Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah salah satu isu utama yang diusung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) saat mereka berkampanye menuju kursi presiden dan wakil presiden RI. Karena janji inilah, di samping kuatnya keinginan masyarakat akan perubahan dan berbagai faktor lainnya, pasangan SBY-Kalla menang pemilu.
Kemenangan itu telah membuka kesempatan yang sangat luas bagi SBY-JK untuk mewujudkan semua janji kampanyenya, termasuk soal penegakan hukum dan pemberantasan KKN. Namun, hingga sekitar akhir tahun 2004 ini, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Memang tampak ada peningkatan intensitas dalam proses penegakan hukum dari kasus-kasus korupsi. Ini misalnya terlihat dari langkah Presiden SBY untuk menyetujui surat izin proses pemeriksaan bagi berbagai kalangan, mulai dari para kepala daerah (gubernur dan bupati) hingga anggota badan legislatif, baik di pusat maupun di daerah (DPR, DPRD, dan tidak menutup kemungkinan juga bagi DPD). Hal ini dapat dilihat sebagai langkah awal yang cukup menjanjikan.
Apalagi jika rencana Jaksa Agung untuk melakukan perburuan besar-besaran terhadap para koruptor benar-benar terlaksana. Semua itu bisa semakin meningkatkan harapan bahwa pemerintahan pasangan SBY-JK memang benar-benar serius menegakkan hukum. Salah satu langkah pokok yang kita tunggu-tunggu hasil konkretnya adalah rencana Kejaksaan Agung memeriksa ulang sejumlah kasus yang sudah mendapatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Langkah itu telah sampai pada tindakan pembentukan suatu tim khusus untuk mengkaji kasus-kasus tersebut. Namun langkah lanjutan masih dibutuhkan, antara lain membuka kembali kasus yang pernah memperoleh SP3. Langkah berikut ini harus dilakukan secara hati-hati, misalnya agar jangan sampai ada jaksa atau kelompok jaksa yang pernah ikut memutuskan pemberian SP3 dilibatkan dalam proses pembukaan kembali kasus tersebut. Jika hal tersebut sampai lolos, tidak mustahil jaksa atau kelompok jaksa yang pernah "berjasa" dalam pengeluaran SP3 akan berupaya menerbitkan "SP3 jilid dua".
Dalam konteks penegakan hukum, khususnya termasuk pemrosesan kasus KKN, pemerintahan SBY-Kalla sebenarnya telah sangat diuntungkan dengan berbagai perkembangan, baik dalam skala nasional maupun internasional, yang terjadi selama masa reformasi politik semenjak berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Dalam skala nasional, misalnya, telah tersedia landasan hukum yang memberikan kepastian politik hukum pemberantasan korupsi.
Landasan tersebut dimulai dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Saat ini, sekitar enam tahun setelah terbitnya ketetapan tersebut, Indonesia telah memiliki berbagai peraturan lain, terutama dalam bentuk peraturan perundang-undangan (dari level undang-undang dan peraturan di bawahnya), yang mengatur berbagai mekanisme pemberantasan korupsi. Peraturan yang terakhir dikeluarkan di antaranya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang dikeluarkan bertepatan dengan peringatan Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia dan pencanangan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi pada 9 Desember 2004.
Dalam konteks internasional, perang melawan korupsi juga telah lebih dari setahun dicanangkan. Perang tersebut diawali dengan penandatanganan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] Melawan Korupsi). Pada 2003, lebih dari 110 negara anggota PBB telah menandatangani konvensi tersebut, dan 9 negara kemudian meratifikasinya. Untuk memberlakukan konvensi ini, dibutuhkan ratifikasi dari 60 negara.
Pada intinya dapat disimpulkan bahwa konteks nasional maupun internasional dari upaya-upaya pemberantasan korupsi telah ada dan terbentuk sebelum terbentuknya pemerintahan SBY-Kalla. Dengan demikian ketika mereka memprogramkan hal ini sebagai bagian dari kampanye mereka, dan juga bila mereka kemudian memang benar-benar serius dalam mewujudkannya, itu semua akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Semangat pemberantasan korupsi ini juga didukung aspek lain, di antaranya aspek kebebasan mendapatkan informasi, suatu norma yang telah lama dicantumkan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Masalah dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi dalam kasus pengadaan tank Scorpion TNI AD, yang melibatkan salah satu anggota keluarga mantan penguasa Indonesia, mencuat ke permukaan dan menjadi bahan perdebatan secara terbuka di masyarakat antara lain karena adanya keterbukaan informasi, baik di Inggris sendiri maupun di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada satu gerakan pun yang berpotensi menghambat upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Berdasarkan kajian dan pengalaman empiris dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC atau Kantor PBB Urusan Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan) yang berpusat di Wina, Austria, yang telah berpengalaman dalam menjalankan program pemberantasan korupsi di berbagai negara, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Langkah-langkah versi UNODC tersebut antara lain meliputi empat hal. Pertama, melakukan perbaikan kebijakan dan mekanisme pemberantasan korupsi di tingkat nasional. Untuk melakukan hal ini kita bisa melakukan semacam kajian komprehensif, misalnya dengan cara mempelajari pengalaman berbagai negara lain seperti Hong Kong, Hungaria, Rumania, Libanon, Kenya, dan Nigeria. Salah satu metode yang bisa diterapkan misalnya dengan melihat bagaimana pengalaman negara lain untuk meningkatkan ranking-nya, dari negara yang berstatus sangat korup menjadi negara yang lebih baik ranking-nya.
Kedua, memperkuat integritas aparat penegak hukum. Upaya yang terkait dengan hal ini sebenarnya telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim, pengacara, maupun berbagai elemen lainnya. Namun hingga saat ini hasilnya masih dirasakan tidak optimal, terutama yang terkait dengan masalah koordinasi antar-aparat penegak hukum, yang antara lain mendorong terbentuknya undang-undang tentang sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
Ketiga, meningkatkan integritas sektor publik dan swasta. Secara konseptual, hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan komitmen kalangan publik dan swasta dalam pemberantasan korupsi. Hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah SBY-Kalla terhadap para pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah, termasuk kalangan bisnis.
Keempat, pengembangan landasan hukum dan penguatan kelembagaan. Dalam konteks ini, berbagai peraturan pemberantasan korupsi yang telah ada harus diintensifkan implementasinya. Dalam perspektif internasional, kita bisa mempelajari dan menerapkan norma-norma yang telah terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption. Dari sisi penguatan kelembagaan, harus diupayakan sepenuhnya penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya, agar pengalaman sukses dari negara lain yang memiliki lembaga semacam KPK (misalnya Hong Kong) dapat terwujud pula di tanah air kita.
Walaupun telah tersedia berbagai sarana dan prasarana pemberantasan korupsi, yang diperkuat dengan situasi nasional dan internasional yang sangat kondusif, dari langkah-langkah awal yang telah dilaksanakan oleh para petinggi hukum pemerintahan SBY-Kalla, kita belum dapat merasa yakin dan mantap akan keberhasilan penegakan hukum, khususnya terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi pada tahun 2005. Salah satu hal yang menyebabkan timbulnya keraguan ini adalah terlihatnya kelemahan pada tingkat implementasi, yakni tahap pengenaan hukuman terhadap para pelakunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo