Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUTY Kusumawati khusyuk mendengarkan rekaman rapat antara pemerintah dan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di ruang kerjanya pada Rabu pekan lalu. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ini memutar dokumentasi rapat untuk persiapan menghadapi pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Esok harinya, penyidik KPK hampir 12 jam memeriksa Tuty. Penyidik mencecar dia dengan pertanyaan seputar pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) di DPRD. Tuty dan kawan-kawan mewakili pemerintah DKI dalam pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta serta Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil itu. "Saya jelaskan bagaimana DPRD ngotot menurunkan kontribusi dari 15 menjadi 5 persen," katanya seusai pemeriksaan.
Pembahasan dua rancangan peraturan yang berlarut-larut itu menjadi sorotan setelah KPK mencokok anggota Badan Legislasi DPRD DKI, Mohamad Sanusi, pada Kamis dua pekan lalu. Dari tangan Sanusi, penyidik KPK menyita uang Rp 2 miliar. Hari itu Sanusi menerima duit panas dari Trinanda Prihantoro, asisten personal PT Agung Podomoro Land. Uang itu titipan dari bos Agung Podomoro, Ariesman Widjaja.
Komisi antikorupsi mencurigai duit tak hanya mengalir ke Sanusi. "Ada jejak duit menyebar dari pimpinan sampai anggota," ujar seorang penyidik. Ketua KPK Agus Rahardjo menjawab diplomatis ketika dimintai konfirmasi soal ini. "Kami akan mengembangkan penyidikan," katanya.
Bola panas reklamasi menggelinding setelah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi PT Muara Wisesa Samudra pada Desember 2014. Anak perusahaan Agung Podomoro Land itu diizinkan menguruk laut seluas 161 hektare di pantai Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara.
Izin reklamasi Pulau G itu digugat organisasi yang menamakan diri Jakarta Monitoring Network ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada Maret tahun lalu. Sembilan fraksi di DPRD semula kompak mendukung gugatan tersebut. Pertengahan Agustus tahun lalu, DPRD membentuk Panitia Khusus Reklamasi. Namun penggugat mundur di tengah jalan. Usia Pansus Reklamasi pun tak sampai seumur jagung. Baru dua bulan berjalan, sikap DPRD berubah.
Dalam rapat paripurna DPRD pada akhir November tahun lalu, enam fraksi berbelok mendukung reklamasi. Hanya tiga fraksi yang masih menolak, yakni Partai Persatuan Pembangunan, Demokrat, dan Golkar. Toh, DPRD akhirnya setuju melanjutkan pembahasan dua rancangan peraturan itu.
Komisi antikorupsi menengarai perubahan sikap DPRD itu tak terlepas dari lobi para pengembang reklamasi. Sebelum menangkap Sanusi, misalnya, radar KPK memantau komunikasi bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, dengan pimpinan DPRD. Aguan meminta pimpinan Dewan "mengamankan" pasal tentang kontribusi tambahan dalam Raperda Tata Ruang Pantura. Aguan belum bisa dimintai tanggapan.
Ada tiga kewajiban pengembang yang diatur rancangan peraturan tersebut. Pertama, keharusan menyerahkan fasilitas umum dan sosial, seperti jalan dan ruang terbuka hijau. Lalu ada kontribusi 5 persen lahan. Terakhir, kontribusi tambahan sebesar 15 persen untuk menanggulangi dampak reklamasi.
Pengembang berkeberatan terhadap kontribusi tambahan 15 persen yang diatur Pasal 110 Raperda Tata Ruang. Mereka melobi DPRD agar kontribusi tambahan diturunkan jadi 5 persen. Lobi-lobi itu tak lepas dari "pelumas". Anggota Komisi D DPRD, Prabowo Sunirman, mengaku pernah ditawari sejumlah uang oleh koleganya dengan syarat mendukung penurunan nilai kontribusi. "Saya tolak," kata politikus Partai Gerindra yang juga anggota Pansus Reklamasi ini.
Bolak-balik rapat selama hampir tiga bulan, pemerintah DKI dan Badan Legislasi DPRD tak mencapai kata sepakat. Dalam rapat 15 Februari lalu, Ketua Badan Legislasi Mohamad Taufik mengusulkan angka 15 persen kontribusi tambahan dihilangkan dari peraturan daerah. "Cukup dalam peraturan gubernur," kata Taufik dalam rapat. Namun Tuty dan kawan-kawan berkukuh agar angka 15 persen jadi kesepakatan legislatif dan eksekutif.
Selama pembahasan rancangan peraturan daerah, Sanusi yang juga adik Taufik itu tak banyak bicara. Tapi, bila pembahasan mentok, Tuty kerap melihat Sanusi menghubungi seseorang. "Buntu, nih. Buntu," demikian percakapan Sanusi yang pernah didengar Tuty. Sejumlah anggota DPRD menyebut Sanusi memang bukan "aktivis" sidang. Dia lebih banyak bermain di belakang layar. "Dia cocoknya disebut operator pengembang di DPRD," kata seorang kolega Sanusi.
Seorang anggota DPRD lain menuturkan, usul melenyapkan rumusan 15 persen dari rancangan peraturan daerah merupakan skenario bersama pengembang dan pimpinan DPRD. Membaca gelagat Basuki akan sulit menerima penurunan kontribusi, pengembang dan pimpinan Dewan mengubah strategi. "Yang penting angka itu hilang dari perda," kata anggota Dewan yang ikut pembahasan.
Perdebatan tentang angka 15 persen kembali berlangsung pada rapat 16 Februari lalu. Sewaktu jeda, Tuty dan kawan-kawan melapor ke Basuki. Di luar dugaan Tuty, Basuki ternyata setuju kontribusi tambahan diatur dalam peraturan gubernur. "Saya dikasih cek kosong. Lebih mudah menetapkan 15 persen lewat peraturan gubernur," kata Basuki beralasan. Dalam rapat lanjutan hari itu, eksekutif dan legislatif sepakat menghilangkan angka 15 persen dari rancangan perda.
Kalangan pengembang rupanya tak mau DPRD memberi Basuki cek kosong. Melihat sikap keras Basuki, mereka meminta lagi DPRD mencantumkan kontribusi tambahan 5 persen itu. Dalam rapat konsolidasi naskah akhir rancangan perda pada 8 Maret lalu, Taufik meminta kontribusi tambahan 5 persen dimasukkan ke Penjelasan Raperda Tata Ruang. Usul mereka persisnya: "Tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5%) yang akan diatur dengan perjanjian kerja sama antara Gubernur dan pengembang."
Penyusupan kembali angka 5 persen ini menyulut amarah Basuki. Di atas risalah rapat, Basuki membuat disposisi, "Gila, kalau seperti ini bisa pidana korupsi!" Toh, penolakan Basuki tak menyurutkan langkah DPRD. Dalam rapat pimpinan gabungan DPRD, 16 Maret, Taufik dkk melunakkan usul mereka jadi "sekurang-kurangnya sebesar kontribusi lahan 5 persen". Sampai hari itu, pemerintah DKI berkukuh pada angka 15 persen.
Sejumlah anggota DPRD yang menolak reklamasi menuturkan, ada mobilisasi anggota Dewan untuk menghadiri rapat pengesahan dua rancangan perda yang dijadwalkan pada akhir pekan lalu. Beredar pula "gula-gula" bahwa mereka yang hadir bakal pulang membawa uang Rp 100 juta. "Katanya uang sudah disiapkan," ujar seorang politikus yang tak mau disebut namanya. Belum sempat rapat paripurna itu digelar, penyidik KPK mencokok Sanusi.
Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi tak bisa dimintai komentar. Beberapa pesan yang dikirim lewat layanan WhatsApp hanya dibaca. Kamis pekan lalu, Tempo mendatangi rumah dinas Prasetio di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Namun rumah itu kosong. Dicari ke kantor Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan, Prasetio juga tak ada.
Adapun Taufik menyangkal kabar tentang bagi-bagi uang untuk memuluskan pembahasan rancangan peraturan daerah itu. "Rapatnya kan terbuka, siapa saja bisa lihat prosesnya," katanya. Taufik pun mengaku tak pernah bertemu dengan Ariesman ataupun Aguan. "Saya tak kenal mereka," ujar Taufik.
Pengacara Sanusi, Krisna Murti, membenarkan kliennya menerima duit dari orang Agung Podomoro. Ibnu Akhyat, pengacara Ariesman, juga mengkonfirmasi pemberian uang tersebut. Namun keduanya kompak berdalih bahwa itu bukan suap. "Itu jasa konsultasi teknis. Sebab, Sanusi pernah membantu proyek Ariesman," kata Akhyat.
Syailendra Persada, Anton Aprianto, Linda Trianita
Benturan Sepanjang Jalan
Rencana menguruk pesisir utara Jakarta ditetapkan lewat keputusan presiden yang diteken Soeharto pada 1995. Sejak itu, terbit berbagai aturan, yang tak jarang bertentangan. Pemerintah pusat, diwakili Kementerian Lingkungan Hidup serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, pernah bersilang pendapat dengan pemerintah DKI Jakarta.
1995
Presiden Soeharto meneken Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara.
Pasal 4: Wewenang dan tanggung jawab reklamasi ada di tangan Gubernur DKI Jakarta.
2003
Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 14 Tahun 2003, yang menyatakan rencana reklamasi pesisir Jakarta tidak layak dari sisi lingkungan. Enam perusahaan menggugat keputusan menteri itu. Mahkamah Agung, dalam tahap peninjauan kembali, membatalkan keputusan tersebut.
2008
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
Pasal 70: Semua peraturan pelaksanaan Kepres Nomor 52 Tahun 1995 tetap berlaku.
Pasal 72: Kepres Nomor 52 Tahun 1995 dan Kepres Nomor 73 Tahun 1995 tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan penataan ruang.
2009
Terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 36: Setiap usaha atau kegiatan wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan dan izin lingkungan.2012
Terbit Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Pasal 16: Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi kawasan strategis nasional tertentu dan reklamasi lintas provinsi.
Catatan: Separuh Pulau A dan B berada di wilayah Provinsi Banten.
Pasal 32: Permohonan izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan sebelum penerbitan perpres diproses sesuai dengan aturan lama. Izin reklamasi yang sudah dikeluarkan tetap berlaku sampai masanya habis.
Pasal 33: Semua peraturan tentang reklamasi pesisir dan pulau kecil tetap berlaku sepanjang tak bertentangan dengan perpres sampai keluarnya peraturan baru.
Gubernur Fauzi Bowo menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Gubernur mengeluarkan empat izin prinsip reklamasi: 1. Pulau F untuk PT Jakarta Propertindo
2. Pulau G untuk PT Muara Wisesa Samudra
3. Pulau I untuk PT Jaladri Kartika
4. Pulau K untuk PTPembangunan Jaya Ancol Tbk
Terbit Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) lintas provinsi harus disetujui Menteri Lingkungan Hidup.
2013
Terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2013. Peraturan ini menyebutkan penilaian dan pemeriksaan dokumen amdal dilakukan Komisi Amdal daerah.
2014
Pelaksana tugas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, memperpanjang empat izin prinsip yang dikeluarkan Fauzi Bowo. Basuki menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G untuk PT Muara Wisesa Samudra.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menolak reklamasi dengan alasan izin seharusnya ada di pusat, bukan daerah karena pada 1 Januari 2014 terbit Undang-Undang Nomor 1 tentang pesisir dan pulau-pulau kecil.
2015
2 Maret Pemerintah DKI Jakarta mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi:
1.Pulau F untuk PT Jakarta Propertindo
2.Pulau I untuk PT Jaladri Kartika
3.Pulau K untuk PT Pembangunan Jaya Ancol
7 Desember Pembahasan pertama kedua peraturan daerah tersebut.
2016
15 Februari Pemerintah dan DPRD DKI mulai membahas Pasal 116 tentang kontribusi tambahan dalam Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
16 Februari DPRD mengusulkan kontribusi tambahan dicantumkan dalam peraturan gubernur. Usul ini kemudian disetujui Gubernur Basuki.
8 Maret Ketua Badan Legislasi Mohamad Taufik mengusulkan kontribusi tambahan 5 persen masuk penjelasan peraturan daerah. Basuki menolak ide tersebut.
11 Maret Mohamad Taufik mengusulkan hal serupa, tapi dimodifikasi menjadi "sekurang-kurangnya 5 persen". Pemerintah DKI tak setuju.
31 Maret Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ketua Komisi Pembangunan DPRD Mohamad Sanusi ketika menerima suap dari pegawai PT Agung Podomoro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo