Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perekonomian 2004: Merangkak di Tengah Gemuruh Politik

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faisal Basri
  • Ekonom FEUI

    Di tengah gemuruh pesta-pora politik sepanjang 2004, perekonomian Indonesia mencatat beberapa perkembangan yang cukup fenomenal. Yang terpenting mungkin adalah untuk pertama kalinya dan sekaligus yang terakhir kalinya dalam masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, pertumbuhan ekonomi triwulanan menembus angka 5 persen pada triwulan III/2004. Angka pertumbuhan 5 persen seolah seperti tembok tebal yang sulit ditembus sehingga menjadi semacam kendala psikologis bagi percepatan pemulihan ekonomi.

    Terdongkraknya pertumbuhan ekonomi memang ditolong oleh perubahan tahun dasar dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB) dari 1993 menjadi 2000. Apakah pengubahan tahun dasar ini merupakan trik politik untuk mengatrol kinerja pemerintahan Megawati? Rasanya tidak, karena memang sudah tidak pantas merekam dinamika perekonomian berdasarkan struktur ekonomi lama yang jauh sebelum krisis (1993). Sosok perekonomian yang bertitik tolak pada struktur tahun 2000 lebih mencerminkan postur perekonomian pascakrisis yang lebih mendekati keadaan yang sesungguhnya.

    Geliat perekonomian memasuki semester II/2004 didorong oleh ekspor dan investasi—diukur berdasarkan pembentukan modal domestik kotor—yang masing-masing tumbuh secara riil 20 persen dan 13 persen pada triwulan III 2004. Sementara itu, pada triwulan yang sama pertumbuhan riil konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan, yakni hanya 5,1 persen. Bahkan konsumsi pemerintah mencatat pertumbuhan negatif. Pergeseran sumber pertumbuhan dari yang bertumpu pada konsumsi menjadi ekspor dan investasi diharapkan bisa membawa Indonesia ke jalur pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

    Lebih jauh, pertumbuhan nilai nominal ekspor nonmigas meroket ke tingkatan 32 persen pada triwulan III dan terus berlanjut hingga Oktober. Padahal, pertumbuhan ekspor selama tiga tahun terakhir hampir selalu jauh di bawah 10 persen. Gairah sektor riil terlihat pula pada peningkatan impor yang lebih tinggi lagi, yang ditandai oleh peningkatan impor barang modal dan bahan baku/penolong melebihi impor barang konsumsi.

    Peningkatan tajam kredit perbankan sudah mendahului dua bulan sebelumnya. Sejak Juni 2004, persetujuan kredit telah melampaui Rp 30 triliun yang sebelumnya rata-rata di bawah Rp 25 triliun, sedangkan angka realisasinya melonjak tajam dari hanya rata-rata di bawah 10 persen selama setahun terakhir menjadi di atas 20 persen selama Mei-Juli 2004.

    Perbaikan kinerja sektor riil terjadi setelah pemerintah berhasil menjaga kestabilan makroekonomi jangka pendek dan disiplin fiskal secara konsisten dalam dua tahun terakhir. Seiring dengan itu, Bank Indonesia pun melanjutkan kebijakan moneter yang cenderung ketat. Hasilnya tecermin pada volatilitas nilai tukar rupiah yang menyempit dan inflasi yang bisa ditekan pada tingkat sekitar 6 persen sehingga suku bunga SBI bisa dipertahankan pada tingkat yang stabil sekitar 7 persen. Hasil ini lebih banyak dipuji oleh kalangan luar negeri, sedangkan sebagian pengamat di dalam negeri memandangnya dengan sebelah mata.

    Memang masih sangat banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh pemerintahan Megawati. Kestabilan makro-ekonomi yang tercipta masih berada pada tingkat keseimbangan yang rendah dengan kualitas yang rendah pula. Perbaikan kinerja sektor perbankan masih disangga oleh program penjaminan (blanket guarantee) yang mulai pertengahan April mendatang sudah dikurangi secara bertahap.

    Di samping itu, perbaikan yang tercapai berlangsung dengan kecepatan yang relatif sangat lamban dibandingkan dengan perbaikan yang terjadi di negara-negara tetangga, khususnya yang sama-sama mengalami krisis (Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan). Tapi paling tidak perbaikan yang telah dihasilkan bisa menjadi modal dasar yang cukup memadai bagi pemerintahan baru.

    Lambannya pemulihan ekonomi di Indonesia terutama disebabkan oleh faktor politik dan tata kelola pemerintahan yang sangat buruk. Proses menuju perbaikan kerap terganggu oleh peristiwa-peristiwa yang seharusnya tak perlu terjadi, atau kalaupun tak terhindarkan paling tidak dampak negatifnya bisa ditekan. Penutupan Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali pada semester pertama tahun ini menjadi contoh paling menonjol. Kejadian yang menimpa Bank Global dan Bank Persyarikatan Indonesia di penghujung 2004 semakin menegaskan rapuhnya sistem pengawasan dan pengendalian perbankan.

    Kesalahan selalu ditumpahkan sepenuhnya kepada pengelola bank. Tak seorang pun dari Bank Indonesia yang dipersalahkan, walau kejadian seperti ini sudah berulang kali dengan modus operandi yang serupa pula. Kalau hal demikian terus berlangsung, taruhannya adalah kredibilitas Bank Indonesia sendiri atau mungkin sistem pengawasan yang berlaku dewasa ini memang sudah tidak memadai. Untuk itu, Bank Indonesia harus berbenah. Sudah saatnya pula mempercepat pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingat modus operandi kejahatan perbankan sudah pula merambah ke sektor keuangan lainnya, terutama pasar modal.

    Tampaknya tak ada peristiwa ekonomi lain yang menonjol selama 2004 yang mendongkrak sentimen positif, apalagi semacam terobosan. Mungkin tugas historis pemerintahan Megawati memang untuk menjaga kestabilan ekonomi agar proses perubahan besar di bidang politik bisa berlangsung dengan lancar dan aman. Pemerintahan Megawati terbukti tidak mengeksploitasi APBN untuk tujuan-tujuan politik yang vulgar untuk membeli suara pemilih agar terpilih kembali. Ini terbukti dari kenyataan bahwa defisit APBN turun cukup tajam justru pada tahun dilaksanakannya pemilihan umum.

    Kebijakan ekonomi yang konservatif atau teramat berhati-hati sudah barang tentu ada biayanya. Apalagi jika diikuti oleh "keengganan" melakukan tindakan-tindakan korektif yang sifatnya niscaya secara ekonomi namun dihindari karena pertimbangan politik yang terlalu kental atas nama populisme "kosong". Namun, itulah yang terjadi. Pemerintahan Megawati mencederai janjinya sendiri untuk menyesuaikan harga BBM setiap tahun. Bahkan sepanjang 2004 tak ada kenaikan harga BBM sekalipun, padahal harga minyak di pasar internasional meroket sampai pada tingkat yang tertinggi sepanjang 23 tahun terakhir.

    Pemerintahan Megawati juga terus saja menunda pengumuman tentang penghapusan program penjaminan secara bertahap, sehingga terus saja menimbulkan berbagai ragam persoalan moral hazard di dunia perbankan. Akibatnya, dunia perbankan kita masih menjadi parasit bagi perekonomian yang terus-menerus menyedot darah dan keringat rakyat.

    Beban bagi perekonomian sedikit berkurang karena pemerintah telah memutuskan pengakhiran tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Prakarsa Jakarta. Paling tidak, penutupan dua agensi ini telah mengurangi status ketaknormalan yang disandang oleh perekonomian Indonesia. Sayangnya, keberadaan BPPN, termasuk semasa pemerintahan sebelumnya, penuh dengan skandal sehingga mengakibatkan tingkat pengembalian atas aset-aset yang dikuasai negara jauh dari optimal.

    Sungguh sangat banyak pelajaran yang bisa ditarik dari perjalanan sepanjang 2004. Jika pemerintahan baru bertekad untuk memulai era baru, mereka harus memulainya dengan menawarkan paradigma baru pula. Melanjutkan cara-cara lama sama saja dengan antiperubahan sehingga membuatnya paradoks dengan janji-janji kampanye SBY-Kalla. Mempertahankan cara-cara lama memang bisa menghasilkan perbaikan walau sangat marginal dan bersifat linear. Dan itu tak akan mampu menyelesaikan masalah-masalah fundamental dan struktural yang sudah bertengger sejak sebelum krisis hingga sekarang.

    Pada gilirannya, demokrasi akan terancam. Rakyat Indonesia yang telah menunjukkan kesiapan dan kedewasaannya dalam berdemokrasi bisa kecewa kalau pemerintahan baru yang presidennya mereka pilih secara langsung ternyata tak jauh berbeda karakter dan tabiatnya dengan pemerintahan-pemerintahan yang lalu. Perubahan tak bisa sebatas ilusi dan wacana. Arah perubahan yang harus ditempuh sudah sedemikian jelasnya. Legitimasi dari rakyat telah digapai. It is the time to deliver.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus