Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ULTIMATUM itu disampaikan Presiden Joko Widodo sehari setelah peristiwa tearor bom tiga gereja di Surabaya. Presiden meminta Dewan Perwakilan Rakyat segera menuntaskan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Kalau Juni belum selesai, saya akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang," ujar Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut anggota panitia kerja RUU Antiterorisme, Arsul Sani, pembahasan revisi aturan tersebut sebenarnya tinggal menyisakan definisi terorisme. "Perkara definisi ini sempat membuat rapat macet pada April lalu," ucap Arsul, yang juga Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat 17 April 2018, panitia kerja memberi catatan khusus pada definisi terorisme. Menurut dokumen risalah rapat itu, terorisme dimaknai sebagai tindakan kekerasan dengan tujuan membuat teror yang merusak obyek vital, lingkungan hidup, dan fasilitas publik.
Seorang legislator yang ikut menjadi panitia kerja RUU ini menceritakan, ada beberapa anggota Dewan yang tak sepakat dengan definisi tersebut. Mereka ingin membubuhkan frasa "membahayakan keamanan negara" dalam rumusan definisi terorisme. "Frasa itu adalah pintu masuk tentara dalam menangani terorisme," katanya.
Salah satu politikus mengaku pernah dilobi polisi agar frasa "membahayakan keamanan negara" tak masuk definisi terorisme yang baru. "Mereka menghendaki definisi yang tawar," ujar anggota Komisi Hukum ini.
Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan tentara harus dilibatkan dalam penanggulangan terorisme, yang selama ini menjadi wilayah Kepolisian RI. Ia beralasan keikutsertaan TNI tersebut sesuai dengan tugas pokok TNI. "Sebagai penindak dan pemulih, tentunya kami memiliki kewajiban untuk juga ikut serta dalam kaitan penanggulangan teroris," kata Hadi.
Pelibatan tentara dalam penanganan terorisme kerap dikaitkan dengan isu rivalitas TNI dan Polri. Setelah menjadi lembaga terpisah, kedua instansi ini kerap menunjukkan rivalitas di berbagai bidang. "Padahal semangat pemisahan Polri adalah menjadikan tentara dan polisi sebagai prajurit yang profesional," ujar Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional. Agus menjabat Kepala Staf Teritorial TNI saat reformasi 1998 dan pensiun dengan pangkat letnan jenderal.
Kiki Syahnakri, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat, mengatakan pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia setelah reformasi didorong oleh perkembangan sistem pertahanan di dunia. Menurut dia, tak ada satu pun kepolisian di dunia yang menginduk pada tentara. "Polisi berfokus menjadi bagian dari sistem penegakan hukum pidana," kata Kiki. "Adapun tentara mengurusi pertahanan dan keamanan negara."
Setelah terpisah, menurut Kiki, persaingan dua institusi itu tak sepenuhnya padam, bahkan kerap menyulut konflik. Pasalnya, TNI-Polri sama-sama merasa lahir dari perang gerilya. "Benih-benih militer ada di dalam tubuh TNI dan Polri," ujarnya.
Gesekan polisi dengan tentara juga kerap terjadi. Salah satunya terjadi dalam kasus sengketa lahan tambang yang melibatkan SILO Group dan PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) di Pulau Laut, Kalimantan Selatan.
PT MSAM, yang bergerak di industri kelapa sawit, mulai menanami kebunnya pada pertengahan tahun lalu. Area tanam mereka merambah lahan tambang batu bara milik SILO. "Mereka menanam kelapa sawit dengan dikawal pasukan Brimob Polri pada malam hari," kata Soenarko, Direktur Utama SILO, April lalu.
Keterlibatan polisi saat penanaman sawit membuat SILO meradang. Grup usaha itu lalu mencari cantolan ke tentara. Soenarko, bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, menjadi bos SILO selang tiga bulan setelah polisi mengawal penanaman sawit MSAM.
Masuknya Soenarko ke SILO diikuti penekenan kerja sama dengan Koperasi Kopassus, Koperasi Kostrad, dan Koperasi Komando Daerah Militer VI Mulawarman. Kongsi tersebut membuat tentara berhadap-hadapan langsung dengan polisi di area yang disengketakan. Soenarko menugasi pasukan Kopassus membuat jalan dan membangun mes. Personel Kopassus juga dilibatkan dalam kegiatan operasi intelijen. "Itu untuk kesejahteraan prajurit," ujar lulusan Akademi Militer 1978 ini.
Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Brigadir Jenderal Rachmat Mulyana mengatakan polisi memang pernah menjaga perkebunan PT MSAM, yang dimiliki Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Tapi Rachmat membantah kabar bahwa ia membekingi perusahaan Syamsuddin. "Siapa pun yang meminta pengawalan, kami layani sesuai dengan prosedur," ucap Rachmat.
Hubungan tentara dan polisi juga sempat menghangat tatkala Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, menuding ada institusi di luar militer yang akan membeli 5.000 pucuk senjata militer ilegal. "Data intelijen kami kuat," kata Gatot, Oktober tahun lalu.
Selang beberapa pekan setelah tuduhan Gatot, ada paket pelontar granat dari Bulgaria mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, dan Murad Ismail, mantan Komandan Korps Brigade Mobil yang kini menjadi calon Gubernur Maluku, membenarkan kiriman senjata itu milik Polri, yang akan digunakan untuk memelihara keamanan. "Apa yang kami impor sudah sesuai dengan manifes dan saya yang meneken untuk ditujukan ke Bais TNI," ujar Murad.
Tak hanya di tingkat elite, perselisihan TNI dengan Polri juga sering merembet ke lapangan. Imparsial, lembaga yang mengkaji urusan hak asasi manusia, mencatat bentrokan tentara dengan polisi seusai reformasi mencapai lebih dari 200 kasus. Rentetan insiden itu menewaskan sedikitnya 20 prajurit TNI ataupun kepolisian.
Bentrokan hebat tentara dan polisi yang terakhir terjadi di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pada Agustus 2015. Peristiwa itu dipicu oleh tertembaknya personel TNI Angkatan Udara, Prajurit Dua Yuliadi, di arena balap sepeda motor.
Insiden itu memicu pembakaran sejumlah sarana dan prasarana Korps Bhayangkara, antara lain pos polisi di Palippis, mobil Kepolisian Resor Polewali Mandar, dan enam sepeda motor dinas kepolisian. Dua polisi terluka.
Konflik tentara dengan polisi, menurut Kiki Syahnakri, sering dipicu oleh porsi anggaran yang jomplang. Memang pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, anggaran pertahanan sebesar Rp 107,7 triliun merupakan yang terbesar di antara kementerian lain. Namun kuota itu harus dibagi antara Kementerian Pertahanan dan TNI. Sementara itu, alokasi untuk Polri sendiri mencapai Rp 95 triliun. "Isu kesejahteraan menjadi sangat sensitif," ucap Kiki, yang menjabat Asisten Operasi Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat reformasi 1998.
Sidarto Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, menjelaskan bahwa konflik tentara dan polisi setelah reformasi tak bisa lepas dari faktor kesejahteraan. "Polisi dan tentara kita belum digaji dengan layak," kata Sidarto, mantan anggota panitia khusus Undang-Undang TNI dan Kepolisian.
Menurut Sidarto, fokus pemerintah setelah reformasi masih berkutat pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat program pendidikan dan kesehatan. Sementara itu, upah bagi prajurit TNI dan Polri masih belum mendapat perhatian khusus. "Suatu hari gaji polisi dan tentara akan layak sehingga konflik di lapangan bisa teratasi," ujar Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat 1988-1991 ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo