Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Reklamasi Penuh Kontroversi

Anak perusahaan Agung Sedayu mendirikan bangunan di pulau reklamasi tanpa izin. Kementerian Lingkungan menyatakan reklamasi terlalu riskan dan berbahaya.

11 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA truk Hino wira-wiri di Pulau D. Sepuluh tukang bangunan masuk ke salah satu pulau reklamasi di pantai utara Jakarta itu pada Rabu siang pekan lalu. Seorang petugas keamanan berdiri di bibir jembatan yang menghubungkan ke perumahan Pantai Indah Kapuk memeriksa alat-alat kerja para pegawai bangunan itu.

Aktivitas di pulau seluas 312 hektare yang dikelola PT Kapuk Naga Indah itu seolah-olah tak mengindahkan perintah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sehari sebelumnya. Basuki memerintahkan Dinas Penataan Kota DKI menghentikan segala kegiatan di Pulau D karena izin mendirikan bangunan belum keluar. "Sudah kami segel," kata Basuki alias Ahok.

Nyatanya, para tukang masih bekerja. Dua baris rumah toko berkelir cokelat berdiri berjajar. Bangunan lain tinggal dipasangi genting. Ruko lain masih kerangka bangunan. "Ada yang finishing, sedang dibangun, dan ada yang akan dibangun," ujar Kepala Bidang Pengawasan Dinas Penataan Kota DKI Jakarta Wiwit Djalu Adji.

Dinas Penataan Kota sesungguhnya mengetahui pembangunan di pulau itu sejak setahun yang lalu. Dinas meminta PT Kapuk Naga menghentikan pembuatan ruko. Tak ada respons. Hingga inspeksi ketiga pada Selasa pekan lalu, pembangunan tak surut-surut. "Mereka harus bayar penalti," kata Wiwit.

Dan hanya itu yang bisa dilakukan Wiwit. Kapuk Naga jelas melanggar. Anak usaha Agung Sedayu Group itu mengantongi izin reklamasi pada 2007 dari Gubernur Fauzi Bowo. Aturannya, izin itu hanya bisa dipakai membangun pulau, bukan mendirikan bangunan. Sebab, izin mendirikan bangunan harus menunggu Peraturan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta disahkan.

Rancangannya batal disahkan pada Rabu pekan lalu. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah batal mengesahkan setelah salah satu anggotanya dari Gerindra, Mohamad Sanusi, dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia diduga menerima suap dari anak usaha PT Agung Podomoro, pengembang Pulau G, untuk menghilangkan pasal kontribusi tambahan 15 persen dari pengembang dalam rancangan tersebut.

Belakangan, dugaan suap itu merembet ke Agung Sedayu. Sugianto Kusuma alias Aguan, taipan pemilik Agung Sedayu, dicekal bepergian ke luar negeri. Ia diduga turut mengatur pemangkasan tambahan kontribusi pengembang dalam Rancangan Peraturan Tata Ruang itu.

Aturan itu disahkan sekalipun, untuk mendapatkan IMB, Kapuk Naga atau PT Muara Wisesa yang membangun Pulau G mesti menunggu aturan turunannya, yakni Panduan Rancang Kota. Kapuk Naga dan para pengembang reklamasi kemudian bisa mengajukan surat izin penunjukan penggunaan tanah, peta blok, baru IMB.

Meski mereka sudah jelas-jelas melanggar, Basuki tak berminat membongkar seluruh bangunan di Pulau D. "Kalau dibongkar semua sekarang, nanti pengusaha rugi. Kami biarkan dulu," ujarnya.

Pelanggaran reklamasi bukan cuma IMB. Proyek mercusuar ini langsung memicu kontroversi begitu dicetuskan Presiden Soeharto pada 1995. Peraturan presiden yang dibuat mendelegasikan kewenangan pemberian izin kepada Gubernur Jakarta. Padahal Teluk Jakarta adalah taman konservasi yang kewenangannya berada di Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dasarnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Di situ diatur bahwa kawasan perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi-Puncak Cianjur (Jabodetabek-Punjur) masuk kawasan strategis nasional tertentu yang pengelolaannya ada di pemerintah pusat. "Semestinya Jakarta masuk wilayah strategis kami," kata Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti.

Apalagi ada peraturan lain, yakni Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 16 menyatakan izin lokasi dan pelaksanaan reklamasi di kawasan strategis nasional tertentu ada di tangan menteri.

Di sinilah beda tafsir antara Menteri Susi dan Gubernur Basuki. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati, ada aturan lain yang membedakan Jakarta sebagai kawasan strategis. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006, pesisir pantai Jakarta termasuk Kawasan Strategis Nasional. Adapun Kawasan Strategis Nasional Tertentu hanya Pulau Onrust.

Tuty mengatakan pemerintah Jakarta beberapa kali menggelar rapat dengan Kementerian Kelautan membahas kewenangan izin reklamasi ini dan definisi kawasan strategis tertentu. Namun tak pernah ada titik temu. Menurut Tuty, izin reklamasi merupakan amanat Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang mengatur izinnya di tangan gubernur.

Pada 2008, terbit Keputusan Presiden Nomor 54 tentang Penataan Ruang Kawasan. Sebagian isi Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang diterbitkan pada era Presiden Soeharto itu dicabut, tapi hanya hak tata ruang. Rinciannya, pulau-pulau buatan di area sepanjang 32 kilometer ini tidak boleh menempel di daratan. Pembatas antara pulau dan daratan harus dibuat kanal lateral berkisar 200-300 meter. Kedalaman pulau total seluas 5.100 hektare itu harus minus 8 meter. Menurut Tuty, aturan-aturan itu sudah diadopsi dalam bentuk Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah DKI Jakarta. Dalam perda itu sudah ditetapkan bentuk dan besaran tiap pulau.

Istana Kepresidenan menengahinya. Sekretaris Kabinet Pramono Anung, yang awalnya menyebutkan izin reklamasi ada di tangan Susi, meralat dan menyatakan bahwa kewenangan itu sudah didelegasikan kepada pemerintah Jakarta.

Di luar kekisruhan izin, reklamasi juga dipersoalkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terutama tentang analisis mengenai dampak lingkungan. Kementerian Lingkungan menilai sepuluh amdal untuk sepuluh pulau cacat hukum. Soalnya, kata Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan San Afri Awang, Kementerian tak pernah dilibatkan menilai amdal yang dibuat pemerintah DKI Jakarta.

Menurut Afri, keterlibatan Kementerian termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan. Pasal 54 menyatakan Kementerian, melalui Komisi Amdal, berhak menilai amdal suatu proyek jika berlokasi di dua provinsi. "Reklamasi itu berlokasi di Banten dan Jakarta," tuturnya.

Adapun Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta Junaedi menyatakan amdal reklamasi tak perlu melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup. Dia mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2013 tentang tata laksana penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup serta penerbitan izin lingkungan. Dalam aturan itu, menurut Junaedi, Komisi Amdal DKI Jakarta berwenang menilai kerangka acuan yang diajukan pengembang. Apalagi para pengembang sudah mengajukan izin sebelum Ahok menjabat.

Di luar soal penilai amdal, Kementerian Lingkungan menyatakan reklamasi itu berbahaya bagi lingkungan. Selain tak ada amdal regional yang mencakup keseluruhan pulau, reklamasi akan mengubah arus laut yang mematikan biota, menghilangkan mata pencarian nelayan, hingga merusak pesisir. Pengerukan pasir untuk menimbunnya juga bisa menumpas keberagaman hayati laut.

Linda Trianita, Erwan Hermawan, Amri Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus