Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivis yang Jadi Anak Manis
Intelijen Belanda mengendus aktivitas Amir Hamzah dalam organisasi pergerakan politik di Jawa. Sultan Mahmud menghentikannya.
UTUSAN Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah datang dengan kabar yang membuat pemimpin Langkat itu masygul. Setelah penyelidikan selama sepekan di Batavia, utusan itu kembali ke Binjai di Sumatera Timur dengan mengkonfirmasi kabar dari intelijen Belanda bahwa kemenakan Sultan, Tengku Amir Hamzah, aktif dalam pelbagai kegiatan politik.
Pada 1935 itu, Amir sudah bersekolah di Rechts Hoge School atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Sultan Mahmud mengirim Tengku Siddik untuk mengecek informasi dari Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda yang menyebut kegiatan Amir akan membahayakan Kesultanan Langkat, yang menjalin kontrak bisnis minyak dan hasil perkebunan dengan Belanda.
Belanda ingin Sultan Mahmud meminta kemenakannya menghentikan kegiatan itu. "Pemerintah Belanda mengingatkan Sultan bahwa ada anak Langkat yang jadi tokoh pergerakan," kata Tengku Azwar Aziz, Sultan Langkat saat ini, pada akhir Juli lalu.
Tengku Lah Husny, teman rantau Amir di Batavia, mengkonfirmasi cerita itu dalam buku Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah. Menurut dia, Tengku Siddik adalah kawan masa kecil Amir. Ia bertemu dengan anak Tengku Muhammad Adil, kakak Sultan Mahmud, itu dan memintanya berhenti ikut dalam organisasi-organisasi yang menyuarakan kemerdekaan Hindia Belanda.
Amir menolak. Ia mengatakan tak bisa meninggalkan pergerakan karena kegiatannya itu dimulainya sejak belajar di Algemene Middelbare School (AMS) Solo, setingkat sekolah menengah atas, pada 1929. "Dia seorang nasionalis yang pantang mundur menyuarakan cita-cita kemerdekaan," tulis Lah Husny. Siddik pun kembali ke Langkat dan melaporkan jawaban Amir tersebut.
Ketika itu Amir sudah dikenal sebagai tokoh pergerakan. Ia banyak menulis puisi dalam bahasa Melayu, juga esai-esai soal pentingnya persatuan pemuda. Sewaktu kelas II AMS, ia ikut kongres pendirian organisasi Indonesia Muda pada 31 Desember 1930 di Solo. Dalam organisasi itu, Amir mempromosikan kesatuan suku-suku bangsa di Nusantara sebagai sebuah negara berdaulat. Meski tak sekeras Perhimpunan Indonesia, yang anti-Belanda, organisasi ini masuk juga radar intelijen pemerintah kolonial itu.
Sejak itu, Amir dipantau. Alih-alih berhenti, Amir kian aktif dalam organisasi sejak hijrah ke Batavia pada 1932. Ia menjabat Sekretaris Pusat Indonesia Muda. Selain kuliah, tulis Lah Husny, Amir sering nongkrong bersama pemuda lain di Indonesische Clubgebouw atau Rumah Perkumpulan Indonesia di Gedung Kramat 106.
Di gedung tempat memproklamasikan Sumpah Pemuda pada 1928 itu, ia terlihat berdiskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Mohammad Hatta, Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Gedung itu kini masih berdiri di Jalan Kramat 106, Salemba, Jakarta Pusat, dan menjadi Museum Sumpah Pemuda.
Amir tak hanya aktif dalam organisasi politik. Ia menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh sastra seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Pada 1933, bersama dua penulis terkenal itu, Amir mendirikan majalah Poedjangga Baroe, yang mempopulerkan bahasa Melayu, bahasa asing bagi para siswa yang memakai bahasa Belanda dalam percakapan karena jadi pengantar di sekolah. "Di majalah ia minta hanya ditulis sebagai pembantu tetap," kata Nurhayati Sri Hardini alias Nh. Dini, penulis biografi Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang.
Permintaannya itu diduga berkaitan dengan pengawasan intelijen Belanda. Amir paham kegiatannya bisa merusak hubungan Sultan Mahmud, paman yang menyayanginya, dengan pemerintah Hindia Belanda. Ia mendua antara keinginan aktif memerdekakan Nusantara dan kepatuhannya kepada Sultan.
Sebagai seorang terdidik, Amir juga berpandangan persatuan dan kemerdekaan bisa dicapai dengan menjadikan masyarakat melek informasi lebih dulu. Maka ia menjadi guru bagi orang pribumi di Perguruan Rakyat, Taman Siswa, atau sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah Taman Siswa di Kemayoran, Jakarta Pusat, kini masih berdiri sebagai tempat belajar.
Nh. Dini mendapat kesaksian dari para murid Amir di sekolah-sekolah itu. Menurut mereka, Amir seorang guru yang halus budi dan sederhana. Meski seorang pangeran, pakaian Amir tak menampilkan kesan modern. Cara mengajarnya juga memikat. "Dia sering membacakan prosa dan puisi di depan kelas," tulis Dini.
Rupanya, mengajar dan menulis bukan hanya saluran idealisme Amir. Ini juga caranya mendapatkan penghasilan untuk hidup dan ongkos kuliah. Setahun setelah Amir tiba di Batavia, ayahnya meninggal. Anak bungsu dari 12 bersaudara itu kehilangan sponsor utama.
Honor menulis dan mengajar tak cukup untuk membiayai uang kuliah. Dengan terpaksa ia menyurati Tengku Jakfar, kakak tertuanya, di Binjai. Menurut Lah Husny, kepada Temenggung Wakil Sultan di Pangkalan Brandan itu, Amir meminta bantuan biaya sekolah hingga lulus.
Surat balasan Tengku Jakfar tiba dengan menyenangkan. Amir diminta tak cemas akan biaya karena Sultan Mahmud bakal menanggung ongkos sepenuhnya. Ketika itu, dari tiga kesultanan Sumatera Timur, Sultan Mahmud menjadi pemimpin terkaya dari menjual minyak dan hasil kebun kepada pemerintah Belanda. Menurut Nh. Dini, surat itu juga berisi uang yang cukup untuk ongkos ke Binjai. Amir diminta pulang.
Dalam pertemuan dengan Amir, Sultan menyampaikan syarat yang harus dipenuhi keponakannya itu jika ingin sekolahnya dibiayai: tak pacaran dan keluar dari pergerakan. Amir diminta berfokus belajar untuk mendapatkan gelar meester in de rechten (Mr).
Janji itu ia ingkari sekembali ke Batavia. Amir tetap menemui Ilik Sundari, pacarnya sejak di Solo, dan bersiasat dari pantauan intelijen dengan menyelinap ke Gedung Kramat 106 setiap mengikuti rapat-rapat. Secara resmi ia dinyatakan tak hadir padahal masuk lewat pintu belakang pada menit akhir.
Demikianlah pangkal murka Sultan Mahmud saat menerima laporan Tengku Siddik. Ia pun mengirim telegram agar Amir pulang ke Langkat. Keputusan itu dibuat setelah surat-surat peringatan Sultan dibalas Amir dengan surat yang lancang. Menurut Lah Husny, Amir menulis dunia sudah berubah, monarki telah berganti demokrasi. "Sudah sepantasnya rakyat diajak bermusyawarah," tulisnya, sebagaimana dikutip Lah Husny.
Sembari menunggu Amir tiba, Sultan mengumpulkan saudara-saudara Amir. Dia mengatakan keadaan Amir sudah parah dan harus diselamatkan. Sultan menerima peringatan kesekian dari Belanda untuk menyetop Amir. "Kira-kira Amir diminta menjadi anak manis," kata Suprayitno, sejarawan Universitas Sumatera Utara.
Terjepit di antara keinginan melihat Amir menjadi sarjana hukum dan permintaan Belanda, Sultan Mahmud membuat keputusan yang membuat sejarah berbelok dan nasib tak jadi karib. Amir akan dinikahkan dengan putri sulungnya agar tak bisa lagi ke Jawa.
Tengku Busu alias Pangeran Indra Putera itu pun menyerah pada keputusan Sultan. Ia pulang dengan harapan yang putus tentang cita-cita kemerdekaan. Aktivitasnya dalam pergerakan terhenti ketika secara resmi ia menjadi menantu Sultan Mahmud pada 1938.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo