ALERGI sudah sejak lama menjadi persoalan yang merepotkan
manusia. Dahulu kala alergi dianggap sebagai kutukan dewa yang
dijatuh pada batok kepala orang. Karena sifatnya yang herediter,
alergi dianggap kutukan yang turun temurun. Kini alergi memang
tidak lagi dianggap sebagai kutukan, tapi sebegitu jauh ternyata
belum banyak berhasil diungkapkan liku-likunya.
Reaksi alergi bisa lokal, bisa ula menYeluruh. Ia merupakan
pertanda bahwa beberapa infiltran cilik telah masuk dan mencoba
hendak mengacaukan keseimbangan tubuh kita. Reaksi ini bisa
berwujud macam-macam, mulai dari yang paling ringan sampai yang
berat. Reaksi lokal berupa urticria--kulit tampak merah-merah,
gatal dan bengkak. Jika khusus menyerang mukosa hidung, maka
pilek akan menetes berkepanjangan dan hidung terasa mampat.
Ada orang yang bersin terus-menerus karena menghirup sari
rumputan yang berserakan diterbangkan angin. Ada pula yang
sesak napas karena asmanya kumat. Dan pernahkah anda mendengar
tentang kematian yang kelabu akibat suntikan yang baru saja
diberikan? Alergi penisilin atau obat-obat lainnya sudah begitu
sering menghebohkan di sekitar kita.
Dalam Discover Juli lalu, terdapat tulisan yang sangat menarik
mengenai alergi ini. Berbagai penelitian mencoba mempelajari
liku-likunya dan mencoba menemukan obatnya. Sekalipun demikian,
ternyata belum banyak yang bisa terjawab dengan tuntas. "Bahkan
buat para dokter pun, beberapa aspek tertentu dari aleri masih
teta berupa teka-teki," tulis Denise Grady.
Meskipun di tahun 1966 sepasang suami-istri, dr. Teruko Ishizaka
dan suaminya Kimishige, berhasil memilah-milah komponen dalam
serum penderita yang mengalami alergi. Sejak 1960 mereka sudah
menekuni penelitian itu di Children's Asthrna Institute, Denver.
Dan hari itu mereka menemukan antibodi yang kemudian dikenal
sebagai immunoglobulin E (IgE).
Tapi alergi memang masih menjadi teka-teki. Antihistamin atau
suntikan desensitisasi (suntikan alergen yang disuntikkan
berulang-ulang agar terterjadi toleransi) sudah banyak
menolong--hampir 80% teratasi. Toh, efektivitasnya masih tetap
individual sifatnya. Sejak penemuan Ishizaka, mekanisme
terjadinya alergi nampak menjadi lebih terang.
Sebelumnya sudah diketahui, bahwa alergen menyebabkan sel mast
(yang banyak terdapat pada lapisan kulit), mukosa pernapasan dan
gastrointestinal melepaskan beberapa substansi aktif. Yang
dilepaskan itu misalnya: histamin, enzym lisosom, anafilaksis,
eosinofil. Histamin dan kawan-kawannya ini menyebabkan reaksi
alergi yang kita kenal selama ini. Kulit sekitar alergen akan
menjadi merah dan bengkak karena dilatasi pembuluh darah.
Substansi itu juga bisa menyebabkan serangan asma.
SEJAK penemuan Ishizaka, mekanisme alergi menjadi semakin
jelas, IgE ternyata akan mengikat alergen dan melekat pada
permukaan sel mast. Akibatnya terjadi perubahan permeabilitas
permukaan sel itu dan histamin dan kawan-kawan pun lepas.
Tiap sel mast akan dikerumuti lebih dari 500.000 IgE. Dengan
demikian, berat tidaknya alergi yang terjadi akan sangat
tergantung dari banyaknya IgE yang terbentuk dalam tubuh dan
banyaknya alergen yang memancing pembentukan itu.
Dr. David Katz dari The Scripps Clinic and Research Foundation
di La Jolla, California, semula menggelengkan kepalanya heran.
"IgE hanya merepotkan manusia yang mengidapnya," katanya. Tapi
jika diselusuri lebih dalam, ternyata IgE merupakan salah satu
mekanisme pertahanan terdepan dari tubuh. IgE selalu siap sedia
memberikan tanda, bila suatu benda asing sedang melakukan invasi
ke dalam tubuh kita.
IgE dihasilkan oleh sel limfosit B, salah satu dari jenis sel
darah putih. Sel limfosit lainnya--sel T--menghasilkan substansi
yang dapat memacu atau menghambat pembentukan IgE itu.
Keseimbangan yang terjadi antara kedua aktivitas itu akan
menentukan besarnya produksi IgE.
IgE sendiri merupakan salah satu dari kelima kelas globulin yang
terdapat dalam tubuh. Kelima globulin itu adalah: IgA, IgD, IgM,
IgG dan IgE. Orang-orang yang tidak cenderung alergis mempunyai
IgE dalam jumlah kecil dalam darahnya. Tapi orang-orang yang
berbakat untuk mengidap alergi ini ternyata mempunyai IgE yang
cukup banyak--puluhan bahkan ratusan kali dari yang normal.
Dr. Gregory Siskind dari Cornell University Medical College
yakin bahwa IgE sangat penting dalam sistem pertahanan tubuh. J
ika seseorang kekurangan IgE di dalam tubuhnya, maka
sistem-pertahanan itu akan terganggu dan hal ini tentu
membahayakan. Sebaliknya jika IgE jumlahnya berlebihan, maka
reaksi alergi akan mudah menghinggapi seseorang.
Kimishige maupun Katz yakin, bahwa obat-obat tertentu dapat
digunakan untuk menekan produksi IgE, seperti golongan steroid
misalnya. Menekan produksi IgE yang sudah normal tentu saja
berbahaya--akan memperlemah pertahanan tubuh. Tapi menekan level
IgE yang tinggi, tentu sangat berguna untuk mengatasi reaksi
alergi yang mungkin terjadi.
Para ahli menemukan adanya hubungan timbal balik antara
aktivitas sel B dengan sel T. IgE yang dihasilkan oleh sel B
akan merangsang sel T sehingga menghasilkan suatu substansi yang
bersifat mencegah, yang akan mengontrol aktivitas sel B.
Sehingga diharapkan akan senantiasa terjadi keseimbangan
produksi IgE dalam tubuh.
Sejak beberapa tahun yang lalu, para ahli alergi berhasil
memilah-milah substansi IgE pencegah itu dari sel tubuh.
Penemuan iri menjanjikan kecerahan yang luar biasa dalam
penelitian tentang alergi untuk masa-masa mendatang.
Menurut Katz, berdasarkan penemuan itu mungkin saja suatu ketika
dibuat obat yang dapat mengatur produksi IgE pencegah itu
sendiri. Pengobatan tidak lagi bersifat tailor made, tapi dapat
ditujukan untuk semua IgE Katz percaya, sepuluh tahun mendatang
impian dan harapan ini akan bisa diwujudkan. "Bahkan IgE
pencegah dari sel tubuh manusia akan dapat digunakan untuk
pengobatan," katanya.
Optimisme Katz ini tak sepenuhnya diterima Ishizaka. Ia bahkan
meragukannya. Tak mudah mengharapkan suatu protein asing
diterima begitu saja oleh tubuh. Protein itu akan hancur sebelum
berfungsi. Sistem pertahanan tubuh akan melawannya dengan
tangkas Sesungguhnya sehat atau sakit memang tergantung dari
keseimbangan yang terjadi. Selama keseimbangan itu dapat
dipertahankan oleh tubuh sendiri, maka selama itu pula memang
tidak diperlukan bantuan obat apa pundari luar.
Katz mengemukakan teori baru mengenai urusan alergi ini. Teori
ini disebutnya sebagai allergic breakthrough. Apabila suatu
alergen menyusup ke dalam tubuh, maka produksi IgE meningkat
dengan cepat. Keseimbangan antara substansi yang memacu atau
yang menghambat produksi IgE menjadi terganggu. Terjadilah
ledakan jumlah IgE, dan reaksi alergi pun timbul.
Perubahan-perubahan keseimbangan itu akan menentukan timbulnya
atau menghilangnya reaksi alergi pada setiap waktu. Dengan
demikian, tidak setiap alergen akan mampu menyebabkan meledaknya
alergi. Jika rangsangan allergen tidak cukup efektif maka
alergi tidak akan timbul.
Teori Katz itu juga menjelaskan bahwa skin test yang dilakukan
ternyata tidak sepenuhnya menjamin, apakah seseorang mengidap
kecenderungan alergi atau tidak. Skin test positif memang
berarti di sekitar alergen itu terdapat IgE. Tapi belum tentu
jumlah IgE itu cukup efisien untuk menyebabkan terjadinya reaksi
alergi yang luas--dan sel mast menjadi lebih peka untuk
melepaskan histamin. Banyak kita temukan orang-orang yang
mempunyai hasil skin test yang positif, tapi ternyata mereka
tidak pernah sampai terkena reaksi alergi yang rawan itu.
Suntikan disensitisasi--merupakan salah satu sistem pengobatan
alergi dewasa ini--sebenarnya merupakan suatu cara untuk
mencegah jangan sampai terjadi allergic breakthrough dalam tubuh
seseorang. Sejumlah kecil alergen disuntikkan berulang-ulang.
Dengan jumlah yang kecil itu, alergen tersebut tidak akan cukup
efektif meningkatkan produksi IgE. Sehingga, tidak sampai
menyebabkan timbulnya reaksi alergi. Alergen itu sendiri akan
dirusak oleh antibodi yang lain setiap kali disuntikkan ke dalam
tubuh.
Ishizaka begitu tergoda oleh penemuannya itu. Menurut
pendapatnya, ikatan IgE dengan alergen yang merantai sel mast
itu sesungguhnya merupakan suatu proses kimiawi. Ada suatu enzym
tertentu berperanan di dalamnya. Maka tentu saja proses kimiawi
itu dapat dihambat dengan memberikan suatu enzym penahan
tertentu pula. Saat ini ia sedang mengembangkan penelitiannya
mengenai penyempurnaan enzym penahan itu.
Seorang peneliti lain, dr. Frank Austen dari Harvard Medical
School, melakukan percobaan dari sisi lain. Ia tidak mencoba
menghambat proses kimiawi yang enzymatis itu tapi mencoba
mencegah sel mast aga tidak melepaskan histamin dan substansi
yang lain. Ia tidak memutuskan rantai ikatan IgE dengan alergen,
tapi mempengaruhi permeabilitas dari dinding sel mast. Untuk
tujuan itu ia menemukan suatu zat yang disebutnya sebagai
cromolyn sodium. Tapi suatu hal yang masih dikhawatirkan sebagai
efek samping adalah sel mast bisa tidak mengeluarkan histamin
sama sekali. Ini justru juga akan merusak keseimbangan dalam
tubuh.
Percobaan Ishizaka dan Austen memang cukup menggembirakan dan
banyak memberi harapan. Sejak antihistamin ditemu kan pada tahun
1930, sampai saat ini belum ada percobaan lain yang memberikan
harapan.
Antihistamin sendiri, yang bekerja dengan cara menetralisasi
histamin yang dikeluarkan oleh sel mast, ternyata seting pula
gagal untuk mengatasi allergic breakthrough. Ini membuktikan ada
substansi-substansi lainnya yang dikeluarkan oleh sel mast yang
ikut mengambil bagian dalam proses itu. Substansi itu mulai
dikenal pada tahun 1970 sebagai leukotriene. Leukotriene jauh
lebih kuat dibandingkan histamin. Dan leukotriene ini yang
terutama berperanan dalam reaksi asma dan shock anafilaksis. Di
Harvard suatu antileukotriene sedang dikembangkan.
Banyak harapan yang telah diletakkan oleh percobaan-percobaan
itu. Tapi alergi masih tetap teka-teki di hadapan kita. Ada yang
bertahun-tahun telah dihinggapinya. Ada yang sejak kecil sudah
kena asma, tapi ketika menginjak dewasa asmanya sirna begitu
saja, tak pernah kumat lagi. Sebaliknya, ada yang tiba-tiba saja
menjadi asma, padahal sejak kecil tak pernah menderita penyakit
itu. Di Amerika, menurut Discover, sekitar 2000 sampai 4000
orang meninggal setiap tahun karena asma.
Sebanyak 15 juta orang Amerika bersin setiap hari karena alergi.
Ada yang tak tahan bau bunga, atau sari rumputan, atau debu
rumah ataupun bulu kucing yang disayanginya. Alergi bisa juga
timbul karena tak tahan makan ikan laut, susu, cokelat, telur
setengah matang, dan sebagainya. Apa pun bisa menyebabkan
alergi. Begitu banyak jenis alergen di sekitar kita.
Dan jangan lupa: ada yang alergi terhadap kritik. Kritik
barangkali memang salah satu alergen dalam tubuh kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini