Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Riwayat Ieu Beuna Tanah Rencong

Aceh beberapa kali diterjang tsunami besar. Terekam pada sedimen berlapis di Gua Lhoong dan karang di Simeulue.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI jauh, wajah gua itu tersamarkan oleh rimbun dedaunan hijau dan semak belukar di sekitarnya. Tapi, begitu didekati, mulut gua di pesisir barat Aceh sekitar 100 meter dari bibir pantai itu tampak gahar menganga. Orang menyebutnya Gua Lhoong, karena terletak di Kecamatan Lhoong, sekitar 60 kilometer sebelah tenggara Kota Banda Aceh.

Liang raksasa itu istimewa lantaran menjadi saksi amukan ieu beuna—istilah orang Aceh untuk tsunami—di masa lampau. Di lantai gua terekam jejak tsunami yang melanda Aceh ribuan tahun terakhir.

Adalah tim peneliti dari Universitas Syiah Kuala dan Earth Observatory of Singapore (EOS) yang mula-mula menemukan jejak tsunami purba di dalam Gua Lhoong. Sebelum penemuan tersebut, gua yang menjadi sarang kelelawar di Desa Meunasah Lhok itu nyaris tak terjamah. Warga setempat menjulukinya Gua Ek Gleuntie alias Gua Kotoran Kelelawar.

Meneliti sejak 2010, tim tersebut menyimpulkan 11 tsunami besar telah terjadi di Aceh dalam 7.500 tahun terakhir. Jejak paleotsunami atau tsunami purba tersebut terekam pada sedimen gua yang tumpang-tindih—berwarna cokelat terang dan cokelat gelap.

Endapan cokelat terang merupakan pasir bercampur fosil cangkang biota laut. Pasir itu berasal dari dasar laut yang terangkat dan tersapu ke dalam gua oleh tsunami besar di masa silam. Endapan itu lantas tertutup guano atau kotoran kelelawar—berwarna cokelat gelap—dari kawanan kelelawar yang hinggap di dinding dan atap gua.

Kepala tim peneliti dari Universitas Syiah Kuala, Nazli Ismail, mengatakan, berdasarkan kajian lanjutan, disimpulkan ada lima lapisan tipis di bagian bawah dan lima lapisan tebal di bagian atas sedimen. "Artinya, ada kemungkinan tsunami yang terjadi 7.500 tahun silam gelombangnya kecil," kata Nazli, akhir November lalu. Ini berbeda dengan gelombang laut raksasa yang merenggut ratusan ribu jiwa dan meluluhlantakkan lanskap pesisir barat Aceh sepuluh tahun lalu, yang meninggalkan jejak lapisan tebal.

Dari hasil uji radiokarbon diketahui bahwa tsunami berskala besar antara lain terjadi pada 7.500, 5.400, 3.300, dan 2.800 tahun lalu. Lapisan sedimen pasir paling tebal dan berumur paling muda—terletak paling atas—terbentuk setelah tsunami 26 Desember 2004.

Analisis lanjutan terhadap sedimen tidak ditemukan lapisan akibat tsunami pada 1393, 1450, dan 1907. Namun tim peneliti menemukan bukti tsunami periode itu di tempat lain, seperti di Situs Lamreh, Aceh Besar. "Di sana juga terdapat jejak tsunami 1907, yang berpusat di Kepulauan Simeulue," ujarnya. Jejak tsunami purba itu juga terekam pada sedimen tanah yang berlapis.

Menurut Nazli, hanya tsunami yang dipicu oleh gempa berkekuatan di atas 8 skala Richter yang mampu mengangkut material dasar laut hingga ke dalam Gua Lhoong. Ombak biasa sulit masuk ke gua. Soalnya, selain letaknya yang jauh dari bibir pantai, mulut gua cukup tinggi, sekitar satu meter di atas batas tertinggi air di sana. Apalagi posisi mulut gua menyamping, tak menghadap lurus ke arah laut.

Tempo mendatangi Gua Lhoong pada akhir November lalu. Sebelumnya, pada pengujung 2013, Tempo mereportase gua itu tak lama setelah publikasi hasil riset tim ilmuwan Universitas Syiah Kuala dan EOS. Tak ada yang berubah. Begitu Tempo melintasi mulut gua, aroma tahi kelelawar langsung menyengat, menyentil hidung.

Di bagian dalam gua, terdapat ruangan seukuran hampir tiga kali lapangan voli. Langit-langitnya menjulang setinggi 10-20 meter. Dinding gua berwarna hijau tua, sementara atapnya hijau muda. Lantainya hitam, terdiri atas tanah bercampur guano, benyai saat dipijak. Semakin ke dalam, gua horizontal itu kian gelap. Hanya hitam pekat di depan mata, diselingi sesekali suara kepak sayap dan cericit kelelawar.

Di lantai gua yang gembur inilah Nazli dan timnya dulu melakukan penggalian. Mereka menggali di beberapa titik. Satu titik tampak digali lebih dalam, sekitar dua meter, berukuran sedikit lebih luas daripada liang makam. Dinding tanahnya berlapis-lapis, dengan ketebalan yang beragam serta warna yang berselang-seling cokelat tua dan cokelat muda.

Tapi pengap di dalam, segar di luar gua. Sebuah kebun kini menghampar di sekitar gua, ditumbuhi pohon jeruk dan kelapa yang sudah semeter lebih tingginya. Kebun berlantai rerumputan itu bersambung dengan pasir putih yang berujung di pantai. Dari mulut gua, riak-riak kecil ombak terlihat seolah-olah menari-nari di Samudra Hindia nan biru.

l l l

RIWAYAT ieu beuna purba di Aceh tidak hanya terekam pada lapisan sedimen. Pakar gempa dan tsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, merunut jejak tsunami pada karang-karang di Lhok Pauh, kawasan pantai utara Pulau Simeulue. Menggunakan metode analisis pengangkatan karang dan pemetaan pergerakan lempeng, dia dapat memetakan sejumlah gempa besar di pesisir barat Sumatera sebelum 2004.

Menurut Danny, morfologi karang mencerminkan perubahan air laut. Untuk tetap terpapar sinar matahari, karang harus terus tumbuh mengejar permukaan laut. Akibatnya, karang—yang tumbuh dari tengah ke pinggir—membentuk semacam terasering di laut dan merekam aktivitas geologi masa lampau.

Di Simeulue, yang dekat dengan zona subduksi lempeng Indo-Australia, pertumbuhan karang menggambarkan kenaikan air laut sekitar 4 milimeter per tahun. Kenaikan air laut tidak berarti permukaan laut bertambah tinggi. "Tapi karena dasar lautnya turun akibat aktivitas penunjaman lempeng," kata Danny.

Nah, pada tahun 970, 1390, dan 1440 terjadi anomali. Karang-karang di Simeulue mendadak mati karena terangkat melebihi muka laut. Tingginya bervariasi, antara 20 dan 50 sentimeter. Danny mengatakan gempa besar memicu pengangkatan lempeng itu, yang secara langsung juga mengangkat karang di pinggir pulau. "Ada satu karang bercerita dua gempa sebelum tahun 1390," ujarnya.

Danny tidak tahu pasti seberapa kuat gempa masa silam yang terekam di deretan karang. Sebagai gambaran, ia memberi contoh gempa berkekuatan 9,1 skala Richter pada 2004, yang memicu tsunami puluhan meter. Gempa tersebut menyebabkan koral terangkat hingga 1,5 meter. Dalam satu kasus, Danny menjumpai jejak pengangkatan karang hingga 3 meter akibat gempa tahun 1450. Tak terbayang sedahsyat apa kekuatan gempa itu dan kemungkinan tsunami yang dipicunya.

Danny tidak dapat memprediksi apakah gempa 2004 bakal terulang di Aceh. Tapi ia percaya gempa merupakan proses geologi yang berulang. Demikian pula tsunami, yang dipicu oleh gempa besar. "Periode kasarnya setiap 500-1.000 tahun," kata Danny, mendasarkan pada sejumlah catatan gempa purba atau paleoseismik di Tanah Rencong.

Peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto, pernah menemukan bukti tsunami purba yang menunjukkan adanya repetisi gempa dan tsunami besar di Thailand selatan. Rekam jejak di lapisan tanah itu bertarikh 2005, 550 tahun, 1.700 tahun, dan 2.400 tahun lalu. Bukti tsunami serupa dari tahun 1907, 1861, dan 1797 juga dijumpai di Simeulue dan Aceh Besar, yang diperkirakan dipicu oleh gempa berkekuatan di bawah 9 skala Richter.

Eko mengatakan tsunami 2004 dipicu oleh energi sangat besar yang terkumpul selama ratusan tahun, yang meledak dalam bentuk gempa dahsyat. Meski begitu, dia mengingatkan agar tidak lengah karena perulangan gempa merupakan kodrat bumi sejak jutaan tahun lalu. "Bukan berarti kita aman sampai 600 tahun ke depan," ujarnya. Apalagi, di antara beberapa tsunami purba yang jejaknya terekam itu, terselip bukti adanya lima-enam tsunami kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus