Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Barisan Pemuda Solo Merapat

Amir Hamzah mempersiapkan kongres peleburan organisasi kedaerahan menjadi Indonesia Muda. Bergaul dengan tokoh radikal dan keluar-masuk kampung.

14 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR dari Solo membuat Amir Hamzah bersemangat. Pada 1926, Willem Frederik Stutterheim, arkeolog masyhur Belanda, membuka Algemene Middelbare School jurusan oostersch letterkundige. Dikenal dengan AMS A-1, sekolah setingkat sekolah menengah atas ini menawarkan studi sastra Timur pertama di Hindia Belanda, menyusul jurusan sastra Barat yang dibuka enam tahun sebelumnya di Bandung.

Pada 1927, Amir menyelesaikan pendidikannya di Christelijke MULO di Gang Mendjangan, Batavia-sekarang Jalan Kwini I, Senen, Jakarta Pusat. Begitu mendapat restu ayahnya di Langkat, pemuda 16 tahun itu naik sepur ke Surakarta dan mendaftar di maktab tersebut.

Stutterheim mengusahakan sekolah itu secara mandiri. Heri Priyatmoko, sejarawan dari Solo Tempo Doeloe dan pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan Stutterheim menyewa rumah mayor Cina, Be Kwat Koen, untuk sekolahnya dengan ongkos 230 gulden per tahun. Saat ini griya tersebut menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret di kampus Mesen, dekat Stasiun Jebres, Solo.

Dalam perkembangannya, kata Heri, Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran meminjamkan gedung di kawasan Manahan untuk AMS Solo. Setiap bulan Kasunanan menyumbang 200 gulden dan Mangkunegaran 100 gulden. Ada juga beasiswa sebesar 50 gulden per bulan, dengan rincian biaya asrama 30 gulden, iuran sekolah 12,5 gulden, dan uang saku 7,5 gulden.

"Meski masih baru, AMS Solo diminati pelajar dari berbagai penjuru Hindia Belanda," ujar Heri kepada Tempo, bulan lalu. Di antara murid AMS Solo adalah Prijono, perintis Gerakan Pramuka yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era Orde Lama, serta Tjan Tjoe Siem, pakar sastra Jawa dan guru besar Universitas Indonesia. Ada pula Achdiat Karta Mihardja, sastrawan asal Garut, dan Armijn Pane, sastrawan asal Tapanuli Selatan, yang kemudian menjadi sahabat Amir.

Abrar Yusra, penulis biografi Amir Hamzah, mengatakan pengalaman di Solo selama 1927-1932 membuat Amir tumbuh dan berkembang ke segala dimensi. Di bidang sastra, dia melahirkan buku antologi puisi Buah Rindu. Di luar itu, sang pujangga belia berkenalan dengan pergerakan pemuda dan nasionalisme.

Achdiat dalam Amir Hamzah dalam Kenangan menulis bahwa pelajar AMS saat itu bisa dikelompokkan dalam "penyuka foya-foya dan dansa-dansi" serta "golongan yang sungguh-sungguh". Kelompok kedua itu terbagi lagi menjadi mereka yang mengusung keagamaan, seperti Jong Islamieten Bond dan Mude Kristen Jawi, serta aliran kebangsaan, seperti Jong Java, Jong Celebes, Sekar Rukun, dan Jong Sumatranen Bond, tempat Amir tergabung.

Berbekal semangat Sumpah Pemuda, sederet organisasi kedaerahan tersebut berupaya meleburkan diri. Setelah tarik-ulur sejak April 1929, ide itu terwujud lewat Kongres Besar Indonesia Muda di Gedung Pertemuan Habiprojo, Solo, pada 30 Desember 1930. Menurut buku Indonesia Muda: Catatan Penting Persatuan Organisasi Pemuda terbitan Museum Sumpah Pemuda, dokumen rapat menyebut Amir sebagai satu dari lima pembantu panitia kongres yang diketuai Wawardi itu. Achdiat ingat bahwa Amir memberi sambutan pembukaan konferensi dengan pernyataan, "Selamat datang dan selamat berkongres."

Indonesia Muda resmi terbentuk pada 31 Desember 1930 sekitar pukul 24.00. Panji-panji organisasi kedaerahan dilipat, lambang Indonesia Muda dibentangkan di hadapan 800-an peserta, termasuk Sudiro, yang nanti menjadi Wali Kota Jakarta, dan Wilopo, yang kemudian menjadi perdana menteri. Dipimpin M. Yamin, A.K. Gani, Asaat, dan kawan-kawan, organisasi ini memiliki 2.400 anggota yang tersebar di 26 cabang di kota-kota besar Hindia Belanda. Amir Hamzah, bersama Armijn Pane, tercatat sebagai pengurus cabang Surakarta.

Seperti ditulis Nh. Dini dalam Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang, organisasi ini menerbitkan majalah Garuda Merapi, yang menginformasikan kerja mereka. Anggota redaksinya tersebar di berbagai kota, seperti Sudiro di Magelang dan Amir di Solo.

Indonesia Muda giat menyebarkan roh Sumpah Pemuda: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa persatuan. Soal bahasa, Amir melakukannya lebih dulu dengan menjadi mentor bagi rekan studinya di AMS. Maklum, lingua franca-nya adalah Melayu, akar bahasa Indonesia. Sebagai balasan, teman-temannya, termasuk Ilik Sundari, kekasihnya, mengajarinya bahasa Jawa.

Setelah cas-cis-cus dalam dua bahasa, kata Dini, pasangan kekasih Amir-Ilik keluar-masuk kampung mengajarkan baca, tulis, dan berhitung ke masyarakat. Mereka meyakini tiga dasar pendidikan itu adalah awal keterbukaan wawasan. "Bila tahap dasar sudah didapatkan, buku-buku bacaan juga harus diadakan supaya melek huruf bisa bertahan. Malah, jika mungkin, meningkatkan pengetahuan," tutur Dini, 81 tahun, di kantor Tempo, bulan lalu.

Situasi Solo saat itu tidak bersahabat bagi pemuda pergerakan. Seperti ditulis Abrar Yusra, sepuluh tahun sebelum kedatangan Amir, Surakarta menjadi titik api di Jawa akibat pemberontakan komunis. Dari 700 penangkapan tahun itu, 48 orang diasingkan ke Digul, Papua. Saat Amir bermukim, cengkeraman kaki tangan Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda (PID) masih kuat.

Meski berhaluan nonpolitik, Indonesia Muda menjadi sasaran pengintaian mereka. Terlebih, saat menggelar diskusi, Amir dkk kerap sowan ke figur yang lebih senior, seperti Mr Singgih. Oleh PID, mantan Sekretaris Boedi Oetomo itu dianggap tokoh radikal karena mengusung jalur nonkooperasi di Perhimpunan Indonesia.

Suatu waktu, berdasarkan kesaksian Achdiat Karta Mihardja, Willem Stutterheim didatangi petugas intelijen yang mempertanyakan kaitan studie club siswa AMS dan pemimpin pergerakan di Solo. "Saya bukan babu. Di luar sekolah, murid-murid saya serahkan kepada kebijaksanaan dan tanggung jawab mereka sendiri. Mereka sudah cukup dewasa," kata Stutterheim. Jawaban sang direktur melegakan Amir dan kawan-kawan.

Pengawasan terhadap Amir berlipat. Sutan Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga Baru, mengatakan semua anak bangsawan dari seberang Jawa dipantau kantor Voor Inlandsche Zaken, badan penasihat pemerintah Hindia Belanda soal pribumi. "Setiap kali melakukan sesuatu yang dicurigai, mereka dipanggil dan diancam pencabutan sokongan keuangan," ucap Sutan Takdir, seperti ditulis Danil Ahmad, dalam T. Amir Hamzah, terbitan Balai Bahasa Sumatera Utara, 2005.

Meski mendapat label "merah" dari pemerintah, Amir dkk jalan terus. Achdiat mengatakan memang hanya yang betul-betul tebal perasaan kebangsaannya yang berani duduk di Indonesia Muda. "Dan di antara mereka itu adalah Amir," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus