Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Realisme Sosialis, di Suatu Masa, di Suatu Tempat

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Realisme Sosialis lahir di Jalan Malaia Nikitskaia Nomor 6, Moskow, 26 Oktober 1931. Di rumah megah gaya art nouveau itulah asas kesenian itu dirumuskan—dan dari kediaman sastrawan Maxim Gorky itu pula ia dikembangkan jadi diktat yang disambut partai dan gerakan komunis di seluruh dunia.

Di tahun itu, pada usia 63 tahun, Gorky, pengarang novel yang termasyhur itu (yang diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer dengan judul Ibunda), telah jadi pujangga yang dielu-elukan pimpinan negara. Pertemuan di rumahnya hari itu dihadiri Stalin dan para pejabat puncak lain yang datang dari Kremlin.

Agenda hari itu: menyusun sebuah kanun kesenian. Tentu saja ide-ide tak datang mendadak. Benih gagasan sudah berkembang dalam seni dan sastra Rusia sebelum Revolusi Oktober 1917. Juga ketika revolusi itu menang, dan Lenin memegang kendali "kediktatoran proletariat" hingga ia wafat dan kemudian Stalin menggantikannya.

Kanun yang hendak disusun itu diharapkan Gorky akan mampu "menyatukan realisme dan romantisisme", untuk menggambarkan "masa kini yang heroik", dengan suara "lebih cerah".

Sekitar 50 sastrawan duduk di ruangan besar itu (meskipun penyair Akhmatova dan Pasternak tak ada di sana; kelak mereka disingkirkan, Mandelstam dibuang). Ivan Gronsky, juru bicara sastra, mengusulkan agar kanun baru itu dinamai "Realisme Sosialis". Stalin setuju.

Di hari itulah ia mengucapkan kata-katanya yang terkenal: "Pengarang harus menjadi insinyur jiwa manusia." Dalam Kongres Pertama Persatuan Pengarang Soviet di tahun 1934, Andrei Zhdanov, pejabat urusan kebudayaan pemerintah, menegaskan kalimat itu sebagai petunjuk dasar.

Kata "insinyur" mencerminkan apa yang sedang dikobarkan. Rusia (kemudian disebut Uni Soviet) sedang meluncurkan Rencana [Pembangunan] Lima Tahun yang pertama. Dengan gemuruh, negeri agraris itu bergerak jadi negeri industri. Sosialisme sedang dilahirkan, dengan tekad, disiplin, dan pengorbanan. Gaya hidup, cara berpikir, dan cara kerja rakyat harus diubah.

Dalam konteks inilah "Realisme Sosialis" dapat dilihat sebagai bagian strategi modernisasi yang berbeda dengan jalan kapitalisme: dari sebuah masyarakat yang setengah feodal ke arah zaman baru melalui dahsyatnya "revolusi sosialis".

n n n

"Realisme" selalu punya daya tarik bagi mereka yang bergerak untuk perubahan zaman. Di Eropa abad ke-19, Realisme dalam seni dan sastra datang bersama perkembangan ilmu dan teknologi optik, terutama kamera. Teknologi ini memperkuat keyakinan bahwa "realitas" dapat ditangkap dan dihadirkan kembali ("di-re-presentasi-kan") sebagaimana adanya, tanpa waham dan angan-angan. Di Prancis, Emile Zola—salah satu pionir Realisme dalam sastra (ia sebut "naturalisme")—membawa kamera ke mana-mana. Orang yakin realitas—benda hidup dan mati yang terpapar di dunia—bisa dibersihkan dari ilusi dan misteri.

Tapi Realisme tak cuma datang dari situ. Dalam sejarah seni dan sastra, aliran ini berkaitan dengan sikap menolak apa yang dianggap sebagai dusta sosial.

Di Indonesia, di awal masa Revolusi, S. Sudjojono menegaskan pentingnya Realisme untuk menentang seni rupa zaman kolonial yang hanya memaparkan alam "Mooi Indie", Hindia Belanda yang molek. Sudjojono ingin melukiskan manusia Indonesia yang tak dipercantik: orang kampung yang berkerumun mendengarkan radio umum, gerilyawan yang bertubuh pendek, peserta pesta Cap Go Meh yang grotesk.

Di Prancis abad ke-19, Realisme menyertai oposisi terhadap kembalinya kekuatan konservatif, setelah Revolusi 1848. Realisme adalah niat melucuti tata rias kehidupan kelas borjuis yang bergerak jadi aristokrasi baru. Statemen perupa Courbet menegaskan pembangkangannya: "Aku… seorang partisan dalam semua revolusi dan di atas segalanya seorang Realis." Proudhon, pemikir sosialis itu, melihat lukisan Realis Courbet, Para Pemecah Batu, sebagai "ironi yang diarahkan ke hadapan peradaban industri… yang tak mampu membebaskan manusia dari tugas yang berat".

Dengan kata lain, dalam Realisme Eropa abad ke-19, realitas adalah indikasi protes. Hakikat Realisme, kata Courbet, adalah "penampikan terhadap apa yang ideal".

Mungkin karena apa "yang ideal" sering ditentukan kelas yang berkuasa.

n n n

Tak terasa ada indikasi protes dalam "Realisme" yang dirumuskan di rumah kediaman Gorky hari itu. Realisme Sosialis disusun oleh nomenklatura yang sedang memimpin. Mereka bukan yang akan menggugat keadaan dan menafikan dunia ideal yang hendak mereka gapai.

Bahkan kemudian, sejak 1946, dari atas itu dikumandangkan "teori bezkonfliknost" (tanpa konflik): karya seni harus mencerminkan masyarakat Soviet yang tak berkelas, masyarakat yang hampir mencapai cita-cita komunisme.

Mereka memang sedang membangun masa depan dengan keyakinan dan optimisme. Dalam pendirian mereka, "realitas" yang harus ditampilkan seni dan sastra adalah kenyataan yang tengah dikonstruksikan. Seniman, kata Stalin, harus menunjukkan hidup "secara benar", dan bila ia menggambarkannya "secara benar", ia pasti akan memperlihatkan bahwa hidup bergerak ke arah sosialisme.

Bisa dilihat, di sini "benar" punya arti tersendiri. Bagi Stalin, yang "benar" adalah yang mengikuti tujuan yang ideal—sesuatu di masa depan. Osip Beskin, editor majalah seni rupa resmi, Iskusstvo, menegaskan pandangan ini: seniman revolusioner bukanlah seorang "obyektivis", yang menangkap dan melukiskan apa-yang-ada. Ia adalah "pembangun komunisme, dengan proyeksi yang luas ke masa depan".

Di masa depan itu, dalam citra "yang ideal", tak akan ada yang busuk dan yang bobrok. Maka gerak menuju yang ideal adalah gerak yang sungguh dan berani. Agaknya itu yang dikehendaki Gorky: karya sastra dan seni harus menggambarkan "masa kini yang heroik", dengan suara "lebih cerah". Di tahun 1933 Gorky bahkan menganjurkan para perupa menghasilkan karya-karya yang "gembira" (lihat gambar).

Dan mengikuti "teori bezkonfliknost", kanvas muram dari tahun 1920-an, misalnya lukisan Bogorodski tentang anak jalanan, dicopot dari museum.

Maka yang terjadi bukan mimesis atas realitas, bukan cerminan atau penghadiran kembali kenyataan yang ada. Yang terjadi sebuah pemanggungan apa yang ideal. Karya seni rupa Uni Soviet sesudah pertengahan 1930-an meneguhkan gaya akademis dengan kanvas besar, gambar yang mendetail, selesai, terang, seperti fotografis yang mendokumentasikan peristiwa dan tokoh heroik.

Memakai kata-kata Mao Zedong tentang "romantisisme revolusioner", karya Realisme Sosialis itu menekankan apa yang "lebih mendekati yang ideal, dan sebab itu lebih universal ketimbang hidup sehari-hari".

n n n

Menekankan yang ideal, Realisme Sosialis dirumuskan sebagai asas yang normatif. Tiap karya harus punya "isi" yang secara politis benar: ideinost. Pesannya harus mudah dipahami. Perupa Lvov menegaskan: "Dalam seni rupa tak boleh ada keremang-remangan; tiap hal harus terang dan dapat dimengerti siapa saja. Musuh bisa bersembunyi hanya selama ada ketidakjelasan."

Novel, misalnya, harus menampilkan "hero yang positif". Sang tokoh mesti seorang manusia yang teguh, tenang, serius, waspada, setia, sadar akan perjuangan—seperti Pavel Valov dalam Ibunda atau Zukrai dalam novel Ostrovsky yang versi Inggrisnya berjudul How the Steel Was Tempered.

Sang "hero positif" ini tentu lebih berfungsi sebagai tauladan untuk menyampaikan ajaran. Ia ada berdasarkan ide, bukan dari kehidupan konkret. Ia mengikuti satu tipe ideal tertentu. Ia "tipikal"—dan itu penting. Malenkov berpesan di depan Kongres Partai Komunis Uni Soviet yang ke-9: "Para seniman, sastrawan, dan pementas kita… mesti selalu menyadari, bahwa… yang 'tipikal' adalah wilayah vital di mana semangat Partai dimanifestasikan dalam seni…."

Malenkov menegaskan perlunya memanifestasikan "semangat Partai": partiinost adalah wajib. Yang tak pernah bisa dijelaskan ialah bagaimana cara mengetahui ada atau tidaknya "semangat Partai" dan siapa yang menentukan.

Dalam praktek, yang menentukan pejabat Partai. Tapi penilaian bisa berubah karena arah politik berubah. Dalam Socialist Realist Paintings (1998), Matthew Cullerne Bown mencatat satu peristiwa: karya besar Aleksander Gerasimov, Para Komandan Kavaleri Pertama (1936), yang resmi dipajang di Pameran Internasional di Paris, dicopot. Di tahun berikutnya Stalin menembak mati sebagian besar tokoh yang diabadikan dalam lukisan itu. Ketakutan, Gerasimov menyimpan karyanya di lantai studionya sampai Stalin wafat.

n n n

Sejarah Realisme Sosialis memang tak selurus yang dibayangkan para penyusun kanun itu di tahun 1932.

Penekanan agar mendekati "yang ideal" memang telah mendorong kemajuan teknik seni rupa yang mengagumkan, karena meneladankan karya-karya "akademis". Namun tak ada lagi ledakan kreativitas seperti di masa menjelang dan segera setelah kemenangan kaum Bolsyewik ketika pelbagai ekspresi berkembang dan bersaing. Di bawah pengawasan Zhdanov, seni dan sastra diharamkan bereksperimen dengan sesuatu yang beda. Itu akan disebut "formalisme" dan akan ditindak sebagai "kontrarevolusi".

Tampak, begitu penting ide, seni, dan sastra diperlakukan waktu itu. Para pemimpin Bolsyewik awal memang kaum inteligensia: Lenin menulis risalah filsafat dan Trotsky penulis esai yang menghargai puisi liris. Sejarah Realisme Sosialis tak bisa dipisahkan dari semboyan kulturnost atau "pembudayaan". Tapi kemudian Partai jatuh ke tangan Stalin, dan para birokrat, dan polisi rahasia. Mereka tetap menganggap seni bukan perkara main-main—tapi dengan mata yang waswas.

"Hanya di Rusia puisi dihormati; ia bisa menyebabkan orang dibunuh," kata penyair Osip Mandelstam. Benar saja: ia menulis sebuah sajak yang dianggap menghina Stalin. Di tahun 1938, ia ditangkap, dibuang ke Siberia, dan mati.

Goenawan Mohamad
Bukunya tentang estetika dan politik, Mimesis dan Prabangkara, akan terbit tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus