Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hari-hari terakhir janda mao

Jiang qing, janda mao zedong, tewas di sel penjara qincheng, beijing. ia memilih bunuh diri tepat pada peringatan peristiwa tiananmen. jenazah dikremasikan di suatu tempat tanpa upacara.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIANG Qing memilih 14 Mei 1991 sebagai hari kematiannya. Pada hari itu, penjaga penjara menemukan janda Mao Zedong itu tewas, dengan ikat pinggang menjerat lehernya. Ia dinyatakan mati bunuh diri di sel penjara Beijing. Di tengah keputusasaan, wanita yang pernah sangat berkuasa di zaman Mao Zedong itu masih mencoba peruntungannya. Tanggal kematiannya dipilihnya bukan tanpa maksud. Ketika ia ditemukan tewas, peringatan kedua pembunuhan Lapangan Tiananmen 4 Juni tengah disiapkan. Ia memperhitungkan, kematiannya akan meletuskan huruhara pada peringatan Peristiwa Tiananmen. Ia mengharapkan kekacauan itu akan menusuk pemerintahan Deng Xiaoping, penguasa Cina yang akhirnya keluar sebagai pemenang setelah Cina ditinggalkan Mao Zedong. Ternyata, perhitungan Jiang Qing tak sepenuhnya tepat. Kabar kematiannya tersimpan rapi selama seminggu. Hanya majalah Time yang memberitakannya dengan singkat. Baru beberapa hari kemudian, sejumlah kantor berita dan surat kabar yang beredar di Asia menceritakannya. Di Cina sendiri, kabar itu tak tersebar luas. Setelah pemerintah Beijing mengakui secara resmi bahwa Jiang Qing mati bunuh diri pada peringatan Peristiwa Tiananmen, muncul demonstrasi oleh kalangan pro-Mao. Mereka berarak keliling kota. "Ketua Mao, kami selalu mengenangmu," bunyi salah satu poster yang dibawa para demonstran itu. Di samping poster, foto Jiang Qing yang mengenakan topi militer dipasang. "Hancurkan Partai Komunis Gadungan Deng," bunyi tulisan dalam poster yang lain. Dalam suasana panas itu, pemerintah segera melarang penjualan buku atau artikel apa pun yang berkenaan dengan Jiang Qing, tokoh Revolusi Kebudayaan itu. Foto-fotonya semasa menjadi bintang film di tahun 1930-an pun dilarang beredar. Unit administrasi di tiap distrik diperintahkan untuk menyita barang-barang "haram" itu. Stasiun radio dan televisi disuruh menghentikan penayangan siaran opera dan balet revolusioner yang dirancang oleh janda Mao itu. Padahal, tahun-tahun belakangan, siaran itu dihidupkan untuk mencegah polusi kebudayaan Barat, seperti lagu pop, heavy metal dan hard rock. Tapi, di zaman ketika Beijing pun mendorong lahirnya usaha swasta dan panjipanji sosialisme dikibarkan hanya untuk mempertahankan persatuan dalam negeri, demonstrasi kaum proMao itu tak jauh gemanya. Kurang dari sepekan, soal Jiang Qing tak lagi muncul. Meski, dari sudut yang lain, sejarah misalnya, ada hal yang menarik: Jiang Qing meninggalkan "pengakuan" setebal 20 halaman. Dan dokumen ini bocor melalui seorang wartawan Jepang. Dalam pengakuan itu, antara lain, Jiang Qing menyerang Deng sebagai "raja pembual" yang menyelewengkan kepercayaan Ketua Mao, Partai Komunis, dan rakyat. Ia juga mengecap Deng sebagai pembunuh "mahasiswa pejuang" di Tiananmen. "Jangan keburu senang," tulis Jiang Qing, "membunuh mahasiswa patriot di Tiananmen akan membuat kematianmu tidak tenang." Sejak ditangkap, Oktober 1976, kemudian divonis hukuman mati, 1981, dan akhirnya hukumannya diringankan menjadi tahanan seumur hidup, 1983, Jiang Qing mendekam di penjara Qincheng, yang dikelilingi kebun buah dan pagar berduri. Penjara itu terletak sekitar 40 km utara Beijing. Sebelas abad lalu, kaisarkaisar dari dinasti Tang memilih untuk dimakamkan di Qincheng, kawasan pedusunan itu. Di tempat itu, menurut legenda, janda Kaisar Ci Xi suka berendam di mata air panas dan berlangganan di beberapa restoran setempat. Maka, untuk alasan keamanan, pemerintah melarang daerah Qincheng dimasukkan dalam peta. Di kawasan itulah kemudian pemerintah Kuomintang mendirikan bui untuk tahanan politik. Dan kemudian diperbarui lagi oleh penguasa Komunis menjadi mirip benteng bercat putih yang terisolasi. Bahkan para petani yang bekerja di dekat bangunan putih itu tak tahu-menahu kegiatan di balik tembok berpagar tinggi itu. Yang ada, hanya papan pengumuman "Orang Asing Dilarang Masuk", dalam beberapa bahasa, di pinggir jalan. Seperti rekan tahanan politik lainnya, Jiang Qing diasingkan selama beberapa tahun dalam sel sempit berukuran 1 x 3 meter. Ia dilarang bicara kecuali dalam interogasi. Ia diharuskan tidur dengan wajah menghadap pintu sel, yang di bagian atasnya ada jendela kecil untuk memasukkan ransum. Dari jendela itu pula, para penjaga mengawasinya. Setiap tahun, Jiang Qing mendapat jatah dua setel pakaian. Satu untuk musim dingin dan sebuah lagi untuk musim panas. Jatah mandinya cuma satu kali dalam sebulan. Hanya, bila kelakuannya baik, mematuhi aturan penjara, dan bersikap kooperatif terhadap pemerintah, ia diperbolehkan olah raga di halaman penjara. Tapi sebaliknya, kalau ia membangkang, seperti pernah dilakukannya dengan cara menghina penjaga, ia dihukum dengan tak diberi makan atau dihajar. Satu-satunya yang membedakan perlakuan terhadap Jiang Qing, bekas nyonya besar yang berkuasa, adalah jatah makanannya yang lebih baik. Yaitu penganan yang dibikin dengan biaya sedolar. Tapi itu tentu saja masih jauh dibandingkan dengan makanan enak dan segar yang ia santap ketika masih berkuasa. Maka, ia kadang-kadang lebih senang melemparkan jatahnya, atau mogok makan. Suatu ketika, Jiang Qing begitu frustrasi. Ia membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Karena itu, ia dipindah ke ruangan untuk orang yang kurang waras: kamar sempit, yang dinding dan lantainya dialasi kulit. Pada 1984, karena menderita kanker tenggorokan, Jiang Qing dilarikan ke rumah sakit tentara di Beijing. Di sana, ia tiga kali dioperasi. Untuk memudahkannya berobat jalan, Jiang Qing dipindah ke rumah berkamar tiga yang ada halamannya, dekat dengan deretan rumah sederhana keluarga sipir penjara, masih dalam kompleks penjara Qincheng. Di sini, Jiang Qing diizinkan membaca koran, mendengar siaran radio, dan menonton televisi. Kalau ia butuh pil tidur, hanya pil berdosis ringan yang diberikan -- untuk menghindarkan upaya Jiang Qing bunuh diri. Kewajiban Jiang Qing termasuk ringan: mencuci, merajut sweater, atau menjahit pakaian boneka. Kepala penjara sering marah karena Jiang Qing sering menyulam namanya atau pesan politik di baju itu, sehingga rajutan atau pakaian bonekanya tak bisa dijual. Selama 15 tahun, satu-satunya orang yang menengoknya adalah putri tunggalnya -- buah perkawinannya dengan Mao -- Li Na, kini 51 tahun, sarjana sejarah Universitas Beijing. Li Na bisa selamat dari pengadilan terhadap tokoh-tokoh Revolusi Kebudayaan karena jiwanya terganggu -- entah benar-benar terkena shock atau hanya pura-pura. Li Na punya seorang anak, lahir pada 1972, tak lama setelah ia bercerai dengan seorang "pelayan" jempolan yang ditemuinya ketika bertugas di desa. Perkawinan mereka hanya seumur jagung. Li Na kini bekerja sambilan untuk Komite Sentral Partai. Putranya diurus seorang pelayan di rumahnya, di distrik Xidan, Beijing. Li Na hidup dari warisan Mao, yang menurut ukuran warga Beijing biasa tergolong sangat mewah. Yakni sebuah lemari es, televisi berwarna, dan 8.000 yuan (sekitar US$ 1.500). Dengan kekayaan itulah, ia mencoba menyenangkan ibunya di penjara. Setiap beberapa minggu sekali, ia menumpang bis umum, diteruskan dengan jalan kaki yang cukup jauh, untuk menengok ibunya. Ia selalu tak lupa membawa kesukaan ibunya, yakni buku. Jiang Qing dikenal sebagai pencinta karya sastrawan Shanghai Lu Xun, menyukai sajaksajak dari dinasti Tang, dan segala hal tentang Lenin. Tak lama setelah Jiang Qing dipindah ke tahanan berbentuk rumah, Li Na membisiki ibunya. Ia punya pacar baru, duda pensiunan tentara. "Apa dia tahu siapa kamu?" tanya Jiang Qing. Li Na mengangguk. "Tapi kamu punya status ganda," kata Jiang Qing mengingatkan putrinya, "satu sebagai anak pemimpin revolusi besar, Ketua Mao, dan satu lagi sebagai putri kontrarevolusioner terkenal, Jiang Qing. Jika ia bisa menerimamu, ajaklah ia kemari untuk makan malam bersama." Ibu dan anak itu terkadang bertengkar. Biasanya, penyebabnya adalah keinginan Jiang Qing untuk memohon campur tangan Partai bagi pembebasannya. Suatu kali, pada musim panas 1988, Li Na datang membawa semangka. Buah ini jarang ia bawa, hingga ibunya gembira. Tak lama kemudian, Jiang Qing menyebut-nyebut soal Partai, yang barangkali bisa menolongnya. Sekali lagi, Li Na jadi kesal. "Saya tidak tahu keadaan sebenarnya. Jadi, Ibu saja yang minta," kata Li Na dengan hati-hati. Jiang Qing marah. Ia membanting semangka ke lantai, "Kamu tidak peduli dengan saya. Kamu tidak punya hati!" Jiang Qing berteriak. Li Na hanya dapat menangis. Hanya sedikit diketahui bagaimana tepatnya kematian Jiang Qing. Beberapa orang mengatakan, janda Mao itu sebetulnya menggantung diri di rumah putrinya. Ini merupakan tuduhan tak langsung bahwa Li Na yang mendorong ibunya bunuh diri atau, paling tidak, ia tidak mencoba mencegahnya. Perkiraan yang lain, Jiang Qing putus asa karena kankernya sudah teramat parah, mencapai tingkat yang sakitnya tak tertahankan. Beberapa saat sebelum meninggal, Jiang Qing sekali lagi meminta kepada petugas untuk menyampaikan permohonannya. Ia ingin pulang ke rumah lamanya di Zhongnanhai, di barat daya bekas istana kerajaan, yang diambil alih oleh Partai Komunis untuk kantor dan kompleks perumahan. Janda Mao ini menyampaikan permintaannya kepada Deng Xiaoping, selama tujuh tahun belakangan, sambil mengutip kebiasaan Mao untuk membebaskan tahanan politik yang sudah berumur dan lemah. Tapi semua permohonannya sia-sia. Deng, menurut laporan, selalu meneruskan surat yang ditulis Jiang Qing ke Komite Sentral Partai. Nasib surat itu hampir sama dengan catatan riwayat hidupnya. Jiang Qing berulang kali menulis memoarnya. Setiap ia menyelesaikan beberapa halaman, petugas penjara menyuruh Jiang Qing merobeknya. Atau dokumen itu disita untuk diserahkan ke Komite Sentral. Maka, ketika tak seorang pun mau mendengar suara Jiang Qing, ia hanya punya satu pilihan. Tutup mulut selamanya. Dengan kematiannya, ia seperti meninggalkan pesan, "Kalian yang telah memenjarakan saya adalah pengkhianat revolusi Mao. Kalian telah mendorong saya melakukan ini -- tidakkah kalian lihat darah di kedua tanganmu?" Jiang Qing dianggap tak layak dimakamkan secara kenegaraan atau dikuburkan di Babaoshan, sebuah pemakaman bagi para pemimpin revolusi dan martir, terletak di pinggiran Beijing. Jenazah Jiang Qing dikremasikan pada hari yang dirahasiakan, dan tanpa upacara secuil pun, di tempat pembakaran mayat di suatu tempat di Beijing. BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus