Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Represi aparat keamanan di Pulau Rempang memakan korban. Komnas HAM dan koalisi masyarakat sipil mengecam tindakan polisi. Kepolisian menampik personelnya menggunakan kekuatan berlebihan di Pulau Rempang. Gas air mata yang memapar anak sekolak dibilang
Kepolisian menampik personelnya menggunakan kekuatan berlebihan di Pulau Rempang. Gas air mata yang memapar anak sekolak dibilang akibat tiupan angin.
Komnas HAM akan memulai proses premediasi atas pengaduan warga Pulau Rempang. Masyarakat berkukuh menolak rencana relokasi.
MUHAMMAD Ridwan masih tergolek lemas di rumah kerabatnya di kawasan Batu Aji, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pria paruh baya itu terkena peluru karet yang disinyalir dilepaskan oleh pihak kepolisian dalam bentrokan di Pulau Rempang pada Kamis lalu. "Kepala saya kena 12 jahitan," kata Ridwan ketika ditemui Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamis lalu, pasukan gabungan dari kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja, dan TNI merangsek ke Pulau Rempang. Mereka mengawal tim yang berniat memasang patok tata batas dan pengukuran lahan untuk Rempang Eco-City, proyek strategis nasional yang diserahkan pengelolaannya oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada PT Makmur Elok Graha (MEG).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, sepulang membeli pupuk, Ridwan bergabung dengan warga dari Kelurahan Rempang Cate dan Sembulang. Masyarakat yang selama ini tersebar di 16 perkampungan lawas tersebut berupaya menghalau rencana pemasangan patok tata batas itu lantaran menolak relokasi, opsi yang disiapkan oleh BP Batam dan PT MEG.
Bentrokan pun pecah. Pasukan gabungan berupaya membubarkan blokade masyarakat di Jalan Trans Barelang, tak jauh dari Jembatan 4 Barelang yang menghubungkan Pulau Rempang dan Pulau Setokok di selatan Pulau Batam. Aparat kepolisian melontarkan gas air mata. Banyak rekaman video amatir tersebar di media sosial yang menggambarkan peristiwa tersebut. Video viral itu, di antaranya, juga merekam Ridwan dengan wajah penuh darah dibantu sejumlah warga Rempang yang mulai menghindar dari paparan gas air mata.
"Setelah ada tembakan gas air mata, terasa peluru karet mengenai kepala saya. Saya langsung pusing," kata Ridwan. “Saya dilarikan ke Puskesmas Marinir untuk mendapatkan pertolongan.”
Sejumlah anggota Brimob Polda Kepri menyisir jalan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 8 September 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Ridwan bukanlah satu-satunya korban siang itu. Lontaran peluru gas air mata juga ditengarai mengarah ke Sekolah Dasar Negeri 024 Batam dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 22 Batam yang berada di tepi Jalan Trans Barelang. Proses belajar-mengajar di sekolah itu terpaksa dihentikan karena kepulan gas air mata masuk ke area sekolah.
Di sisi lain, polisi menangkap warga Pulau Rempang. Setidaknya hingga kemarin sore, kepolisian menetapkan delapan orang sebagai tersangka dengan tuduhan menjadi provokator.
Baca:
Upaya Paksa Menggusur Warga
Tergusur di Kampung Sendiri
Tindakan represif aparat keamanan di Pulau Rempang itu memancing reaksi keras dari sejumlah kalangan. Kemarin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melayangkan surat kepada Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Panglima Komando Daerah Militer 1 Bukit Barisan, dan Kepala BP Batam. Lewat surat yang bersifat penting itu, Komnas HAM meminta mereka tidak melakukan intimidasi, kekerasan, dan tindakan lain yang dapat menimbulkan konflik.
“Kami minta aparat penegak hukum jangan sewenang-wenang,” ujar komisioner Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo.
Sejumlah lembaga non-pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Menentang Kekerasan dan Pembangunan Kawasan Eco-City Rempang juga mengecam tindakan aparatur negara, Kamis lalu. Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil, tindakan berlebihan dari tim gabungan itu telah menyebabkan puluhan orang terluka, beberapa anak mengalami trauma, dan seorang anak lainnya mengalami luka akibat gas air mata.
Kantor Komnas HAM RI di Jakarta, TEMPO/Faisal Ramadhan
Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan rencana pembangunan Rempang Eco-City dan mengeluarkannya dari daftar proyek strategis nasional. Koalisi Masyarakat Sipil pun menuntut Jokowi memerintahkan Kepala Kepolisian RI dan Panglima TNI mencopot Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau, Kepala Kepolisian Resor Barelang, serta Komandan Pangkalan TNI AL Batam.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang tergabung dalam koalisi tersebut, menilai pemerintah juga perlu mengaudit BP Batam, baik dari sisi kepatuhan keuangan maupun pemenuhan prinsip HAM, dalam perencanaan pembangunan. Menurut dia, aksi yang dilakukan warga Rempang merupakan upaya mempertahankan hak dasarnya untuk hidup. "Sehingga apa yang dilakukan tim gabungan keamanan ini bukan untuk Indonesia, bukan untuk melindungi dan mengayomi," kata Isnur. "Tindakan tersebut sekadar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat."
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, juga menyesalkan tindakan kekerasan berlebihan oleh kepolisian di Pulau Rempang. Dimas mengingatkan bahwa kepolisian telah mempunyai regulasi tentang bentuk pengendalian massa yang mengutamakan hak asasi manusia. Dalam peraturan Kapolri, kata dia, tertuang prosedur dalam penggunaan senjata api, senjata kimia, hingga gas air mata yang merupakan opsi terakhir jika situasi aksi dianggap menimbulkan kekacauan. "Saat menghadapi penolakan warga, apa urgensinya menembakkan gas air mata? Ini jelas tindakan berlebihan," kata Dimas.
Menurut Dimas, peristiwa di Pulau Rempang ini menambah catatan merah kepolisian yang berulang kali menggunakan kekuatan secara berlebihan dalam menghadapi massa aksi, terutama terhadap masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap proyek pemerintah. “Apalagi mendengar bantahan polisi hari ini yang justru menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai kesadaran untuk membenahi dan memperbaiki diri,” ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan. Dok. Polri
Ramai-ramai Membela Diri atas Konflik Rempang
Kemarin, Markas Besar Polri mengklaim telah mengevaluasi tindakan personelnya di Pulau Rempang. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, membantah bentrokan pada Kamis lalu menyebabkan jatuhnya korban. "Tidak ada korban. Saya ulangi, tidak ada korban dalam peristiwa kemarin," ujarnya pada Jumat, 8 September 2023.
Menurut Ramadhan, polisi menggunakan tembakan gas air mata untuk membubarkan masyarakat yang menghalangi tim BP Batam melakukan pematokan tanah. Tindakan itu, kata dia, merupakan kegiatan pengamanan.
Ramadhan juga menampik kabar tentang adanya siswa yang pingsan karena terpapar gas air mata. Menurut dia, kepulan gas air mata itu tertiup angin. "Sehingga terjadi gangguan penglihatan untuk sementara,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, berdalih lembaganya hanya menjalankan mandat pemerintah pusat dalam proyek strategis nasional pengembangan Rempang Eco-City. Dia mengklaim proyek ini akan membawa kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi Indonesia.
Ariastuty tak menjawab pertanyaan Tempo ihwal tindakan represif dalam kegiatan pematokan tanah oleh BP Batam pada Kamis lalu. Ia hanya menegaskan bahwa BP Batam akan terus mengupayakan musyawarah. Ariastuty mengklaim sosialisasi kepada masyarakat dimulai sejak program pengembangan kawasan Rempang diluncurkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta pada 12 April 2023. Sosialisasi juga dilakukan dengan dukungan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang datang ke Rempang dan bertemu dengan masyarakat pada 13 Agustus lalu.
Menurut Ariastuty, warga Rempang yang terkena dampak proyek akan direlokasi di Dapur 3, Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang. "Lokasi ini sangat bagus dan mendukung untuk melaut sehingga masyarakat masih bisa beraktivitas mencari ikan," ujarnya. Namun sembari menunggu pematangan lahan di lokasi relokasi, kata Ariasuty, masyarakat akan ditempatkan di hunian sementara, di antaranya di Rusun BP Batam, Rusun Pemerintah Kota Batam, Rusun Jamsostek, dan sejumlah rumah toko di wilayah Batam.
Sejumlah petugas keamanan membersihkan pemblokadean jalan yang dilakukan oleh warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 8 September 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan warga yang tinggal di Pulau Rempang memang harus direlokasi. Sebab, pemerintah telah menyerahkan lahan tersebut untuk pengembangannya ke swasta. Dengan demikian, perusahaan yang telah diberi izin untuk mengembangkan kawasan berhak menggunakan wilayah itu. “Kasus ini bukan penggusuran, tapi pengosongan, karena memang secara hak itu akan digunakan pemegang haknya,” kata Mahfud, kemarin.
Kendati begitu, Mahfud berharap tindakan pengamanan dalam proses pengosongan lahan di Pulau Rempang lebih humanis. Bagaimanapun, dia mengingatkan, warga Pulau Rempang telah lama tinggal di sana. “Tinggal kerohimannya dan pemindahannya ke mana. Yang penting jangan gunakan kekerasan, kecuali dalam kondisi tertentu yang sudah gawat,” ujarnya.
Komnas HAM Akan Memulai Mediasi Konflik
Kamis lalu, pada hari yang sama ketika bentrokan terjadi di Rempang, Komnas HAM sebetulnya juga telah melayangkan surat kepada Gubernur Kepulauan Riau, Wali Kota Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kepala Kantor Pertanahan Kota Batam, dan Kepala BP Batam. Komnas HAM mengundang mereka datang ke Jakarta untuk mengikuti pertemuan premediasi—bagian dari prosedur penyelesaian pengaduan di Komnas HAM.
Premediasi itu dilakukan karena Komnas HAM telah menerima surat pengaduan dari Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), wadah masyarakat penolak Rempang Eco-City. Rencananya, pertemuan premediasi digelar pada Senin mendatang, 11 September 2023. “Premediasi ini tidak melibatkan warga dan kuasa hukumnya lebih dulu karena kami mau mendapatkan informasi dari masing-masing pihak,” kata Prabianto Mukti Wibowo.
Menurut Prabianto, merujuk pada pengaduan yang diterima Komnas HAM, ribuan warga Rempang yang terdiri atas suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat itu tidak menolak sepenuhnya rencana pengembangan kawasan. Masyarakat, kata dia, hanya menolak direlokasi karena leluhur mereka telah menempati 16 kampung tua di Rempang sejak 1834.
Unjuk rasa terhadap rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru di kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Rabu 23 Agustus 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Masalahnya, beberapa waktu terakhir masyarakat mulai mengetahui bahwa BP Batam meminta Badan Pertanahan Nasional menyerahkan hak pengelolaan lahan (HPL) di Pulau Rempang. Padahal, kata Prabianto, secara de facto sebagian lahan di pulau tersebut telah dalam penguasaan dan pemanfaatan warga setempat secara turun-temurun. Walhasil, masyarakat menolak digusur.
Prabianto mengatakan pemerintah ataupun pengembang kawasan tidak bisa sembarang memindahkan masyarakat yang telah lama menempati lahan di Rempang. Dia mengingatkan, mengacu prinsip HAM dan norma yang menjadi target pembangunan berkelanjutan (SDG’s), rencana pembangunan semestinya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. “Bukan menghilangkan hak warga. Ini yang harus kami musyawarahkan,” ujarnya. “Opsi seperti apa yang bisa diberikan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam yang bisa diterima warganya.”
Kemarin siang, Jumat, 8 September 2023, Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad mendatangi kediaman Gerisman Ahmad, tokoh masyarakat yang juga menjadi Ketua Koordinator Keramat. Ansar datang ke Kampung Pantai Melayu, Pulau Rempang, tanpa pengawalan ketat. Dia hanya didampingi Wakil Ketua DPRD Kepulauan Riau Rizki Faisal dan sejumlah rombongan Pemerintah Provinsi.
Ansar menuturkan bahwa kedatangannya untuk mendiskusikan solusi sekaligus mendengarkan aspirasi. Ketika disinggung soal bentrokan pada Kamis lalu, ia hanya menyatakan pemerintah akan mengedepankan musyawarah. Dia berjanji menyelesaikan masalah penolakan warga. "Saya kira, kita bahas di daerahlah. Malu juga kita, ada gubernur, ada BP Batam, diberi kewenangan," ujar Ansar, yang kemudian masuk ke mobilnya.
Adapun juru bicara Keramat, Suardi, yang mendampingi Gerisman, menyatakan bahwa bentrokan pada Kamis lalu sangat memukul warga Rempang. "Ini baru pematokan lahan, apalagi ke depannya," kata Suardi.
Dia mengapresiasi kedatangan Gubernur Ansar yang menjanjikan mencari solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan lahan di Rempang. "Namun kami menunggu kapan waktu duduk bersama memfinalkan ini," kata Suardi seraya menegaskan bahwa warga 16 kampung di Rempang akan tetap bertahan menolak rencana relokasi. "Itu poin penting, menjadi marwah yang perlu dijaga."
IMAM HAMDI | EKA YUDHA SAPUTRA | YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo