Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JENDERAL Abdul Haris Nasution menyampaikan pidato berapi-api di hadapan taruna Akademi Militer Nasional di Magelang pada 1958. Dalam pidatonya, ia mengatakan tak ingin tentara Indonesia seperti prajurit Amerika Latin yang menjadi kekuatan politik. "Kita juga tak mau meniru model Eropa Barat atau contoh Eropa Timur di mana tentara menjadi alat mati pemerintah," ujar Nasution, dikutip dari buku Malam Bencana 1965.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pidato itu ditawarkan Nasution sebagai "jalan tengah" peran tentara kepada Presiden Sukarno. Belakangan, ketika rezim Orde Baru berkuasa, konsep Nasution itu diterjemahkan menjadi Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tentara menjadi bagian dari alat pertahanan sekaligus bisa berpolitik praktis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soeharto menerjemahkan Dwifungsi ABRI itu sebagai campur tangan militer di segala bidang kehidupan. Masih dalam buku Malam Bencana 1965, Soeharto menjelaskan persoalan keamanan bukan sekadar gangguan bersenjata. "Melainkan sebagai penolak bahaya rongrongan ideologi, subversi, kerusakan mental, dan kebudayaan," kata Soeharto ketika itu.
Tafsir Soeharto pada Dwifungsi, menurut Nasution, tak sesuai dengan konsep yang ia gagas pertama kali. Menurut jenderal asal Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu, tentara yang terlalu dominan justru bisa menimbulkan ketimpangan politik. Bahkan Nasution secara terbuka mengkritik doktrin kekaryaan yang menjadi legitimasi tentara menduduki jabatan sipil saat memberi kuliah di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat pada 1969.
Nasution sendiri sempat menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, jabatan politik ketika Sukarno masih berkuasa. Setelah itu, jenderal Angkatan Darat ini menduduki sejumlah posisi penting di sektor politik sampai bisnis. Wakil Soeharto selama 32 tahun memerintah pun hanya Adam Malik dan Bacharuddin Jusuf Habibie yang bukan tentara. Selebihnya, dari Sultan Hamengku Buwono IX, Umar Wirahadikusumah, Soedharmono, sampai Try Sutrisno adalah jenderal Angkatan Darat.
Bukan hanya Nasution, di sektor bisnis, Soeharto juga menugasi Letnan Jenderal Ibnu Sutowo mengurusi Pertamina. Sepeninggal Ibnu, bos perusahaan minyak negara itu dijabat Mayor Jenderal Piet Harjono.
Para perwira militer juga menduduki posisi kunci pemerintahan, dari wali kota, gubernur, sampai duta besar. Dwifungsi ini yang dituntut mahasiswa untuk dicabut saat reformasi 1998.
Tak sekadar menguasai pucuk perusahaan pelat merah, bisnis tentara di era Soeharto juga berserak. Lewat Yayasan Kartika Eka Paksi, tentara sempat punya maskapai penerbangan Sempati Air. Perusahaan ini tutup ketika krisis moneter 1998. Pada 2005, yayasan ini menjual kepemilikan sahamnya di Bank Artha Graha.
Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat Kiki Syahnakri mengatakan reformasi 1998 membuat tentara ikut berbenah. Selain meninggalkan gelanggang politik, pembenahan di TNI merambah sektor bisnis. "Sempat tercetus pelepasan semua bisnis TNI," ucap Kiki.
Setelah reformasi, tentara hanya diizinkan mengelola koperasi. "Unit bisnis ini satu-satunya yang sekarang menopang kesejahteraan prajurit," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo