Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Seberang Sepatu Lars

MUNIR gencar menyuarakan penghentian peran politik militer. Ia aktif membela korban kekerasan aparat. "Perlawanan" terakhirnya terhadap militerisme dilakukan dengan menyokong calon sipil dalam Pemilihan Presiden 2004: Megawati Soekarnoputri.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iming-iming Menjelang Pergi
Munir terseret arus politik praktis dalam Pemilihan Presiden 2004. Ingin memperbaiki dari dalam pemerintahan.


SIA-SIA perjuangan Helmy Fauzi mempertemukan Munir Said Thalib dengan Taufiq Kiemas untuk memuluskan kemenangan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Presiden 2004. Kesibukan menjadi alasan aktivis hak asasi manusia yang kondang itu, sehingga tak bisa memenuhi janjinya. "Cuma soal waktu yang tidak cocok," kata Helmy kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Harapannya sirna setelah Munir berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Utrecht pada 5 September. Hari itu sekitar dua pekan sebelum pencoblosan putaran kedua pemilu presiden dan dua hari menjelang kematiannya yang tragis di pesawat Garuda GA-974 dalam perjalanan dari Singapura ke Amsterdam.

Munir memang sedang didekati agar berlabuh ke kubu PDI Perjuangan untuk menyokong pasangan Mega-Hasyim Muzadi. Bahkan, menurut Helmy, Munir digadang-gadang menjadi Jaksa Agung kalau Megawati menjadi presiden lagi. "Munir adalah reformis pemberani seperti almarhum Baharuddin Lopa," katanya. Mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Letnan Jenderal Marinir Purnawirawan Nono Sampono pun mendengar Munir masuk bursa kandidat Jaksa Agung.

Sosok Munir juga cocok dijadikan ikon antimiliter di tengah persaingan Mega dengan calon-calon berlatar belakang militer, seperti mantan Panglima ABRI Wiranto, mantan Komandan Jenderal Kopassus TNI Angkatan Darat Agum Gumelar, dan mantan Kepala Sosial Politik ABRI Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Bergabungnya Munir bakal melengkapi gerakan supremasi sipil yang marak di seluruh Indonesia sejak awal 2004. "Kami ingin kepemimpinan sipil," ujar politikus PDIP, Muhammad Yamin.

Helmy sudah lama kenal Munir, yang ketika itu menjabat Direktur Eksekutif Imparsial setelah tak lagi memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pendekatan semakin kencang sebelum masa kampanye Juni 2004. Dia berencana mempertemukan Munir dengan Mega setelah lebih dulu bertemu dengan Taufiq, suami Mega, yang meninggal pada 8 Juni 2013 di tengah jabatannya sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Helmy bergabung dengan tim sukses setelah nonaktif dari redaktur bidang opini harian sore Sinar Harapan. Dia juga salah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan dekat dengan Taufiq. Dia diberi tugas menggaet aktivis prodemokrasi untuk memenangkan calon inkumben Mega. Belakangan, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014.

Lobi Helmy tak meluluhkan Munir. Pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu justru menyokong Amien Rais-Siswono Yudo Husodo. "Alasannya, Amien paling sedikit risikonya bagi demokrasi kita," ujar Helmy menirukan Munir.

Sikap politik itu juga disampaikan Munir kepada para aktivis dan massa buruh. "Dalam kondisi begini, kita tidak bisa diam," kata Andi Panca Kurniawan, mengutip pernyataan Munir, Senin pekan lalu. Panca mantan editor Voice of Human Rights, stasiun radio bentukan YLBHI.

Namun Munir akan mengalihkan dukungan ke Mega kalau Amien kalah di putaran pertama. "Karena Mega sipil," kata Helmy. Maka PDIP terus merangsek sejak awal tahun dan paling intens pada Mei-Juni menjelang masa kampanye.

Suciwati, istri almarhum Munir, menuturkan, pada suatu malam bulan Maret, dia melihat suaminya berdebat via telepon di kediaman mereka di Bekasi. Munir mengaku mendapat tawaran menjadi Jaksa Agung, tapi dipersoalkan umurnya yang baru 38 tahun. "Katanya dari orang PDIP, Sabam Sirait," ujar Suci kepada Tempo, akhir Oktober lalu, di Batu, Jawa Timur.

Sabam membantah pernah merayu Munir. Helmy menunjuk Panda Nababan yang aktif menelepon Munir. Panda juga menyangkal "Tak masuk akal. Munir jangan dipolitisasi," kata Ketua PDIP Sumatera Utara itu.

Munir menjadi sering berkunjung ke rumah Mega di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, sepanjang Juni. Dia datang malam hari hanya diantar sopir. Di sana, Munir berdiskusi dengan sejumlah peneliti sebagai gerakan antipresiden militer. "Munir selalu bercerita di kantor Imparsial sehabis dari Teuku Umar," kata Otto Pratama, mantan petugas riset Imparsial. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono juga mengaku pernah bertemu dengan Munir di kediaman Mega.

Di tengah lobi PDIP, Munir terus menyokong Amien. Dia jadi bintang iklan kampanye jagoan Partai Amanat Nasional itu di televisi. Dia juga dinominasikan sebagai Jaksa Agung versi Amien-Siswono. "Kita tidak mungkin membersihkan ruangan yang kotor dengan sapu yang kotor," ujar Siswono di Mataram pada 18 Juni 2004.

Suci menentang suaminya berpolitik praktis. Imparsial juga meradang. "Gue berantem besar sama Munir," tutur Rachland Nashidik, Direktur Imparsial ketika itu. Rachland lalu mengumumkan bahwa Munir nonaktif karena akan bersekolah ke luar negeri. Tapi Munir punya alasan. "Dia bilang, perlu ada orang di dalam sistem yang memperbaiki," ujar Suci.

Putaran pertama pemilihan presiden diikuti lima pasangan: Mega-Hasyim, Amien-Siswono, Wiranto-Salahuddin Wahid, Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum. Munir menepati janjinya. Setelah Amien dan dua pasangan calon lain kalah pada pertengahan Juli 2004, dia merapat ke PDIP untuk melawan Yudhoyono pada putaran kedua.

Keinginannya menerima posisi Jaksa Agung pun menguat. Munir lantas meminta Rachland mempertemukan dia dengan pengurus PDIP. Pertemuan digelar di Upstairs Wine & Cigar Lounge di Plaza Senayan, yang sekarang sudah tutup. "Saya menemani Munir," ujarnya. Dari pihak PDIP, menurut dia, hadir Wakil Sekretaris Jenderal Pramono Anung Wibowo, Tjahjo Kumolo, Gayus Lumbuun, dan Trimedya Panjaitan. Obrolan antara lain membicarakan strategi menjegal Yudhoyono.

Pramono tak menjawab panggilan telepon dan pesan pendek dari Tempo. Sedangkan Tjahjo, yang kini Menteri Dalam Negeri, dan Trimedya mengatakan tak pernah mengikuti acara di Upstairs.

Namun tak tampak aksi Munir berjuang untuk Mega. Komunikasi dengan PDIP tak intens lagi. Munir justru sibuk menyiapkan keberangkatannya ke Belanda. "Ada tes kesehatan, visa, dan lain-lain," kata Otto.

Kepastian dia berangkat dengan beasiswa selama dua tahun dari Interchurch Organization for Development Cooperation datang pada Juli 2004. "Saya selalu mengingatkan soal niat sekolah ke Belanda," kata Suci. Munir pun berjanji menjemput Suci beserta dua anak mereka untuk ikut ke Belanda pada Desember. Di sana, Munir sekaligus ingin mengobati putra sulungnya, Soultan Alif Allende, kini 16 tahun, yang mengalami autisme.

Tawaran menjadi Jaksa Agung memiliki arti tersendiri bagi Rachland. "Kalau Munir mau jadi Jaksa Agung, meski tidak jadi, mungkin tak akan dibunuh," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus