Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Keadilan untuk Para Eksil Peristiwa 1965

Pemerintah perlu memenuhi permintaan para eksil untuk meminta maaf, meluruskan sejarah, dan melanjutkan proses yudisial.

17 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH tak perlu ragu memenuhi permintaan orang Indonesia yang terusir ke luar negeri akibat huru-hara politik peristiwa 1965. Para eksil itu meminta pemerintah menyatakan maaf, meluruskan sejarah, dan melanjutkan proses yudisial kasus pelanggaran hak asasi ma­nusia berat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Permintaan ini disampaikan para eksil di sejumlah negara Eropa ketika bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hu­kum, dan Keamanan Mahfud Md. serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Amsterdam, Belanda, dan Praha, Republik Cek, Agustus lalu. Mereka umumnya mahasiswa yang tak bisa pulang ke Tanah Air setelah krisis politik 1965 yang berakhir dengan kejatuhan Sukarno dan naiknya Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedatangan Mahfud dan Yasonna itu bertujuan me­nyampaikan niat pemerintah yang ingin memulihkan ke­warganegaraan mereka sebagai bagian dari penyele­sai­an kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada 11 Ja­nuari 2023, Presiden Joko Widodo juga sudah menyampaikan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM berat setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu.

Ungkapan maaf pemerintah atas peristiwa buruk di masa lalu bukan praktik baru. Pemerintah Korea Selatan menyampaikan permintaan maaf pada 1988 atas kekerasan militer di masa pemerintahan Chun Doo-hwan saat menghadapi perlawanan rakyat Gwangju pada 18-27 Mei 1980 yang memprotes kudeta militer. Kekerasan itu menyebabkan lebih dari 200 warga sipil tewas.

Pemerintah Korea Selatan melakukan hal serupa atas tindak­an kerasnya terhadap warga Kepulauan Jeju pada 1948-1949. Di sana, warga memprotes pemilihan umum yang hanya diselenggarakan di wilayah Korea Selatan dan tidak di Korea Utara. Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun menyampaikan permohonan maaf pada 2003 atas kekerasan oleh militer yang menewaskan 14-30 ribu orang dan membuat sekitar 40 ribu orang lari ke Jepang.

Indonesia bisa melakukan hal serupa dengan mem­per­timbangkan penderitaan yang dialami para korban pelanggaran HAM berat. Dalam peristiwa 1965, sebanyak 500 ribu sampai sejuta orang tewas. Sebagian lainnya ditangkap tanpa alasan. Tak pernah ada pengadilan untuk membuktikan kesalahan mereka. Keturunan me­re­ka dikucilkan dan mengalami kesulitan hidup ber­tahun-tahun karena stigma terlibat peristiwa 1965.


Baca liputannya:


Memang, banyak yang ragu akan manfaat ucapan maaf ka­lau hanya pemanis bibir. Keraguan itu muncul akibat keti­dakseriusan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Kekuasaan berganti-ganti, tapi tak pernah menyelesaikannya secara tuntas. Untuk menepis keraguan se­perti itu, pemerintah perlu membuktikannya dengan meme­nuhi permintaan para eksil.

Permintaan maaf, pelurusan sejarah, dan dilanjutkannya proses hukum yang selama ini mandek di Kejaksaan Agung akan menjadi demarkasi baru antara politik Indonesia masa kini dan masa lalu. Langkah itu juga menjadi penanda bahwa kekerasan politik serupa tidak boleh terulang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Keadilan bagi Mereka yang Terusir"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus