Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selama tiga tahun pencarian, KPK seperti tak berdaya menangkap Harun Masiku.
Satuan tugas KPK rutin melaporkan perkembangan pengejaran Harun Masiku kepada pimpinan KPK.
Surat perintah penangkapan Harun Masiku masih berlaku hingga kini.
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi belum juga mampu menangkap Harun Masiku sejak ia menghilang di sekitar kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), di Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta Selatan, pada 8 Januari 2020. Selama tiga tahun pencarian, KPK seperti tak berdaya menangkap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Kontroversi Harun Masiku
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menduga ada banyak intervensi sehingga KPK kesulitan menangkap buron kasus suap terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum 2017-2022, Wahyu Setiawan, itu. Intervensi tersebut terlihat sejak awal operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu.
"Sejak tim penyidik mengejar Harun Masiku, diduga ada intervensi dari pihak eksternal dan arahan pimpinan KPK yang justru membuat proses penangkapan tidak lancar," kata Zaenur, Rabu, 9 Agustus 2023.
Zaenur berpendapat semestinya KPK tidak kesulitan menangkap Harun. Sebab, KPK mempunyai teknologi pelacakan yang mumpuni dan berpengalaman menangkap buron. Zaenur mencontohkan penangkapan Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, yang saat itu menjadi tersangka korupsi wisma atlet, di Cartagena, Bogota, Kolombia, pada 7 Agustus 2011.
"Mengapa Harun Masiku bisa lolos dan keluar-masuk Indonesia tidak terlacak? Apakah pimpinan KPK yang sekarang tidak mampu atau tidak mau?" ujar Zaenur. "Kalau tidak bisa menangkapnya, minta bantuan saja ke kepolisian yang menyatakan tersangka ada di Indonesia."
Ketua IM57+ Institute, Mochamad Praswad Nugraha, sependapat dengan Zaenur. Mantan penyidik KPK ini menilai pimpinan KPK memang terkesan tidak serius menangkap Harun. Ia juga menduga Harun dilindungi sejumlah pihak.
"Harun seperti ada yang melindungi. Sudah banyak indikasinya. Salah satunya insiden di PTIK itu," kata Praswad.
Harun menjadi salah satu target OTT tim KPK pada awal Januari 2020. Saat itu KPK terbagi dalam beberapa tim operasi penangkapan. Tim yang hendak menangkap Harun sudah membuntuti pria kelahiran 21 Maret 1971 itu ketika kembali ke Tanah Air dari Singapura, satu hari sebelum OTT.
Harun sempat terpantau berada di apartemen Thamrin Residence, tempat tinggal yang disewanya. Esok harinya, menjelang magrib, ia terpantau lagi berada di depan Grand Cafe, lantai 3 Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat. Setengah jam kemudian, Harun merapat ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, untuk bertemu dengan Nurhasan, penjaga kantor DPP PDIP. Mereka lantas mengarah ke kawasan Jalan Tirtayasa Raya, Jakarta Selatan.
Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Krishna Murti didampingi juru bicara KPK, Ali Fikri, memberikan keterangan kepada awak media seusai melakukan pertemuan tertutup dengan pimpinan KPK, di Gedung Komisi Pemberantasn Korupsi, Jakarta, 8 Agustus 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Berbeda dengan Harun, tim KPK lainnya berhasil menangkap Wahyu, Saeful Bahri, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, dan empat orang lainnya dari pihak swasta. Saeful adalah kader PDI Perjuangan dan Agustiani Tio merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu. Keempatnya lantas ditetapkan sebagai tersangka. Kecuali Harun, kasus mereka sudah berkekuatan hukum tetap. Wahyu divonis 7 tahun penjara, Saeful 1 tahun 8 bulan penjara, dan Agustiani 4 tahun penjara.
Wahyu terbukti menerima suap dalam pengurusan penggantian antar-waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDIP di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I. KPU melakukan proses PAW karena Nazaruddin Kiemas, legislator PDIP, meninggal.
Meski berada di nomor urut enam perolehan suara calon legislator PDIP di dapil tersebut, DPP PDIP justru mengajukan Harun sebagai pengganti Nazaruddin. Namun hasil rapat pleno KPU memutuskan pengganti Nazaruddin adalah Riezky Aprilia, yang berada di nomor urut dua perolehan suara calon anggota DPR dari PDIP di Dapil Sumatera Selatan I setelah Nazaruddin.
PDIP sempat mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung agar bisa meloloskan Harun ke Senayan. Mereka juga bersurat ke KPU agar Harun ditetapkan sebagai pengganti Nazaruddin. Lalu Harun dan Saeful menyuap Wahyu hingga Rp 1 miliar untuk memuluskan rencana Harun sebagai pengganti Nazaruddin.
Nama Harun perlahan-lahan menghilang sejak operasi penangkapan itu. Nama dia kembali mengemuka setelah Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Inspektur Jenderal Krishna Murti, menyinggung dua buron KPK yang berada di luar negeri, yaitu Paulus Tannos—tersangka korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)—dan Harun, Senin lalu. Tannos sudah beralih kewarganegaraan menjadi warga Singapura.
Krishna menyebutkan Harun dikabarkan sempat bepergian ke Singapura pada 16 Januari 2020. Esok harinya, Harun kembali lagi ke Tanah Air. Namun kepolisian tidak memburu tersangka karena belum ada permintaan bantuan dari KPK. "Sementara itu, red notice baru keluar pada 30 Juni 2021," kata Khrisna.
Tiga sumber Tempo di KPK dan kepolisian membeberkan beberapa faktor yang membuat tim KPK kesulitan menangkap Harun. Yang paling nyata adalah pimpinan KPK diduga terlambat merespons setiap kali satuan tugas penyidikan kasus suap Wahyu menginformasikan jejak Harun. Padahal satuan tugas kasus suap itu rutin memberikan informasi. "Tim penyidiknya serius mengejar, tapi diduga ada kebocoran," kata seorang penegak hukum di KPK ini.
Penegak hukum lainnya menyebutkan pimpinan KPK sebenarnya sudah menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Harun beberapa hari setelah OTT. Surat perintah penangkapan itu masih berlaku hingga kini.
Berbekal surat perintah penangkapan tersebut, tim KPK memantau sejumlah lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian Harun, baik di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) maupun di Makassar dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Bahkan tim KPK sempat mendatangi rumah istri Harun, Hildawati, di Gowa. Namun mereka tak menemukannya di sana meski ada informasi tentang keberadaan Harun di rumah tersebut. "Bisa jadi informasinya keliru atau sudah bocor," ujar penegak hukum ini.
Kejanggalan lain di tingkat pimpinan KPK terjadi saat OTT terhadap Wahyu dan Saeful Bachri. Setelah operasi penangkapan, pimpinan KPK justru menyebutkan Harun berada di luar negeri ketika OTT berlangsung. Padahal tim KPK justru memantau keberadaan Harun di Jakarta.
Pernyataan pimpinan KPK itu selaras dengan penjelasan pihak Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun Tempo mendapat informasi berbeda. Harun tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 17.03 WIB menggunakan pesawat Batik Air. Kedatangan Harun terekam kamera pengawas bandara, yang salinannya diperoleh Tempo, di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta. Belakangan, pimpinan KPK ataupun Kementerian Hukum mengakui Harun memang berada di Indonesia ketika operasi penangkapan berlangsung.
Ketua KPK Firli Bahuri serta empat Wakil Ketua KPK, yaitu Alexander Marwata, Johanis Tanak, Nawawi Pomolango, dan Nurul Gufron, tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai perkembangan pengejaran Harun. Juru bicara KPK, Ali Fikri, juga tak merespons pertanyaan Tempo.
Setelah menggelar konferensi pers bersama Krishna Murti di KPK pada Senin lalu, Ali meminta masyarakat yang mengetahui keberadaan Harun untuk menginformasikannya ke KPK. "Kalau ada (informasinya), pasti kami tindak lanjuti," kata Ali. "Pencarian secara aktif pasti kami lakukan."
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto (tengah) dan ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat (kanan) seusai mengikuti pelaksanaan program Politik Cerdas Berintegritas Terpadu, di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
Nama Hasto di Kasus Suap Wahyu
Nama Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, disebut dalam persidangan Wahyu Setiawan dan Saeful Bahri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada 30 April 2020. Dalam sidang, Saeful mengatakan sempat berkomunikasi dengan Hasto setelah memberikan uang kepada Wahyu. Isi komunikasi mereka di antaranya mengenai laporan transaksi uang untuk Wahyu. "Saya di situ berkomunikasi sebatas laporan," kata Saeful.
Jaksa penuntut pada KPK, Ronald Worotikan, mengatakan komunikasi antara Hasto dan Saeful itu terjadi pada 16 Desember 2019. Dalam pesan WhatsApp itu, Hasto memberi tahu Saeful bahwa ada uang Rp 600 juta. Tapi Rp 200 juta di antaranya akan digunakan untuk uang muka "penghijauan".
"Kebetulan saat itu partai punya program penghijauan, kemudian Pak Hasto menugasi saya di situ," kata Saeful di pengadilan. Ia mengaku tak mengetahui asal-usul uang Rp 600 juta tersebut.
Hasto tidak menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai dugaan keterlibatannya dalam kasus suap terhadap Wahyu ini. Dalam berbagai kesempatan terdahulu, Hasto membantahnya.
Ketika memberi kesaksian lewat konferensi video dalam sidang kasus suap tersebut, Hasto membenarkan bahwa ia pernah mengirim pesan ke Saeful soal uang muka penghijauan. Uang itu akan digunakan untuk membuat lima kebun vertikal di kantor DPP PDIP. "Ada alokasi 600 dan 200 sebagai down payment, tapi belum terealisasi karena ada persoalan ini," kata Hasto.
IMAM HAMDI | RIRI RAHAYU | AKHMAD RIYADH (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo