Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak perlu ragu memenuhi permintaan orang Indonesia yang terusir ke luar negeri akibat huru-hara politik peristiwa 1965. Para eksil itu meminta pemerintah menyatakan maaf, meluruskan sejarah, dan melanjutkan proses yudisial kasus pelanggaran hak asasi manusia berat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan ini disampaikan para eksil di sejumlah negara Eropa ketika bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Amsterdam, Belanda, dan Praha, Republik Cek, Agustus lalu. Mereka umumnya mahasiswa yang tak bisa pulang ke Tanah Air setelah krisis politik 1965 yang berakhir dengan kejatuhan Sukarno dan naiknya Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedatangan Mahfud dan Yasonna itu bertujuan menyampaikan niat pemerintah yang ingin memulihkan kewarganegaraan mereka sebagai bagian dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo juga sudah menyampaikan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM berat setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu.
Ungkapan maaf pemerintah atas peristiwa buruk di masa lalu bukan praktik baru. Pemerintah Korea Selatan menyampaikan permintaan maaf pada 1988 atas kekerasan militer di masa pemerintahan Chun Doo-hwan saat menghadapi perlawanan rakyat Gwangju pada 18-27 Mei 1980 yang memprotes kudeta militer. Kekerasan itu menyebabkan lebih dari 200 warga sipil tewas.
Pemerintah Korea Selatan melakukan hal serupa atas tindakan kerasnya terhadap warga Kepulauan Jeju pada 1948-1949. Di sana, warga memprotes pemilihan umum yang hanya diselenggarakan di wilayah Korea Selatan dan tidak di Korea Utara. Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun menyampaikan permohonan maaf pada 2003 atas kekerasan oleh militer yang menewaskan 14-30 ribu orang dan membuat sekitar 40 ribu orang lari ke Jepang.
Indonesia bisa melakukan hal serupa dengan mempertimbangkan penderitaan yang dialami para korban pelanggaran HAM berat. Dalam peristiwa 1965, sebanyak 500 ribu sampai sejuta orang tewas. Sebagian lainnya ditangkap tanpa alasan. Tak pernah ada pengadilan untuk membuktikan kesalahan mereka. Keturunan mereka dikucilkan dan mengalami kesulitan hidup bertahun-tahun karena stigma terlibat peristiwa 1965.
Baca liputannya:
Memang, banyak yang ragu akan manfaat ucapan maaf kalau hanya pemanis bibir. Keraguan itu muncul akibat ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Kekuasaan berganti-ganti, tapi tak pernah menyelesaikannya secara tuntas. Untuk menepis keraguan seperti itu, pemerintah perlu membuktikannya dengan memenuhi permintaan para eksil.
Permintaan maaf, pelurusan sejarah, dan dilanjutkannya proses hukum yang selama ini mandek di Kejaksaan Agung akan menjadi demarkasi baru antara politik Indonesia masa kini dan masa lalu. Langkah itu juga menjadi penanda bahwa kekerasan politik serupa tidak boleh terulang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Keadilan bagi Mereka yang Terusir"