Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam ilmu kedokteran, anjing dianggap memiliki risiko tinggi sebagai penular penyakit zoonosis, sehingga dagingnya tak aman dikonsumsi.
Risiko penyakit konsumsi daging anjing bukan hanya rabies, tapi juga kolera dan cacing yang dapat menyerang jantung.
Perdagangan daging anjing juga mengalami sederet praktik kekerasan.
Luka terlihat secara kasatmata pada leher dan kaki ratusan anjing itu. Cedera itu akibat tali yang menjerat mereka selama entah berapa hari saat diangkut dari Subang dan sekitarnya di Jawa Barat sebelum ditahan oleh polisi di pintu tol Kalikangkung, Semarang, pada Sabtu, 6 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 226 anjing itu hendak dikonsumsi ke Solo Raya, Jawa Tengah. Mereka ada yang hasil pengembangbiakan, anjing liar, dan ada juga anjing peliharaan yang diculik—terlihat dari kalung yang masih melingkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luka di luar, sakit di dalam. Vicky Kurniawan, dokter hewan relawan yang memeriksa 200-an anjing malang tersebut dan mendapati separuhnya kena diare. Puluhan di antaranya terinfeksi cacing pita. “Secara kesehatan, daging anjing memang tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi. Apalagi ini yang terjangkit beberapa penyakit berbahaya," kata Vicky kepada Tempo lewat telepon pada Jumat, 12 Januari 2024.
Aktivis satwa Christian Joshua Pale. Dok. Pribadi
Perdagangan daging anjing ini digagalkan berkat penelusuran aktivis satwa Christian Joshua Pale dan Kepolisian Resor Kota Besar Semarang. Itu merupakan operasi penggagalan perdagangan daging anjing terbesar. Sekitar 200 anjing itu lalu ditampung sementara di lokasi milik pabrik makanan anjing di Semarang. Saat ini, mereka dalam proses penyembuhan dengan tambahan konsumsi vitamin dan suntikan antikutu, dirawat oleh para relawan dari Animals Hope Shelter—lembaga pembela hak satwa yang berbasis di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
Vicky ikut merawat anjing tersebut setelah dihubungi oleh Dinas Peternakan Kota Semarang. Risiko kesehatan yang kerap ada pada anjing adalah rabies yang ditularkan lewat liur. Namun, Vicky melanjutkan, daging anjing juga berisiko terkontaminasi virus rabies. Rabies adalah penyakit yang menyerang otak serta sistem saraf dan bisa berujung kematian.
Vicky mendapati puluhan anjing yang terinfeksi cacing dalam sistem pencernaannya. Dia mengatakan banyak orang meyakini cacing yang kerap ada pada anjing mati saat dagingnya dimasak. Padahal, dia melanjutkan, cacing-cacing tersebut sekadar dorman. "Hanya tidur sementara, sehingga masih ada bakteri yang bisa membelah dan berkembang di perut manusia," ujar Vicky. "Kalau dikonsumsi, bisa diare berkepanjangan.”
Serangan cacing bisa menyebar dengan cepat antar-anjing, misalnya lewat pakan yang tercemar feses.
Risiko dan bahaya konsumsi daging anjing itu tak disadari oleh banyak orang. Sebagian masyarakat Solo, daerah tujuan truk pengangkut anjing itu, menganggap daging anjing seperti jamu yang bisa menambah stamina tubuh. "Entah mereka dapat dari mana karena tidak terbukti," kata Vicky. Melihat fenomena ini, dia meminta pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang perdagangan anjing untuk dikonsumsi.
Pendiri Animals Hope Shelter, Christian Joshua Pale, mengatakan selama ini para penikmat daging anjing dibodohi. Sebab, sebagian besar dari 200-an anjing yang diselamatkan itu tak sehat. "Dari kotoran, terlihat ada yang terkena cacing jantung," kata dia. Juga dikenal dengan heartworm, cacing jantung (Dirofilaria immitis) adalah parasit yang menyerang jantung dan paru-paru serta dapat mematikan anjing dan kucing. "Artinya, sangat tak layak dikonsumsi." Kemarin, satu dari 226 anjing malang itu mati dengan diagnosis kadar gula darah rendah, sel darah putih rendah, dan terdapat bakteri protozoa di pencernaannya.
Anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Jateng 1 memeriksa dan mengobati kesehatan anjing yang diselamatkan dari kasus penyelundupan saat dirawat di Animals Hope Shelter Indonesia, Semarang, Jawa Tengah, 9 Januari 2023. ANTARA/Aji Styawan
Menurut Christian, setelah sekian hari di penampungan sementara, sebagian besar anjing itu mulai ceria. Meski ada juga sebagian yang menunjukkan gejala traumatis. "Mungkin karena banyaknya siksaan yang mereka alami," ujar Christian.
Christian mengatakan sebagian anjing mengalami luka bernanah. Ada juga yang memiliki luka terbuka hingga tulangnya terlihat. Luka tersebut berbeda dari luka di leher yang akibat jeratan. Luka ini, dia melanjutkan, kemungkinan akibat perlakukan kasar saat penculikan atau pengangkutan. "Terlihat bekas diseret di benda kasar, kemungkinan aspal," katanya.
Christian mengecam perlakuan barbar pedagang dan penjagal anjing. Siksaan yang didapati anjing sejak diculik itu berujung pada rumah jagal. Anjing dibunuh dengan hantaman benda tumpul di kepala. Selanjutnya, kadang dalam keadaan sekarat, mereka dibakar untuk menghilangkan bulunya. “Ini kan jahat sekali,” ujar dia.
Secara terpisah, dokter ahli gizi klinik Elfina Rachmi mengatakan, secara ilmu kedokteran, daging anjing memang tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi. “Sebab, risiko infeksius penyakit zoonosisnya termasuk yang paling tinggi," kata Elfina.
Dokter yang di antaranya praktik di RS Persahabatan, Jakarta Timur, ini mengatakan anjing tak hanya kerap terinfeksi virus rabies, tapi juga bakteri Salmonela dan kolera. Kedua jenis bakteri itu bisa menyerang sistem pencernaan manusia.
Sudahlah virus dan bakteri, anjing juga rentan terkontaminasi parasit seperti cacing. Contohnya cacing jantung, seperti yang didapati pada feses di lokasi penampungan 226 anjing yang diselamatkan di Semarang tersebut. Elfina mengatakan, seperti namanya, heartworm bisa menimbulkan peradangan pada otot jantung dan berujung pada kematian.
Menurut Elfina, panas pada proses memasak tidak mengurangi risiko penularan berbagai penyakit zoonosis tersebut. "Maka sangat tidak aman untuk dikonsumsi."
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo