Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kue tart cokelat, sepiring nasi tumpeng putih, sepotong roti dan pisang, serta segelas air tertata rapi di tempat tidur Bernardinus Realino Norma Irmawan. Potret Wawan-nama panggilan Norma Irmawan-yang dibingkai tersandar pada bantal bersarung biru. "Hari ini Wawan genap 40 tahun," kata Maria Catarina Sumarsih, ibunda Wawan, Selasa pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawan meninggal di kampusnya, Universitas Atma Jaya Jakarta, pada 13 November 1998-yang lazim disebut tragedi Semanggi I. Dia termasuk mahasiswa korban penembakan aparat keamanan ketika Ibu Kota tengah bergolak diguncang arus reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu Sumarsih merayakan hari lahir putra pertamanya tersebut. Sebuah ritual yang ajek dilakoni perempuan 66 tahun ini selama empat dasawarsa terakhir. "Saya selalu menyiapkan ulang tahun Wawan," ujarnya kepada Tempo. "Sejak Wawan masih di dunia hingga saat ini, setiap ulang tahun di tempat tidur Wawan selalu ada tumpeng dan makanan lain."
"Wawan meninggal karena ditembak dengan peluru tajam standar ABRI di dada sebelah kiri mengenai jantung dan parunya," kata Sumarsih menirukan ucapan Budi Sampurna, dokter forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang mengautopsi jasad Wawan kala itu.
Sumarsih mengenang Wawan tak sebatas pada doa. Saban pagi, ia menyiapkan piring dan gelas di meja makan untuk mendiang putranya. Selesai makan malam bersama suaminya, Arief Priyadi, dan putrinya, Benedicta Rosalia Irma Normaningsih, ia mencuci piring, sendok, dan gelas Wawan. "Selesai doa pagi, saya minum airnya Wawan yang selalu ada di meja makan," ucapnya.
Di mata Sumarsih, keadilan atas kematian putranya masih jauh panggang dari api. Dua dasawarsa berlalu tapi penuntasan kasus Semanggi I makin redup. Sejak era Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie hingga Joko Widodo, pelaku lapangan dan dalang penembakan Wawan tak kunjung diadili. "Penyelesaian kasus diulur-ulur. Hanya janji-janji," ia berujar.
Sumarsih tak sendiri menghadapi resistansi rezim. Lasmiyati juga merasakan sulitnya mendapat keadilan bagi putranya, Heri Hartanto, yang tewas dalam tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Heri dan tiga rekannya sesama mahasiswa Universitas Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, dan Hendriawan Sie, menjadi korban penembakan dengan peluru tajam oleh tentara.
"Anak saya waktu itu ada di bawah tiang bendera di dalam kampus. Dia terkena tembakan dari belakang tembus ke jantung," kata Lasmiyati, Selasa pekan lalu. Menurut dia, negara seharusnya bertanggung jawab atas kematian empat mahasiswa Trisakti itu. "Saya cuma minta pemerintah mengakui bahwa aparat negara menembak anak kami dan meminta maaf."
Maria Sanu dan Iwan Firman, dua korban tragedi Mei 1998, juga menjalani penantian yang tak berujung. Maria kehilangan anaknya, Stevanus Sanu, 16 tahun, dalam kebakaran Yogya Plaza Klender (kini Citra Mall) pada 14 Mei 1998.
Adapun Iwan adalah penyintas kerusuhan Mei. Pria 58 tahun keturunan Cina ini nyaris tewas setelah dikeroyok dan dianiaya puluhan orang di depan Sekolah Teknik Mesin Poncol, Jakarta Pusat. "Bensin motorku diguyur ke tubuh aku dan dibakar," ujar Iwan.
Tragedi Semanggi I, Trisakti, dan Mei 1998 termasuk sembilan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini. Kasus lainnya adalah penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. Henry Basel, Koordinator Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta, mengatakan kasus penculikan aktivis prodemokrasi tersebut merupakan salah satu tuntutan mahasiswa sebelum tumbangnya rezim Soeharto. "Kami mempertanyakan korban penculikan dalam beberapa unjuk rasa di kampus," ucap Henry, yang ketika itu menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta.
Komnas HAM menggabungkan berkas penyelidikan tragedi Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti. Laporan tim penyelidikan yang dikeluarkan pada Maret 2002 itu menyatakan terdapat bukti-bukti awal yang cukup untuk menunjukkan telah terjadi pelanggaran berat HAM dalam ketiga tragedi tersebut. Pelanggaran itu antara lain pembunuhan, penganiayaan, dan penghilangan paksa secara terencana, sistematis, dan meluas. Komisi juga merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi tentara dan polisi pada masa itu.
Menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Komisi bersedia membantu apabila Kejaksaan Agung membutuhkan tambahan alat bukti atau keterangan saksi demi memperlancar penuntasan kasus. Jaksa Agung, dia menambahkan, bisa mengeluarkan surat kepada Komisi untuk melakukan penyidikan. "Jaksa Agung juga bisa membentuk tim penyidik yang melibatkan Komnas HAM," katanya.
Namun upaya Komisi tak mendapat sambutan hangat. Kejaksaan Agung, misalnya, beberapa kali mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM karena dinilai kurang lengkap. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dalam pernyataannya, 9 Januari lalu, menyarankan agar kasus pelanggaran hak asasi masa lalu dituntaskan lewat jalur nonyudisial. Prasetyo beralasan bahwa cara yudisial akan sulit diwujudkan karena kasusnya telah terjadi berpuluh tahun silam.
Sumarsih telah menempuh berbagai cara untuk mendapatkan keadilan bagi Wawan. Berbagai lembaga negara telah dia sambangi. Ia bertemu, berbincang, melobi, bahkan berkonfrontasi dengan pejabat dan politikus yang jumlahnya tak terhitung jari lagi. "Dulu waktu zaman Pak Habibie, jika kami ke departemen-departemen itu dihadang tentara dan polisi. Di pintu gerbang sudah dijaga ketat," ujarnya. "Semula kami mau audiensi, akhirnya jadi orasi dan demonstrasi."
Perempuan berambut perak ini hafal luar kepala aturan hukum dan nama-nama orang yang pernah ia ajak berinteraksi dalam upayanya mendorong penuntasan kasus Semanggi I. Dia, misalkan, mengingat Apollo Sinambela, kala itu menjabat Kepala Kepolisian Sektor Metro Gambir, Jakarta Pusat, yang mengubah tradisi Aksi Kamisan, unjuk rasa rutin setiap Kamis yang dilakukan keluarga korban pelanggaran hak asasi di depan Istana Merdeka sejak 18 Januari 2007.
"Sampai Juli 2007, kami masih membagi selebaran," kata Sumarsih. Lalu, pada suatu hari, Sumarsih berbincang dengan Sinambela, yang berada di lokasi aksi. "Ah Ibu, demo, demo. Demo itu cari perhatian, kan? Kalau cari perhatian cuma gitu-gitu saja, enggak ada yang merhatiin, Bu. Pakai surat ke presiden saja," ucap Sinambela, seperti ditirukan Sumarsih. Sejak itu, para peserta Aksi Kamisan rutin berkirim surat ke presiden.
Di kediamannya di daerah Meruya Selatan, Jakarta Barat, Senin dua pekan lalu, Sumarsih menunjukkan salinan surat-surat yang pernah dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo saban Aksi Kamisan, yang telah digelar 538 kali. Di antara ratusan surat itu, terselip selembar kertas bertulisan 13 nama Kepala Kepolisian Sektor Metro Gambir, dari Apollo Sinambela hingga Ida Ketut Gahanata.
Yati Andriyani, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, lembaga yang mendampingi korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi, menilai upaya untuk mendorong penuntasan kasus-kasus hak asasi makin berat di era Jokowi. Padahal Jokowi dalam Nawa Cita-nya menyatakan akan menyelesaikan pelanggaran hak asasi secara berkeadilan. "Presiden malah mengangkat Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan," ujarnya.
Menurut Yati, keputusan Jokowi itu menjadi masalah bagi para korban. Sebab, Wiranto adalah Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima Angkatan Bersenjata saat peristiwa pelanggaran hak asasi terjadi pada 1998. "Dia (Jokowi) secara vulgar dan tidak etis justru mengangkat orang-orang yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban," kata Yati.
Sumarsih menyesalkan keputusan Jokowi yang "mengembalikan" Wiranto di posisi yang sama seperti 20 tahun silam. "Sebagai orang tertinggi dalam kepemimpinan angkatan bersenjata, baik TNI maupun Polri, jelas dong Pak Wiranto tahu (peristiwa penembakan mahasiswa)," ujarnya.
Lasmiyati dan orang tua korban tragedi Trisakti lainnya bahkan pernah menemui Wiranto di rumah dinasnya pada Juni tahun lalu. Pertemuan yang difasilitasi oleh alumnus Universitas Trisakti itu berlangsung sekitar satu jam sejak pukul 09.00 dan diawali sarapan bersama. Kepada para orang tua korban, Wiranto menjanjikan bakal membicarakan penuntasan kasus Trisakti. "Akan saya bicarakan dengan Pak Jokowi," kata Lasmiyati mengulangi pernyataan Wiranto ketika itu.
Janji Wiranto tinggal janji. Hingga kini Lasmiyati tak pernah mendengar kabar dari pensiunan jenderal bintang empat itu. Bahkan Hira Tety Yoga, ibunda Elang Mulia Lesmana, telah keburu meninggal karena kanker, 25 Februari lalu, sebelum ia mengetahui kelanjutan pengungkapan pembunuhan putranya. "Gimana tindak lanjutnya, Wiranto enggak ada kabar beritanya," ujar Hira Tety sewaktu Lasmiyati menjenguknya di Rumah Sakit Dharmais, Desember tahun lalu.
Wiranto memilih irit bicara menanggapi penuntasan kasus pelanggaran HAM. "Nanti kita minta Jaksa Agung segera," katanya kepada wartawan Tempo, Friski Riana, di Istana Kepresidenan, Selasa pekan lalu. Pada 27 Juli 2016, saat dilantik menggantikan Luhut Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto juga pernah berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi masa lalu.
Maria Sanu tak berhenti berharap. Batalnya rencana pertemuan keluarga korban dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, 7 Desember 2017, tidak membuat semangatnya surut. "Kami hanya mempertanyakan penanganan kasus kami. Banyak keluarga korban yang sudah meninggal, kasusnya belum terselesaikan," ujar perempuan yang kerap ikut Aksi Kamisan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo