Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ironi Enam Tuntutan

DUA puluh tahun lalu, mahasiswa mengajukan enam agenda perubahan, yang kemudian dikenal sebagai ”Enam Tuntutan Reformasi”.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ironi Enam Tuntutan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA puluh tahun lalu, mahasiswa mengajukan enam agenda perubahan, yang kemudian dikenal sebagai ”Enam Tuntutan Reformasi”. Ada sejumlah versi tuntutan yang disuarakan pada pengujung zaman Orde Baru itu. Di antaranya berisi tuntutan agar mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, pencabutan dwifungsi ABRI, pers yang bebas, penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, amendemen konstitusi, dan otonomi seluas-luasnya. Dua puluh tahun kemudian, sebagian tuntutan memang terwujud, tapi sebagian lainnya melahirkan ironi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kembalinya Trah daripada Soeharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hutomo Mandala Putra berniat menghidupkan lagi cita-cita Soeharto lewat Partai Berkarya. Mengusung Trilogi Pembangunan ala Orde Baru.

SEBELAS Maret 2018 sengaja dipilih Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto untuk resmi memimpin Partai Berkarya. Pada tanggal itu, Berkarya menggelar rapat pimpinan nasional di Surakarta. "Ini bertepatan dengan momentum Soeharto menerima mandat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Sukarno, 52 tahun lalu," kata Badaruddin Andi Picunang, salah seorang Ketua Partai Berkarya, akhir April lalu.

Menurut Andi, Presiden RI kedua itu memang daya tarik partainya. Sosok Soeharto kini menitis pada Tommy, anak kelimanya. Andi menyebut Tommy sebagai "Pangeran Cendana".

Sebelum menjabat ketua umum, Tommy menduduki dua posisi penting di Berkarya, yakni ketua majelis tinggi dan ketua dewan pembina. "Sebagai ketua majelis tinggi, Pak Tommy memiliki hak veto dalam pengambilan keputusan partai," ujar Andi. Sebelum diambil alih Tommy, jabatan ketua umum dipegang Neneng A. Tuty.

Berkarya menjadi kendaraan politik "betulan" Tommy. Partai ini menjadi peserta Pemilihan Umum 2019. Walau baru pertama kali ikut pemilu, Berkarya berambisi lolos ke parlemen dengan meraih kursi sebanyak mungkin. Andi Picunang menargetkan partainya mendapat 78 dari 575 kursi yang tersedia di Dewan Perwakilan Rakyat pada 2019 atau sekitar 13 persen.

Sebelum memimpin Berkarya, Tommy berjaket Golkar. Menurut Tommy, ia hengkang dari Golkar karena partai tersebut sudah melenceng dari semangat pendirinya. "Saya terlibat di Berkarya untuk meluruskan itu. Partai Berkarya ini membawa semangat asli Golkar," ujarnya.

Masuknya Tommy ke Berkarya agak berkelok. Mulanya adalah kekecewaan sejumlah politikus Golkar, di antaranya Ahmad Goesra, Ourida Seskania, Muhammad Amin Luther, Hasanuddin, dan Andi Picunang sendiri. Mereka pengurus Golkar hasil musyawarah nasional di Ancol, Jakarta Utara, dengan Ketua Umum Agung Laksono. Mereka masygul karena terlempar dari Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar di Bali pada 14-16 Mei 2016 untuk mengislahkan kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie.

Andi dan kawan-kawan meluapkan kekesalan itu dengan menggagas pembentukan partai baru. Berkali-kali mereka menggelar pertemuan di sejumlah hotel di Jakarta sampai akhirnya menyepakati tiga opsi nama partai, yaitu Golkar Indonesia, Golkar Pembaharuan, dan Golkar Perjuangan. Nama Golkar tetap ditempelkan untuk membawa "semangat" Golkar di partai yang baru.

Ketika mereka berkonsultasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pejabat Kementerian menganjurkan tidak memakai tiga nama tersebut karena identik dengan Golkar, yang sudah terdaftar memiliki badan hukum. Kementerian menyarankan mereka menggunakan partai lain yang juga sudah berbadan hukum agar pembentukannya lebih mudah.

Dari situlah Andi bergerilya melobi partai-partai lama, di antaranya Partai Nasional Republik. Partai ini adalah jelmaan Partai Serikat Indonesia dan berdiri pada 5 Juni 2012. Sebelum bertemu dengan Nasional Republik, Andi dan 13 politikus Golkar lainnya mendeklarasikan berdirinya Partai Beringin Karya di Hotel Sahid, Jakarta, pada 13 Mei 2016. Bekas Komandan Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia, Syamsu Djalal, didapuk sebagai ketua umum. Sedangkan Andi sebagai sekretaris jenderal.

Walau anggota Golkar, Tommy juga menjabat Ketua Dewan Pembina Nasional Republik. Di partai ini, Neneng A. Tuty berposisi sekretaris jenderal. Dalam pertemuan awal dengan Andi pada Mei 2016 untuk membicarakan penggabungan partai, Neneng mematok syarat: Tommy Soeharto menjadi ketua umum partai baru.

Pembicaraan selanjutnya melibatkan lebih banyak pengurus kedua partai, termasuk Tommy. Mereka berkali-kali berdiskusi di berbagai tempat, antara lain di kantor perusahaan Tommy, di Gedung Granadi, Jakarta Selatan. Diskusi tersebut melahirkan nama baru partai atas usul Tommy, yaitu "Berkarya", yang lebih ringkas daripada Beringin Karya. "Kami juga sepakat susunan pengurus diambil dari kedua partai," ujar Andi.

Sebelum menyusun komposisi pengurus, atas nama partai, Syamsu Djalal dan Andi menyurati Tommy pada 1 Juli 2016. Mereka meminta Tommy menjadi ketua umum partai seperti yang diminta Neneng di awal. Ketika dimintai konfirmasi, Tommy menampik ada surat-menyurat antara dia dan para inisiator Berkarya serta membantah ada kesepakatan itu. "Buktinya, baru sekarang saya menjadi Ketua Umum DPP Partai Berkarya," katanya di Jambi, Rabu dua pekan lalu.

Andi mengatakan memang tidak ada balasan surat dari Tommy atas permohonan itu. Lewat Neneng, Tommy menyatakan saat itu belum bersedia memimpin partai tersebut. Meski begitu, dalam susunan pengurus yang disetor ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Juli 2016, Tommy dicantumkan sebagai ketua majelis tinggi dan ketua dewan pembina. Hingga akhirnya, pada 11 Maret lalu, Tommy menjadi Ketua Umum Berkarya.

Menurut Andi, kelak Berkarya tidak hanya menjadi kendaraan Tommy, tapi juga wadah bagi anggota Keluarga Cendana yang ingin berkecimpung di politik. Anggota Keluarga Cendana yang sudah terdaftar sebagai anggota adalah Haryo Putra Nugroho Wibowo, cucu Sigit Harjojudanto, anak kedua Soeharto. Andi mengatakan Berkarya sudah meminta seluruh Keluarga Cendana ikut bergabung.

Setelah Soeharto lengser pada 1998, kiprah politik anak-anak Cendana tercerai-berai. Siti Hardijanti Rukmana, misalnya, keluar dari Golkar dan membentuk Partai Karya Peduli Bangsa pada 2002. PKPB meraih dua kursi di parlemen hasil Pemilu 2004. Tapi, pada 2009, partai ini gagal melaju ke Senayan. Sedangkan Siti Hediati Harijadi alias Titiek bertahan di Golkar dan kini menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Tiga saudara Tommy yang lain, yakni Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, dan Siti Hutami Endang Adiningsih, tak tampak beraktivitas politik. Walau dekat dengan Keluarga Cendana, Andi menyerahkan urusan lobi menggaet anak-anak Soeharto masuk Berkarya kepada Tommy. Andi meyakini bergabungnya mereka akan menarik lebih banyak lagi pendukung Soeharto yang tiarap setelah era reformasi.

Awal reformasi adalah masa suram Keluarga Cendana. Mereka terlempar dari Golkar, partai yang dibesarkan Soeharto. Tommy bahkan sempat berurusan dengan persoalan hukum. Ia dipidana dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita pada 6 Juli 2001.

Syafiuddin adalah ketua majelis hakim yang menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada Tommy dalam perkara tukar guling aset Badan Urusan Logistik dan PT Goro Batara Sakti pada September 2000. Selain dihukum penjara, ia mesti membayar ganti rugi Rp 30 miliar. Dalam perkara pembunuhan Syafiuddin, Tommy dihukum 10 tahun bui. Ia bebas pada 2006 setelah mendapat pemotongan masa hukuman.

Tiga tahun setelah menghirup udara bebas, Tommy kembali ke kancah politik. Dalam Musyawarah Nasional Golkar di Pekanbaru pada 2009, Tommy maju sebagai calon ketua umum, bersaing dengan Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. "Inilah saat yang tepat kembali ke politik," kata Tommy ketika itu. Musyawarah Nasional Golkar memilih Aburizal.

Sementara Tommy terdepak, Titiek bergabung dengan kepengurusan Aburizal sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Golkar. Tommy kembali bertarung dalam Musyawarah Nasional Golkar di Bali pada Mei 2016 dengan mendukung Ade Komarudin sebagai ketua umum. Sebelumnya, Tommy didengung-dengungkan bakal mencalonkan diri. Setelah Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum, Tommy dan Titiek masuk kepengurusan periode 2016-2019.

Namun keberadaan Tommy dalam kepengurusan Setya tak lama. Tommy, yang kecewa terhadap Golkar yang diketuai Setya, segera mengiyakan ajakan Andi Picunang.

Dengan Keluarga Cendana di belakang, Berkarya tidak terlalu sulit menggerakkan roda partai. Markas Berkarya di Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, menumpang di kantor salah satu perusahaan Tommy. Menurut Neneng A. Tuty, Tommy juga menyumbangkan banyak atribut partai untuk dibagikan kepada pengurus di provinsi hingga kecamatan. Tapi ia menyebutkan pengurus juga merogoh kocek demi partai. "Kami urunan," katanya.

Dengan Tommy menjadi pemimpinnya dan keinginan partai itu menghidupkan lagi cita-cita Soeharto, Berkarya diberi cap sebagai "Partai Orde Baru" oleh sejumlah pihak. Andi tak gusar terhadap label itu. Bahkan Berkarya secara terang-terangan mengadopsi konsep Trilogi Pembangunan Orde Baru dalam visi-misinya, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan. "Kami yakin masih banyak fans Soeharto," ujar Andi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus