Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari setelah pulang dari Pulau Buru pada 1979, HR Bandaharo mendapat sambutan khusus dari Martin Aleida. Dengan mobilnya, Martin mengajak "senior"-nya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu jalan-jalan berkeliling Jakarta. "Setelah keliling Jakarta, kami kemudian makan di restoran Padang di kawasan Sabang," kata Martin, sastrawan Lekra, mengenang peristiwa 38 tahun lalu itu.
Hubungan Martin, 73 tahun, dengan Bandaharo menjadi dekat sejak sang penyair pulang dari Buru. Perkenalan mereka bermula ketika sama-sama sering berkumpul di kantor Lekra di Jalan Cidurian 19, Jakarta Pusat, pada 1962. "Saat itu Banda berusia 45 tahun. Sosoknya pendek, tegap, dan berkulit agak hitam dengan mata kiri sering berkedip," ujar Martin. Sebetulnya, menurut Martin, ia mengenal Bandaharo sejak masih di Medan. "Waktu saya masih duduk di bangku SMA (sekolah menengah atas) di sana, Banda sudah menjadi penyair terkenal di Medan."
HR Bandaharo salah seorang penyair penting yang tak banyak muncul dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Dia termasuk pengarang Angkatan Pujangga Baru. Puisi-puisinya lugas, menyuarakan perlawanan rakyat terhadap penindasan dan segala macam ketidakadilan. Ia kemudian dikenal sebagai penyair yang berpihak kepada perjuangan rakyat yang tertindas.
Salah satu puisinya yang terkenal, "Tak Seorang Berniat Pulang", melambungkan nama penyair kelahiran Medan pada 1917 itu. Banyak yang hafal petikan puisi tersebut: Tak seorang berniat pulang/walau mati menanti. Pada masanya, puisi itu juga bergaung di ajang-ajang lomba deklamasi. Boleh dibilang puisi itu kemudian identik dengan Bandaharo. "Puisi itu menggetarkan, sama dengan manifesto politiknya Bung Karno," kata Putu Oka Sukanta, 78 tahun, sastrawan Lekra.
BANDAHARO lahir pada 1 Mei 1917. Nama lengkapnya Banda Harahap. Dalam karya-karya sajaknya, penyair yang akrab disapa Banda ini menggunakan nama pena HR Bandaharo. Ayahnya, HR Mohammad Said, bekerja sebagai konsul Muhammadiyah untuk Sumatera Timur pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam sebuah sajak berjudul "Satu Fragmen", yang dimuat di Harian Rakjat edisi Minggu, 7 Juli 1963, Bandaharo melukiskan sosok sang ayah:
ayahku, dia orang sarekat Islam
masih berumur tigapuluhan
dan taat beribadah
dia hanya yakin pada alquran
pada muhammad
dan pada dirinya sendiri
Bandaharo melewati masa kecil hingga dewasa di Medan. Sejak berusia 16 tahun, dia sudah bergiat di jagat sastra. Karya-karyanya banyak dimuat di Pedoman Masjarakat Medan yang dipimpin Hamka dan Yunan Nasution. Ia juga aktif menulis di sejumlah surat kabar terbitan Medan serta majalah Zaman Baru, Zenith, dan Kebudajaan.
Lulusan pendidikan guru yang pernah mengajar di Sekolah Muhammadiyah, Medan, itu juga pernah memimpin sebuah perkumpulan sandiwara. Dan ketika Revolusi 1945 berkobar di Sumatera Timur, Banda ikut terjun berjuang melawan Belanda. Lalu ia juga pernah bekerja di Jawatan Penerangan Republik Indonesia di Asahan.
Bandaharo kemudian bergulat di dunia jurnalistik. Sejak 1949, ia menjadi anggota redaksi harian Pendorong di Medan. Pada 1962, ia diminta pindah ke Jakarta untuk menjadi redaktur ruang kebudayaan Harian Rakjat edisi Minggu, koran resmi Partai Komunis Indonesia. Di Jakarta, Bandaharo tinggal di paviliun rumah Hasjim Rachman di bilangan Kayu Manis. Hasjim adalah pemimpin redaksi Bintang Timur, yang bersama Pramoedya Ananta Toer dan Joesoef Isak kemudian mendirikan Hasta Mitra-penerbitan yang menerbitkan novel-novel Pram dan karya penulis lainnya.
Selain redaktur di Harian Rakjat edisi Minggu, Bandaharo adalah salah seorang Pengurus Pusat Lekra dan anggota Departemen Kebudayaan Central Comite PKI. Bandaharo kemudian menjadi salah satu penyair Lekra terkemuka.
Menurut Putu Oka, meski punya kedudukan penting di Lekra, Bandaharo tetap bersikap cair dan santai kepada para sastrawan dan seniman muda di lembaga kebudayaan tersebut. "Dia tak menganggap saya yang waktu itu masih muda sebagai juniornya. Hubungan kami di Lekra begitu cair," ujar Putu, yang saat itu berusia sekitar 23 tahun. "Secara pribadi, Banda juga orangnya hangat dan suka bercanda."
Biasanya Putu dan Bandaharo serta sastrawan lain mengobrol sambil duduk santai di tepi kolam ikan di kantor Lekra. Obrolan itu sangat equal. "Tidak ada senior-junior. Kita cair sekali dalam membicarakan segala hal, dari puisi, cerpen, hingga masalah politik saat itu," ujarnya. "Dalam berdebat pun Banda tetap santai dan penuh canda. Ibaratnya, kami membicarakan revolusi dengan santai seperti obrolan di warung kopi. Itu yang membuat saya terkesan dengan dia dan suasana di Lekra."
SETELAH geger politik 1965 meletus, Bandaharo ditangkap dan kemudian ditahan di Rumah Tahanan Chusus Salemba sekitar dua tahun. Bersama Putu Oka dan Wayan Pager, ia menempati sel di Blok Q. "Kami bertiga berdempetan di dalam sel berukuran sekitar 1,3 x 3 meter," kata Putu, yang sempat satu sel dengan Bandaharo di Salemba selama sekitar empat bulan.
Dari Salemba, Bandaharo bersama ribuan tahanan politik lain kemudian dibuang ke Pulau Buru, Maluku, pada 1969. Ia menjalani hari-harinya sebagai tahanan politik di Buru sepanjang 10 tahun.
Sepulang dari Pulau Buru, Bandaharo kembali ke tempat tinggalnya di Kayu Manis, Jakarta Timur. Namun dia tak lama tinggal di paviliun rumah Hasjim Rachman itu. Karena timbul persoalan dengan Hasjim tentang tempat tinggal itu, Bandaharo kemudian pindah ke bilangan Cipinang, Jakarta Timur.
Putu Oka menuturkan, Bandaharo, yang tak bekerja lagi, boleh dibilang menggantungkan hidupnya pada anak dan istrinya. Waktu itu anak sulungnya sudah bekerja. Sedangkan istrinya berjualan kue. "Memang Banda suka mendapat pekerjaan menjadi penerjemah, tapi itu tidak tentu," ucap Putu. "Apa saja dilakukan untuk menyambung dan bertahan hidup sebagai orang yang saat itu termarginalkan."
Bandaharo dan keluarganya hidup pas-pasan. Menurut Jane Luyke, 82 tahun, istri mendiang tokoh Lekra, Oey Han Djoen, keluarga Bandaharo kerap mendapat bantuan bahan kebutuhan pokok dari rekan-rekannya sesama mantan anggota Lekra. "Saya dan Bu Oka (istri sutradara Basuki Effendy) pernah datang ke rumah Banda untuk memberikan bantuan kebutuhan pokok," ujar Jane. "Yang paling sering memberi bantuan Bu Oka."
Meski hidup serba kesusahan, Bandaharo tetap aktif menulis puisi. Banyak puisinya yang dia tulis pada 1980-an tak bisa diterbitkan dan hanya tersimpan di laci. Suatu hari pada 1988, Bandaharo sempat meminta Putu membacakan puisi-puisinya di Pusat Kebudayaan Jerman, Goethe-Institut. Kebetulan, sejak 1985 hingga sekarang, Putu mendapat kerja sama dengan Goethe untuk program pembacaan puisi. "Bung Oka, kau baca dong puisi-puisi aku di Goethe atau di mana saja," kata Bandaharo.
Tapi, menurut Putu, dia merasa gagal mengkomunikasikan puisi-puisi Bandaharo ketika dia membacakannya di Goethe. Dia merasa tak berhasil menyiarkan sajak-sajak sahabatnya itu lewat acara tersebut. "Makanya saya merasa ada beban persahabatan untuk menerbitkan puisi-puisinya Banda," ujarnya. "Saya pun kemudian mengerjakan buku kumpulan puisi Aku Hadir di Hari Ini dan menawarkannya ke penerbit Ultimus Bandung."
Buku kumpulan puisi itu terbit pada 2010, sekitar 17 tahun setelah Bandaharo meninggal. Penyair "Tak Seorang Berniat Pulang" itu berpulang pada 1 April 1993 di Jakarta. Dia meninggalkan seorang istri dan empat anak serta puluhan puisi yang tersimpan di laci. Dia meninggal karena sakit paru-paru dan ginjal.
Sekitar dua tahun menjelang wafat, Bandaharo kerap datang ke klinik pengobatan akupunktur Putu Oka di Rawamangun, Jakarta Timur. "Saat datang, kakinya bengkak-bengkak. Ginjal dan paru-parunya juga bermasalah. Dia itu perokok berat," ujar Putu, yang membuka klinik akupunktur beberapa tahun setelah dia pulang dari Buru.
Nurdin Kalim, Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo