PERANAN paling besar yang dimainkan Jiang Qing sebagai tokoh masyarakat mencapai puncaknya pada tahun 1974. Di masa itu, ia hadir di mana-mana. Bertemu dengan segala lapisan masyarakat. Sebagai direktur, ia menandatangani surat-surat dengan kop "Jawatan AntiLin Biao," atau "Badan Anti Kong Hu Cu". Namanya secara rutin ada pada baris paling atas pada daftar setiap pertemuan para pemimpin Cina. Ketika Mao menghilang dari Beijing selama delapan bulan -- menyepi di Cina Selatan -- ia menjadi pejabat paling teras di kalangan para pejabat teras. Ia diperlakukan bagaikan orang suci. Harian Rakyat menyebutnya sebagai "pengejawantahan pikiran-pikiran Mao". Dulu, sebutan kehormatan hanya untuk Liu Shaoqi, presiden pertama Cina, dan Marsekal Lin Biao, tokoh militer yang pernah mencoba melakukan kudeta. Keduanya tokoh kunci dalam politik Cina dan sangat dekat dengan Mao. Tapi Jiang Qing lebih berkuasa dari kedua tokoh itu. Instruksinya, yang seperti titah seorang kaisar yang tak bisa dibantah, hampir tidak bisa dibayangkan dalam komunikasi antarmanusia sistem komunis. Sebagai "pemimpin nasional", ia menyambut kedatangan presiden Siprus, presiden Togo, presiden Mauritania, serta serentetan pemimpin dunia lainnya. Semuanya itu dijalankannya atas nama Ketua Mao. Padahal Mao sudah mengingatkan istrinya sejak awal, "Jangan kelewat sering tampil di muka umum. Jangan menandatangani keputusan ataupun dokumen yang meninggalkan kesan politik pada kabinet. Kau akan menyinggung perasaan banyak orang." Tapi Jiang Qing toh melakukannya, bahkan sampai melewati batas. Mao ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Ini menandakan kelemahan Mao. Dan, seperti selalu terjadi dalam sejarah, kelemahan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan secara gila-gilaan. Masyarakat dan dunia politik Cina bukannya tidak tahu. Dan kritik muncul juga. Surat kabar terkemuka, Guangming Ribao, memuat artikel politik berjudul "Kemarahan Terpendam" untuk mengkritik Jiang Qing. Artikel ini adalah naskah lama yang ditulis 2.200 tahun lampau. Sebuah esei Han Fei, pemuka golongan Legalis, salah satu mazhab ajaran filsafat Cina. Pemuatan kembali tulisan klasik ini adalah sindiran pada manipulasi kekuasaan di sekitar Mao. Dalam tulisan tersebut, Han Fei mengisahkan sebuah kerajaan yang tenggelam dalam budaya dusta dan faksionalisme, dan akhirnya runtuh. Kaisar, tulis Han Fei, selalu mendapat gambaran dan laporan yang tidak benar tentang negara. "Menteri-menterinya pengkhianat, terutama seseorang yang dianggap sangat penting." Orang inilah yang menempatkan pengkhianat dan orang-orang tidak becus pada posisiposisi penting pemerintahan. Adalah suatu kejahatan yang sangat kejam memperlakukan kaisar seperti ini, dan sebaliknya kaisar juga telah melakukan kesalahan besar memberi angin kepada "orang penting" tersebut. Warga Beijing berebut memperoleh koran terbitan 23 Juli 1974 itu. Terjadi perdebatan, siapa "orang penting" yang menjadi sasaran kiasan artikel Han Fei. Kata pengantarnya, tipikal Cina, hanya mengatakan orang itu orang jahat tipe Lin Biao yang meninggal tiga tahun silam. Para pembaca lalu mengirangira siapa orangnya. Pilihan: Zhou Enlai dan Jiang Qing, dua nomor dua yang saling bersaing. Hanya berselang beberapa jam, Guangming Ribao edisi 23 Juli itu ditarik kembali dan kemudian dibakar. Edisi baru keluar pada hari yang sama dan "Kemarahan Terpendam", yang tadinya mengisi halaman dua, diganti dengan berita-berita lokal yang sepele. Siapa mengkritik siapa di sini? "Zhou hampir tak bisa menunggu lagi untuk bisa menggantikan Ketua Mao," Jiang Qing berbisik kepada seorang sahabat dekatnya. Kata-kata ini sampai juga ke telinga Mao dan pada suatu malam, setelah pertemuan dengan raja Nepal, Mao bercerita kepada para sahabatnya mengenai ketegangan Jiang Qing dengan Zhou Enlai. "Bukan perdana menteri yang sudah tak sabar lagi untuk menjadi ketua, tapi justru istriku," katanya. Sikap bermusuhan Jiang Qing kepada Zhou Enlai muncul ke permukaan dalam pertentangan mengenai "seni hitam". Jiang Qing menuduh perdana menteri telah mengizinkan Balairung Besar Rakyat, hotel-hotel terkemuka Beijing, dan tempat-tempat umum lainnya dihiasi dengan perabotan yang "tidak sehat". Dibantu Yao Wenyuan, salah seorang kaki tangan, ia mengirim berbagai tim untuk mengadakan survei. Akhirnya mereka menyita 700 hasil karya seni "borjuis" dari berbagai gedung pemerintah dan menggantikannya dengan karya-karya revolusioner. Dua ratus dari karya-karya yang disita itu dipamerkan kepada umum selama lebih dari sebulan. Tentunya, untuk mencoreng muka Zhou. Kemudian datanglah insiden opera Lagu Para Tukang Kebun. Hua Guofeng, bintang politik baru yang sedang menanjak ketika itu, mendorong pembuatan film opera yang ternyata sangat disukai masyarakat itu. Ceritanya mengenai dua guru bijaksana yang mengajari para murid perihal keadilan. Ceritanya sendiri datang dari kepercayaan umum yang sudah lama terpendam di Cina: bahwa bunga yang indah adalah hasil pemeliharaan yang saksama dan disertai kasih sayang. Jiang Qing menyaksikan film tersebut dan marah. "Judulnya saja sudah salah," gerutunya, "mana mungkin guru menjadi tukang kebun. Mereka mestinya tokoh-tokoh Partai Komunis!" Lalu, ada sebuah lagu yang menyebabkan ia berang. Pada lagu ini ada kata-kata, "Bagaimana kita harus memikul tanggung jawab revolusioner?" Ia menganggap kata-kata ini sebagai serangan terselubung terhadap Revolusi Kebudayaan. Kaum radikal di bawah Jiang Qing kemudian menyerang frontal film opera itu melalui surat kabar. Namun, serangan itu tak lama. Mao menyaksikan film ini dan menyukainya. Para pejabat kebudayaan kemudian melakukan serangan balasan dengan membesar-besarkan komentar Mao atas film ini. Jiang Qing tak bisa berkutik. Urusan Jiang Qing kebanyakan memang masalah kebudayaan yang dikaitkaitkan dengan politik. Kaum moderatradikal mengkritik Jiang Qing tak punya wawasan dan perhatian pada bidang ekonomi. Zhou Enlai dan Deng Xiaoping (direhabilitasi pada 1973) menyebut kaum radikal sebagai kelompok yang hanya ngomong tentang politik dan sama sekali tak memperhatikan ekonomi. Malah Deng konon punya komentar tak enak tentang Jiang Qing, "Ia seperti ayam betina yang berkotek terus-terusan tapi tak bisa bertelur." Jiang Qing cepat bereaksi. Ia ingin tunjukkan kepada umum bahwa ia memperhatikan juga masalah-masalah ekonomi. Suatu ketika, ia datang ke Pelabuhan Tianjin dalam acara peninjauan ke kilang minyak di Dagang. Peninjauan yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi ini disebutkan digabungkan dengan acara melihat-lihat kondisi sosial dan keadaan kebudayaan di Dagang. Menteri Olah Raga Zhuang Zedong, yang sebetulnya tak diperlukan di situ, menghadiri acara kunjungan itu. Ternyata, ada latar belakang mengapa ia ada di sana. Karier bekas juara dunia tenis meja ini melonjak sejak Jiang Qing berkuasa. Ia konon salah seorang pacar Jiang Qing. Sebagaimana biasanya, Zhuang Zedong datang dengan dandanan perlente. Sepatu kulitnya disemir mengkilap dan pakaiannya rapi. Menteri Kebudayaan Yu Huiyong juga hadir pada acara ini, padahal ia sama sekali tak memahami seluk-beluk perminyakan. Bekas pemain musik ini diangkat menjadi Menteri Kebudayaan karena berasal dari provinsi kelahiran Jiang Qing. Sambil menggamit Zhuang Zedong dan didampingi Yu Huiyong, Jiang Qing berkeliling melihat-lihat pengilangan minyak. Ia sangat ceria dan tak berhenti-hentinya berbicara tentang perkembangan baru di bidang budaya. Kepada seorang pekerja setengah tua, ia tiba-tiba berkata, "Nyanyikanlah sebuah lagu revolusioner untukku!" Orang itu ternyata tak bisa dan hanya berdiri dengan sikap sempurna. Jiang Qing kesal. "Jadi, di sini, hanya ada produksi tanpa revolusi," katanya. "Saya ingin bertemu dengan pekerja wanita," katanya lagi. Dan Jiang Qing kembali kecewa karena tak ada pekerja wanita di kilang minyak itu. Kemarahannya memuncak. "Mengapa tak ada buruh wanita," katanya dengan suara melengking. "Bukankah Ketua Mao berkata bahwa kaum wanita adalah penunjang sebagian langit?" Dia mengingatkan para pemimpin unit kerja bahwa apa saja yang bisa dikerjakan oleh laki-laki pasti bisa dikerjakan wanita. Kata-kata Jiang Qing adalah hukum. Minggu berikutnya, empat buruh wanita diangkat untuk bekerja di rig. Para pekerja pria tentunya senang. Tapi, tiga bulan kemudian, keempat pekerja wanita itu ternyata ditarik kembali. Dalam kapasitasnya sebagai "pemimpin nasional", Jiang Qing sempat bertemu dengan Imelda Marcos. Ia mendampingi istri presiden Filipina itu melihat-lihat tempat-tempat penting dalam acara kunjungan Imelda di Cina. Para pejabat partai dan pemerintahan, yang seharusnya menerima Imelda secara resmi, hadir dalam acara itu tapi sama sekali tak bersuara. Selama dua hari, Jiang Qing dengan bersemangat menyertai Imelda ke pelbagai pertunjukan kebudayaan dan pabrik-pabrik. Kehadiran bekas ratu kecantikan Filipina itu sangat menarik hati Jiang Qing. Ia merasa punya kesamaan, sama-sama wanita tangguh, bisa mencapai kekuasaan dengan menaklukkan hati seorang pemimpin besar. Karena itu, keduanya sering terlibat obrolan panjang mengenai dunia pria yang mereka masuki. Di muka Imelda, Jiang Qing sadar bahwa ia ternyata bisa santai tanpa melupakan kedudukannya. Bahwa Filipina pada waktu itu punya hubungan diplomatik dengan pemerintah Kuomintang di Taiwan sama sekali tak disadarinya. Ia melihat harapannya pada citra Imelda: punya pengaruh, berkuasa, sukses dalam politik tanpa berhenti menjadi wanita yang menarik. Jiang Qing memutuskan untuk meminta Imelda memperpanjang kunjungannya, tanpa memikirkan bahwa yang mengundang Imelda ke Cina adalah Perdana Menteri Zhou Enlai. "Untuk besok, saya punya kejutan buat Anda," katanya kepada Imelda, yang setuju memperpanjang kunjungannya. Keesokan harinya, keduanya tiba di Tianjin dan disambut massa yang jumlahnya tak kurang dari satu juta orang. Wakil Menteri Luar Negeri Han Nianlong berjalan kian kemari bagaikan jongos untuk memenuhi segala keperluan mereka. "Saya kira Jiang Qing ingin mendemonstrasikan betapa hebat kekuasaannya," kata seorang anggota rombongan Imelda. "Ini cara politikus wanita berkomunikasi dengan politikus wanita lainnya." Imelda kembali ke Manila dan merasa bahwa Jiang Qing bukan seorang ideolog radikal yang kaku, karena ia adalah wanita feminin yang bisa berbicara dengan halus. Buat Jiang Qing, ini sebuah kemenangan. Zhou Enlai boleh saja mengundang Imelda, tapi Jiang Qing yang menjadi tuan rumah. Jiang Qing bermain dengan kartu-kartu kekuasaan yang sangat tidak biasa. Ia menyeruak ke tengah massa, berbicara tentang politik dengan orang-orang ambisius yang berhimpun di sekelilingnya. Tapi ia tidak tahu bagaimana menggunakan kekuasaan tersebut. Ia tak berminat pada masalah militer, tugas-tugas administratif, dan tak menguasai manufer politik. Ia semacam maharani yang cuma sibuk mengurusi opera Beijing dan memanipulasi kekuasaan suaminya. Dengan seikit pengetahuan kebudayaan, bekas penari yang ambisius ini bermimpi menjadi pemimpin besar. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini