Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Revolusioner tua yang taat ...

Deng xiaoping mengundurkan diri dari jabatan terakhirnya ketua komisi militer pusat negara. lebih dari 20 tahun terakhir deng berhasil mengendalikan cina. deng masih tetap mempunyai pengaruh besar.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deng Xiaoping mengundurkan diri dari jabatan terakhirnya. Orang yang "mengarungi badai dan menantang dunia" ini lebih dari 20 tahun terakhir sukses mengendalikan Cina sebagaimana yang ia maukan, setelah sebelumnya di dunia politik Cina ia bagaikan roda: sebentar di atas, sebentar di bawah. Kisah Deng dan kepemimpinannya disajikan berdasarkan banyak bahan, antara lain dari Deng, Longman 1989, oleh David Bonavia, dan Selected Works of Deng Xiaoping, Foreign Languages Press 1984. Sedangkan kisahnya dalam Long March, kami sajikan berdasarkan buku Long March, the Untold Story, 1985, oleh Harrison E. Salisbury. SAMPAI pun di meja bridge, kata orang, Deng Xiaoping memegang teguh aturan permainan. Pemain bridge yang konon dikategorikan setaraf pemain internasional ini, tentu saja, tak bermain demi uang. Deng punya aturan: siapa kalah harus dihukum merangkak di bawah meja. Dan memang, musuhnya harus sering berdiri dari kursi, lalu merangkak di bawah meja. Suatu ketika Deng kalah. Dengan tergesa-gesa musuhnya, mungkin sungkan, minta Deng tak usah merangkak. "Tidak, saya harus merangkak. Itu aturan mainnya." Lalu ia tanpa kikuk menjalankan hukuman itu. Adakah pengunduran diri Deng dari jabatan ketua Komisi Pusat Militer Negara pekan lalu juga karena ia berusaha konsekuen menjalankan "aturan main", susah dikonfirmasikan. Yang jelas, 10 tahun yang lalu, dalam sebuah pidatonya tentang kepemimpinan di depan Komite Sentral Partai, ia mengisyaratkan agar orang-orang muda yang punya kepandaian dipromosikan. "Kita harus secara bebas mempromosikan dan memanfaatkan para tokoh muda yang profesional dan punya pengalaman," kata Deng. Boleh jadi, pengunduran dirinya dimaksudkan sebagai contoh. Sebuah cara regenerasi tanpa guncangan, mungkin. Tahun lalu, dalam demonstrasi mahasiswa yang berakhir dengan pembantaian Tiananmen, Juni, kritik yang dilontarkan antara lain kepemimpinan Cina yang sebagian besar terdiri dari para gaek. Lima bulan kemudian, Deng, waktu itu 85 tahun sudah, menyatakan mundur dari jabatan ketua Komisi Militer Pusat Komite Sentral Partai Komunis Cina. (Jabatan ini berbeda dengan ketua Komisi Militer Pusat Negara. Yang "Negara" hanya bersifat sebagai penasihat, yang "Partai" punya garis komando langsung terhadap militer, yakni Tentara Pembebasan Rakyat.) Tokoh yang tak cepat tampak di antara orang-orang ini -- karena tingginya hanya 147,5 cm, tergolong pendek untuk ukuran orang Asia pun -- dalam sejarah Cina berputar bagaikan roda. Sekali di bawah, sekali di atas. Pada 1953 ia dipercaya menjadi menteri keuangan. Bahkan kemudian, pada 1956, ia terpilih menjadi anggota komite tetap Politbiro dan sekretaris Komite Sentral. Tapi jabatan itu harus ia lepaskan karena barisan Pengawal Merah pun menyeret Deng sebagai "musuh revolusi". Namanya direhabilitasi pada 1974. Tapi dua tahun kemudian ia tersingkir lagi karena dituduh sebagai "pemilih jalan kapitalis". Setahun kemudian ia ditarik dalam lingkaran para elite politik lagi, dan pada 1981 ia menduduki kursi ketua Komisi Militer Pusat Komite Sentral Partai jabatan yang secara defacto merupakan pemimpin tertinggi di Cina. Ada anekdot berkenaan dengan tubuhnya yang pendek. Dalam sebuah sidang Politbiro 1975, Mao Zedong meminta, siapa yang tak setuju kepada gagasannya yang baru ia utarakan agar berdiri. Tak seorang pun melepaskan pantatnya dari kursi, kecuali Deng. Tapi, kata Mao sambil memandang dingin kepada Deng, "Karena saya tak melihat ada yang berdiri, berarti gagasan saya diterima bulat-bulat." Sebenarnya Mao mengagumi Deng sebagai seorang kader yang baik. Si penggerak Revolusi Kebudayaan itu pernah memuji Deng di hadapan Khrushchev: "Orang kecil itu punya masa depan yang besar." Padahal, pemimpin Uni Soviet itu cenderung mengabaikan Deng. Konon, Mao jatuh hati pada Deng sejak Long March (Perjalanan Panjang). Bukan karena Deng waktu itu menjadi politikus piawai atau seorang tentara jagoan, melainkan karena masakannya enak. Sichuan, tempat lahir Deng, memang dikenal sebagai daerah yang sedap makanannya. Toh pujian Mao tak membuat Deng (dan keluarganya) selamat dari gilasan Revolusi Kebudayaan (lihat Deng Bagai Jarum dalam Kapas). Mao kemudian merasa tersinggung. Deng sering mengambil tindakan sendiri tanpa berkonsultasi dengan Pemimpin Revolusi. Istri Mao, Jiang Qing, pun sangat tak suka pada tokoh yang suka merecoki ini. Ia menjuluki Deng sebagai "pemilih jalan kapitalisme" -- kata-kata yang senilai dengan kutukan di zaman Revolusi Kebudayaan. Untunglah, Deng tak lenyap oleh Revolusi Kebudayaan, meski ia harus menyaksikan seorang anaknya disiksa Pengawal Merah. Sebagai manusia, oleh sejumlah pengamat Deng dinilai tidak ramah. Boleh jadi, prinsipnya "taat pada aturan main" membuat tokoh ini lebih dianggap sebagai sejawat yang baik daripada sahabat. Ia lebih banyak dikagumi daripada dicintai. Tapi apa pun kata orang, tokoh negeri komunis yang anak seorang tuan tanah ini -- demikianlah dugaan keras para pengamat Cina -- dianggap penyelamat Cina dalam era pasca-Mao. Program Empat Modernisasi Cina yang ia gelindingkan pada 1978 di depan sidang Komite Sentral Partai membawa sedikit kemakmuran, setidaknya untuk sejumlah orang. Program yang meliputi pertanian, industri, pertahanan, dan ilmu & teknologi itu sedikit banyak membawa suasana lain. Misalnya saja, petani dibebaskan menanam pilihan mereka sendiri. Dan setelah mereka memenuhi jatah -- sebagian hasil pertanian memang masih harus dijual kepada pemerintah -- boleh menjual sisanya ke pasar bebas. Dampak negatifnya memang ada. Yakni para petani lebih suka menanam tanaman yang hasilnya laku dijual. Dalam bidang pertahanan, industri senjata Cina semakin maju. Beberapa waktu lalu negeri yang masih dijuluki "Tirai Bambu" ini menjual sejumlah peluru kendali ke negeri Arab. Yang belum tampak jelas hasilnya adalah bidang industri meski kerja sama antara Cina dan luar negeri, misalnya Amerika Serikat, sudah berjalan. Adapun yang diduga punya dampak yang tak enak adalah modernisasi di bidang ilmu dan teknologi. Salah satu pelaksanaan bidang ini adalah pengiriman mahasiswa ke berbagai universitas di Barat, terutama Amerika Serikat. Terbukanya mata mereka, menurut para pengamat Cina, meledakkan demonstrasi berdarah tahun lalu, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tiananmen. Masuknya modal asing, berdirinya perusahaan patungan, mengakibatkan alat komunikasi telepon dan faksimile dipakai cukup luas di Cina. Alat-alat itu kemudian dimanfaatkan oleh para mahasiswa yang lagi belajar di luar negeri untuk tukar-menukar informasi. Sementara itu, karena tak ada lagi larangan mendengarkan siaran radio luar negeri, mahasiswa di dalam negeri pun mengikuti perkembangan di luar Cina. Tukar-menukar info inilah tampaknya yang membangkitkan semangat demokrasi dan mendorong mahasiswa turun ke jalan. Tak cuma urusan politik. Sebenarnya yang paling dirasakan mahasiswa adalah hambatan korupsi yang merugikan mereka. Seorang dosen Cina di sebuah universitas, yang kemudian keluar dari Cina sehabis Peristiwa Tiananmen, bercerita bagaimana mahasiswanya harus membayar cukup mahal bila hendak praktek kerja. Pihak pabrik, tutur dosen itu, tak akan memberikan rekomendasi bahwa si mahasiswa sudah menjalankan praktek kerja dengan baik bila mereka tak disuap. Ditambah dengan kenyataan bahwa gaji para dosen dan profesor ternyata kalah jauh dibandingkan pendapatan para petani, ketidakpuasan dari kampus ini pun meledak keluar. Bila kemudian terjadi aksi penumpasan oleh tentara yang konon dikomando langsung oleh Deng -- waktu itu ia memang masih ketua Komisi Militer Pusat Komite Sentral Partai -- kabarnya Deng memang marah besar. Menurut majalah Time yang memilih Deng sebagai Man of the Year pada 1979, "Si Tubuh Pendek" ini memang emosional dan tak sungkan-sungkan membalas bila diserang. Wataknya inilah rupanya yang dipakai oleh kelompok "konservatif' dalam Komite Sentral Partai guna menumpas mahasiswa. Ada teori, seandainya Deng waktu itu mendapatkan informasi yang sebenarnya dituntut oleh mahasiswa, pengerahan Tentara Pembebasan Rakyat tak akan terjadi. Dalam pengamatan Nicholas Kristof, wartawan The New York Times Magazine, memang ada persaingan seru antara kelompok "konservatif' dan reformis guna menarik Deng ke pihaknya. Kelompok pertama terdiri dari, antara lain, Presiden Yang Shangkun dan Perdana Menteri Li Peng, yang kedua terdiri dari Sekretaris Jenderal Partai Zhao Ziyang dan kawan-kawannya. Sewaktu demonstrasi mahasiswa berlarut-larut, Zhao Ziyang, yang mencoba mendekati anak-anak muda, kemudian dipotong oleh kelompok "konservatif". Upaya kelompok Zhao memberikan informasi kepada Deng didahului oleh kelompok Yang Shangkun-Li Peng. Kontan Deng meledak, dan memerintahkan tentara menyerbu. Akibatnya, tak cuma sejumlah mahasiswa menjadi korban peluru dan gilasan tank, tapi Zhao pun tergusur dari kursinya. Meski ia tetap menjadi anggota Komite Sentral, pada sidang komite yang dimulai pekan lalu ia diminta agar tak hadir. Waktu itu banyak orang menduga Deng akan tersingkirkan oleh kelompok "konservatif" yang tampaknya di atas angin. Tapi tak percuma Mao menjulukinya sebagai orang yang punya masa depan. Deng ternyata masih tetap pemegang kendali. Bukan orangnya Yang Shangkun-Li Peng yang naik menjadi sekretaris jenderal partai, melainkan Jiang Zemin, ketua partai dan wali kota di Shanghai, yang nampaknya bisa diterima semua pihak. Jiang, ketika PM Li Peng mengumumkan penumpasan terhadap demonstran, adalah ketua partai di luar Beijing yang pertama mendukung keputusan itu. Tapi, sewaktu demonstrasi mahasiswa pun menjalar ke Shanghai, dialah pemimpin yang bisa mengatasi huru-hara tanpa peluru. Jiang melarang tentara masuk kota. Lagi, Deng menunjukkan kelihaiannya memilih orang. November tahun lalu, ketika ia mundur dari ketua Komisi Militer Pusat Komite Sentral, Jiang juga yang ditunjuk menggantikannya. Di tangan Jiang ia percayakan Empat Modernisasi Cina -- program yang banyak ditentang oleh kelompok "konservatif". Hingga pertengahan pekan lalu, belum jelas benar siapa akan duduk menjadi ketua Komisi Militer Pusat Negara. Banyak yang menduga Jiang juga bakal duduk di situ. Tapi bila demikian halnya, prinsip yang pernah ia uraikan di depan Komite Sentral pada 30 Maret 1979 disalahi Deng sendiri. Waktu itu Deng menganjurkan agar kekuasaan tak menumpuk di satu tangan. Kini Jiang Zemin adalah sekretaris jenderal partai dan ketua Komisi Militer Komite Sentral. Bila jabatan yang baru saja ditinggalkan Deng jatuh ke tangan dia lagi, berarti kekuasaan Jiang memang sangat besar. Tapi hal itu memang bukannya tak mungkin. Musuh-musuh Jiang banyak. Yang utama adalah Li Peng, yang didukung oleh kelompok "konservatif". Perdana Menteri itu punya ambisi menjadi ketua partai. Selama Deng masih hidup, meski ia tak menjabat apa pun, kemungkinan Li Peng menang memang kecil. Tapi besar kemungkinan akan terjadi perebutan kekuasaan begitu Deng meninggal. Bisa jadi, bila memang benar kursi Deng terakhir diwariskan kepada Jiang, memang untuk menyelamatkan Jiang (dan Empat Modernisasi Cina). Seorang pengamat Cina mengatakan bahwa Deng tak bisa dihalangi. Ia suatu ketika pernah sesumbar, "Saya seorang revolusioner kawakan. Badai mana yang tak pernah kulalui? Dunia mana yang tak pernah kuhadapi?" Dalam diri Jiang rupanya ia menaruh harapan, setelah ia harus menggeser Zhao Ziyang yang semula ia harapkan jadi penggantinya. Tapi mampukah Jiang? Yang dihadapi Cina kini memang terutama soal ekonomi. Cadangan devisa yang melorot (dari US$ 17,4 milyar menjadi hanya US$ 10 milyar tahun lalu). Laju inflasi yang mencapai 30%. Dan utang sebesar US$ 9 milyar jangka pendek plus US$ 44 milyar jangka panjang. Tapi, sebagaimana yang terjadi di Tiananmen, pembaruan ekonomi tanpa didukung pembaruan politik sama halnya menekan kebocoran di lubang satu untuk memperbesar tekanan pada lubang yang lain. Apalagi kini, ketika negeri-negeri sosialis ganti jalur, godaan untuk meninggalkan sosialisme sangat besar. Mungkinkah Jiang Zemin akan terpaksa melenceng dari doktrin yang sudah diletakkan oleh Deng? Bahwa Empat Modernisasi harus dijalankan di jalan sosialisme? Bila Deng, yang dipercaya masih akan punya wibawa besar meski di belakang layar, meninggal, segalanya bisa saja terjadi. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus