Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIDATO Amir Hamzah menyedot perhatian. Di depan peserta Kongres Indonesia Muda, ia fasih berbicara bahasa Melayu. "Selamat datang dan selamat berkongres, para pemuda-pemudi dari pelbagai daerah dan tempat," kata Amir, ketua panitia Kongres Indonesia Muda.
Peserta kongres yang berlangsung di Solo pada 28 Desember 1930-2 Januari 1931 itu tercengang mendengar pidato Amir. Soalnya, kaum terpelajar yang berbahasa Melayu dalam acara resmi masih langka. "Waktu itu orang lebih senang berbahasa Belanda," ujar Sagimun Mulus Dumadi dalam bukunya, Amir Hamzah Pahlawan Nasional.
Saat kongres itu berlangsung, Amir masih duduk di kelas II Algemene Middelbare School (AMS), setingkat sekolah menengah atas. Ia juga menjabat Ketua Indonesia Muda cabang Solo. Indonesia Muda adalah badan penyatuan sejumlah perkumpulan pemuda daerah, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Jong Ambon.
Menurut Sagimun, saat itu banyak kaum terpelajar tetap berbahasa Belanda agar lebih mudah memperoleh pekerjaan, kedudukan, dan pangkat lebih tinggi. Orang yang berbahasa Belanda juga dianggap terpandang di masyarakat. Tak mengherankan bila sejak bahasa Melayu ditahbiskan sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda II pada Oktober 1928 di Jakarta, masih banyak orang yang berbahasa Belanda.
Berbeda dengan kaum terpelajar lainnya, Amir konsisten mengamalkan amanat Kongres Pemuda II. Apalagi, sejak Kongres Pemuda, "perang bahasa" membuncah. Untuk menghambat perkembangan bahasa Indonesia, Belanda tetap mengajarkan mata pelajaran di sekolah dengan bahasa Belanda. "Gelar seperti dokter dan sarjana hukum (meester in de rechten) baru bisa diperoleh jika fasih berbahasa Belanda," ucap Sagimun.
Belanda juga memerintahkan sekolah-sekolah memakai bahasa daerah agar bahasa persatuan mati. Dalam bukunya, Sagimun mencontohkan, Belanda pernah memuji bahasa Jawa sebagai bahasa yang perbendaharaan katanya lebih banyak ketimbang bahasa Melayu. "Kaum penjajah pintar mengadu domba bangsa kita," ujarnya.
Penyair Hasan Aspahani mengatakan, meski Belanda berusaha mengubur bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, Amir Hamzah tetap berjuang agar bahasa itu populer di masyarakat. Caranya, dengan menulis puisi, prosa, atau sajak dalam bahasa Indonesia. "Ketika itu menulis dalam bahasa Indonesia saja merupakan perjuangan besar," kata Hasan, yang juga wartawan sekaligus penulis biografi, pada akhir Juli lalu.
Pilihan Amir menggunakan bahasa Melayu dalam karyanya, menurut Hasan, untuk meyakinkan orang-orang bahwa bahasa Indonesia layak menjadi bahasa seni. "Ini konsistensi Amir karena yakin terhadap amanah Sumpah Pemuda," ujarnya.
Amir tak sendirian memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Menurut Nurhayati Sri Hardini alias Nh. Dini, Ilik Sundari, pacar Amir di Solo, turut serta mendorong teman-temannya di asrama agar berbahasa Melayu. "Dalam setiap pertemuan, mereka berdua meminta semua orang yang hadir menggunakan bahasa Melayu," kata Dini, 80 tahun.
Tak cuma dalam pertemuan-pertemuan formal, Amir juga ikut mempengaruhi lingkungan sekolahnya di Solo agar berbahasa Melayu. Dalam bukunya, Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang, Dini mengatakan Amir dan Ilik bahkan keluar-masuk kampung mengajarkan masyarakat membaca, menulis, serta menghitung dalam bahasa Melayu.
Lambat-laun, tokoh-tokoh pergerakan seperti Muhammad Yamin dan Haji Agus Salim turut mempromosikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Bahasa Melayu semakin populer ketika Sukarno menggunakannya dalam pelbagai pidato.
Dalam buku Amir Hamzah dalam Kenangan, Achdiat Karta Mihardja bercerita, temannya itu-bersama Armijn Pane-menulis sajak dan prosa dalam bahasa Melayu sejak duduk di bangku AMS di Solo. Achdiat pernah bertanya soal penggunaan bahasa dalam sajak Amir: "Sajakmu dalam bahasa Indonesia?" Amir menjawab, "Habis, dalam bahasa apa aku berlagu?"
Selepas menamatkan sekolah di Solo, Amir melanjutkan studi ke Rechts Hoge School (RHS) atau sekolah hukum di Batavia. Menurut Sagimun, Amir tak hanya kuliah, ia juga mengajar di perguruan nasional. Selama mengajar di sana, ia bertemu dan bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menjadi musuh Belanda.
Dalam buku Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang, Nh. Dini mengatakan Amir terus menyebarkan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia di Batavia. Di perguruan nasional, ia mengajar bahasa Indonesia. Gajinya tidak besar. Amir juga mengajar bahasa Indonesia di sejumlah tempat. Salah satunya di perguruan rakyat di daerah Kenari, Batavia.
Sembari mengajar, dia aktif berorganisasi dan memproduksi sejumlah tulisan dalam bahasa Indonesia. Menurut Dini, Amir selalu mengirimkan tulisannya ke majalah Timboel di Solo. Ia juga berkenalan dengan Sutan Takdir Alisjahbana.
Bersama Armijn Pane, mereka bermimpi mendirikan organisasi kebudayaan. Pada 1933, cita-cita mereka terwujud dalam sebuah majalah: Poedjangga Baroe. "Ini adalah realisasi dari hasrat menyatukan pengarang Indonesia," ujar Dini.
Hasrat Amir mempopulerkan bahasa Indonesia tak pernah surut. Setelah menikah dengan Tengku Kamaliah dan menjadi kepala daerah di wilayah Kerajaan Langkat, ia aktif menulis di majalah Panca Raya. Amir juga rutin bertausiyah di radio. Temanya: bahasa dan sastra Indonesia. "Isi ceramahnya berkaitan dengan sastra tanah air dan patriotisme," kata Dini.
Di bawah cengkeraman Jepang, Amir aktif di Balai Bahasa di Kota Medan. Di lembaga itu, pria asal Langkat ini juga terus mengembangkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Ikhtiar Amir berlanjut. Ia dan kawan-kawannya menyelenggarakan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo pada 1938. Hasil keputusan kongres itu antara lain menuntut Belanda agar menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa undang-undang dan bahasa pengantar di volksraad atau dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda.
Atas semua upaya Amir itu, pemerintah menganugerahi gelar pahlawan pada November 1975, tepat 29 tahun setelah kematiannya. "Amir telah berjuang di lapangan bahasa dan kesusastraan," ujar Sagimun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo