Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Realisme Romantik Bandaharo

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Barisan menyongsong hari datang
kuwakili kini ini
derita dan duka dari zamanku
kudukung di panggung

Tak seorang berniat pulang
walau mati menanti

"TAK Seorang Berniat Pulang" merupakan salah satu puisi Bandaharo yang sangat terkenal. Puisi ini menjadi sajak wajib dalam lomba-lomba deklamasi pada masanya. Komponis Subronto Kusumo Atmodjo menciptakan ilustrasi musik untuk puisi tersebut. Subronto adalah komponis Lekra yang menciptakan lagu Nasakom Bersatu. Sajak yang pertama kali dimuat di majalah Kebudajaan Indonesia pada 1954 itu kemudian dibukukan dalam kumpulan puisi karya Bandaharo berjudul Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (Yayasan Pembaruan, 1958).

Sejak remaja, Bandaharo, yang lahir di Medan pada 1917, memang sudah produktif menulis puisi. Karyanya tersebar di berbagai media massa yang terbit di Medan dan Jakarta. Salah satu karyanya yang terbit pada sekitar 1939, "Sarinah dan Aku", mencuri perhatian dunia sastra saat itu. Senapas dengan "Tak Seorang Berniat Pulang", puisi itu bersifat patriotik dengan gaya realisme romantik. Puisi ini menunjukkan keberpihakan Bandaharo pada perjuangan rakyat melawan kolonialisme dan imperialisme. Perjuangan rakyat untuk meraih keadilan dan melawan penindasan juga tecermin dalam dua sajaknya, "Cerita" dan "Dosa Apa".

Boleh dibilang, puisi-puisi Bandaharo konsisten berpihak pada perjuangan rakyat melawan penindasan. Sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Hersri Setiawan, 81 tahun, mengatakan puisi-puisi Bandaharo itu melontarkan semangat zamannya. "Puisi-puisi Banda juga serba jelas," kata Hersri, yang pernah menjadi Sekretaris Umum Lekra Jawa Tengah dan terpilih sebagai anggota Komite Pengarang Asia-Afrika.

Sastrawan Lekra lainnya, Putu Oka Sukanta, menyatakan, "Puisi-puisi Banda itu sangat lugas. Dia punya estetika sendiri. Dia menggunakan metafora-metafora yang singkat sehingga orang tidak usah bermenung-menung dulu untuk memahami makna puisi-puisinya."

Menurut Putu, puisi-puisi Bandaharo juga merupakan ukuran tentang keberadaan dirinya sebagai penyair. Lewat puisi-puisinya, Bandaharo hendak menunjukkan dirinya tetap ada walaupun berbagai macam penindasan dialaminya. Dia tetap penyair. Dia bisa menulis dalam keadaan bagaimanapun, termasuk ketika tidak ada kertas dan alat tulis seperti yang dialaminya di Rutan Salemba. "Karena kertas dilarang keras dibawa ke sel, Banda pun menulis puisi-puisinya dalam pikiran dan hatinya," ucapnya.

Putu menuturkan, saat ditahan di Salemba, Banda rajin salat lima waktu dan salat malam. Ia juga belajar Al-Quran dan bahasa Arab kepada Abdullah Baraba, seorang guru agama yang rutin datang. "Ketika Banda punya kesempatan menulis di Pulau Buru, pengalamannya dengan guru agama di Salemba itu dia tuangkan dalam sajak berjudul ’Di Mana pun Wajahmu Ada – untuk Abdullah Baraba, Guruku (Buru, 1973)’," ujarnya.

Sajak-sajak Bandaharo telah diterbitkan dalam beberapa buku kumpulan puisi, di antaranya Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (Yayasan Pembaruan, 1958), Dari Bumi Merah (Yayasan Pembaruan, 1963), dan Dosa Apa (Penerbit Inkultra, 1981). Hanya, buku-buku kumpulan puisi itu sempat dilarang rezim Orde Baru bersama buku-buku kiri lainnya. "Akibatnya, puisi-puisi Banda pun seperti hilang ditelan zaman," ujar Putu.

Setelah era reformasi 1998, puisi-puisi Bandaharo muncul dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra-Harian Rakjat (1950-1965) yang diterbitkan Merakesumba Yogyakarta pada September 2008. Ada 15 puisi Bandaharo yang tersaji dalam buku tersebut bersama 437 puisi dari 110 penyair Lekra lainnya. "Puisi-puisi dalam buku itu dihimpun dari dokumentasi Harian Rakjat edisi Minggu yang tersimpan di sebuah perpustakaan," kata Muhidin M. Dahlan, penyunting buku Gugur Merah.

Sekitar dua tahun kemudian, Penerbit Ultimus Bandung menerbitkan buku kumpulan puisi Bandaharo berjudul Aku Hadir di Hari ini. Putu, penyunting buku itu, menyatakan puisi-puisi dalam kumpulan tersebut merupakan karya Bandaharo yang sudah ada di tangannya selama 17 tahun sejak sang penyair meninggal pada 1993. "Saya mendapat langsung puluhan puisi itu dari Banda sudah dalam bentuk ketikan," ujarnya.

Ketika Ultimus akan menerbitkannya pada Maret 2010, Putu kemudian menambahkan beberapa sajak yang pernah termuat dalam buku kumpulan puisi Bandaharo, Dosa Apa. "Waktu itu saya punya target agar karya-karya Banda memiliki jejak sejarahnya. Ada peninggalan sejarahnya. Soal royalti dan lain-lain boleh dibilang bukan hal yang utama," kata Putu.

Nurdin Kalim, Prihandoko, Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus