Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Revolusi di Senja Peradaban Modern

Teknologi kloning muncul ketika paradigma sains mengalami transisi dari pandangan mekanis Descartes ke pandangan holistis.

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA 2004. Penyanyi dan bintang film cilik Sherina bisa jadi akan mencermati setiap serpihan tubuhnya agar tak ter-cecer. Sebab, di tangan si jahat, serpihan itu— memakai teknologi kloning—bisa menghasilkan cetak biru gen dan kemudian dipakai untuk menciptakan "kembaran" Sherina. Bila itu terjadi, Sherina beberapa tahun mendatang akan memperoleh pesaing yang secara fisik sama persis dengan dirinya. Gambaran ancaman itu bukan hal yang mustahil. Keajaiban teknologi kloning itu, terutama untuk mengklon manusia, menurut prediksi Arthur C. Clarke, futurolog Sri Lanka, akan terwujud pada 2004.

Persoalan yang dihadapi Sherina adalah menyangkut hak paten. Apakah orang otomatis memiliki hak paten atas cetak biru gen dirinya? Atau cetak biru itu milik publik? Soal hak paten atas cetak biru gen itu hanya salah satu dari berderet-deret persoalan seputar implikasi sosial dan filosofis teknologi kloning. Paling tidak menurut Eric Lander, Kepala The Whitehead-MIT Center for Genome Research, salah satu dari lima pusat The Human Genome Project, seperti ditulis Time, ada beberapa soal pokok yang perlu direnungkan.

Tembok privasi seseorang bisa dijebol dengan teknologi ini karena kemampuan membaca cetak biru gen bisa dipakai untuk mengetahui rahasia pribadi orang. Misalnya, seorang reporter menemui Ronald Reagan sebentar setelah pemilihan presiden 1984. Dalam pertemuan itu, si reporter mengambil serbet makan sang Presiden, menganalisis DNA-nya, dan memberitakan hasilnya: Presiden berisiko terkena penyakit Alzheimer. Atau bisa saja seseorang mengambil contoh darah Anda untuk mengetahui kesehatan fisik, tapi di belakang itu ia menganalisis DNA-nya untuk mengorek faktor risiko terhadap depresi.

Selain itu akan banyak orang yang suka menentukan secara serampangan identitas gennya untuk kepentingan pribadi. Taruh kata ada orang yang mengaku dirinya memiliki gen antikanker atau gen antidiabetes, tanpa melalui analisis DNA. Klaim-klaim semacam itu tidak berdasar. Sebab, bisa saja dua orang kembar memiliki gen yang identik, tapi yang satu bisa jadi rentan terhadap serangan diabetes, sedangkan yang satunya kebal. Jadi, harus diwaspadai kecenderungan orang untuk menjual gennya dengan determinasi tertentu tanpa melalui pembenaran secara sains.

Soal modifikasi gen juga mengancam. "Ini persoalan terbesar," kata Eric. Apakah memodifikasi kode genetis sehingga orang bisa merancang struktur anaknya bisa dibenarkan? "Ada persoalan moral yang serius menyangkut ini semua," kata Eric. Menurut dia, sekali orang melihat manusia sebagai produk pabrik, dia telah melanggar garis dan bisa jadi tidak akan mampu menarik surut langkahnya. Karena itu, masyarakat mestinya membuat aturan yang melarang modifikasi semacam. "Kita harus cukup bijak dan tepat menggunakan teknologi itu," kata Eric.

Di luar persoalan yang dipaparkan Eric itu, ada pertanyaan yang lebih mendasar menyangkut implikasi filosofis dari proyek pemetaan genome manusia. Apa dampak filosofis terobosan bioteknologi itu? Apakah teknologi kloning sejajar dengan revolusi industri yang melahirkan peradaban modern? Atau lebih dahsyat? Akankah manusia sekarang mengulangi ongkos peradaban modern yang berekses negatif pada krisis ekologi dan kemanusiaan?

Revolusi industri di Inggris dan Prancis muncul dari "setting" masyarakat Eropa yang baru saja bangun dari zaman kegelapan. Revolusi industri itu terbukti menghasilkan peradaban modern, tapi bukan tanpa cacat. Keberhasilan ilmu pengetahuan dan sains modern yang bertumpu pada rasionalisme Descartes menghasilkan cara pandang yang reduksionis—menganggap alam semesta sebagai mesin. Filosofi manusia modern itu dituding sebagai biang krisis dalam berbagai dimensi intelektual, moral, spiritual, dan ekologi. Krisis yang hebat itu, seperti kata fisikawan Fritjof Capra dalam buku Titik Balik Peradaban, belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. "Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini," kata Capra.

Kini revolusi bioteknologi. Akankah manusia bumi terpeleset ke jurang krisis yang sama? Ruang dan waktu yang berbeda mestinya menyemaikan bibit peradaban yang berbeda. Teknologi kloning lahir ketika dunia mengalami masa transisi dari paradigma (cara pandang) modern ke paradigma baru—sebut saja pascamodern.

Masa transisi itu ditandai dengan munculnya pemahaman saintifik baru terhadap kehidupan pada semua level sistemnya—organisme, sistem sosial, dan ekologi. Ada persepsi baru tentang realitas yang memiliki implikasi maknawi tak hanya untuk sains dan filsafat, juga untuk bisnis, politik, kesehatan, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari. "Konsep baru dalam fisika telah membawa perubahan pandangan tentang semesta, dari pandangan mekanis Descartes dan Newton ke pandangan holistis dan ekologis," kata Capra dalam buku The Web of Life.

Capra adalah doktor dalam bidang fisika lulusan Universitas Vienna yang menggetarkan dunia lewat buku-bukunya yang inspiratif. Salah satu karyanya, The Tao of Physics, berisi perbandingan fisafat Timur, antara lain taoisme, Hindu, dan Buddha, dengan temuan baru dalam fisika. Intinya, bahwa ada keparalelan antara filsafat Timur dan fisika baru. Contohnya adalah teori interkoneksitas dan interdependensi, yang sama dengan konsep avatamsaka Hindu.

Capra tak sendirian. Sejumlah seniman, ilmuwan, dan agamawan dunia melakukan gerakan sadar lingkungan melalui Kelompok Budapest. Anggotanya terdiri dari tokoh semacam Dalai Lama (pemimpin spiritual tertinggi Buddha Tibet), Peter Ustinov, dan Elie Wiesel. Selain melakukan aksi nyata dan aktivitas sosial untuk lingkungan, Kelompok Budapest pernah membuat manifesto tentang semangat kesadaran keplanetan, pada 1996. Organisasi itu bekerja sama dengan UNESCO, lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Artinya, dengan setting ruang dan waktu yang berbeda tersebut, apakah revolusi bioteknologi akan melahirkan "monster baru" bagi kemanusiaan? Kekhawatiran itu masih ada. Apalagi, mereka yang berada di belakang Human Genome Project adalah perusahaan bioteknologi. Pun keberhasilan proyek itu adalah berkat, salah satunya, topangan teknologi komputer, "bayi ajaib" sains modern. Jadi, apakah teknologi kloning akan dituntun oleh kaum ilmuwan holistis atau kaum yang bertangan jahat? Tunggu saja sejarah.

Memang. Kesuksesan Human Genome Project bisa dibaca sebagai bukti superioritas manusia atas "sebuah mesin bernama manusia". Tapi terbacanya informasi genetis itu juga bisa diberi makna sebagai ditemukannya jejak kecerdasan Tuhan.

Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus