antileukotriene sedang dikembangkan. Banyak harapan yang telah diletakkan oleh percobaan-percobaan itu. Tapi alergi masih tetap teka-teki di hadapan kita. Ada yang bertahun-tahun telah dihinggapinya. Ada yang sejak kecil sudah kena asma, tapi ketika menginjak dewasa asmanya sirna begitu saja, tak pernah kumat lagi. Sebaliknya, ada yang tiba-tiba saja menjadi asma, padahal sejak kecil tak pernah menderita penyakit itu. Di Amerika, menurut Discover, sekitar 2000 sampai 4000 orang meninggal setiap tahun karena asma. Sebanyak 15 juta orang Amerika bersin setiap hari karena alergi. Ada yang tak tahan bau bunga, atau sari rumputan, atau debu rumah ataupun bulu kucing yang disayanginya. Alergi bisa juga timbul karena tak tahan makan ikan laut, susu, cokelat, telur setengah matang, dan sebagainya. Apa pun bisa menyebabkan alergi. Begitu banyak jenis alergen di sekitar kita. Dan jangan lupa: ada yang alergi terhadap kritik. Kritik barangkali memang salah satu alergen dalam tubuh kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus