Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Rekonstruksi Usai

Jalan Amerika, masjid Oman, pelabuhan Singapura, perkampungan Jackie Chan. Warga Aceh punya nama-nama bangunan hasil rekonstruksi empat tahun yang berhasil. Sayang, kesuksesan itu tak membuat pertumbuhan ekonomi Aceh melonjak. Aceh masih tertinggal dibanding wilayah lain. Masalah tanah, hibah, juga barak pengungsi masih membayang. Bagaimana mereka menyelesaikannya?

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jejak Samar Sisa Tragedi
Lambung dan Ulee Lheue, yang luluh-lantak akibat tsunami, kembali pulih. Pemerintah menata Banda Aceh dengan taman dan penertiban sungai.


SEPULUH tahun setelah tsunami melenyapkan kerabatnya, Hardiyansah mampu menceritakan tragedi itu dengan tenang. Sesekali matanya memang berkaca-kaca ketika ditemui Tempo pertengahan bulan lalu. Tapi, kata warga Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, ini, "Agama mengajarkan saya bersabar."

Pada akhir 2004, Hardiyansah bersama empat adik-kakaknya yang telah yatim-piatu—Tursina, Amelia, Fauziah, dan Arjunaini—tinggal di rumah neneknya, Tsawiyah, yang berusia 80 tahun. Ada sembilan orang di rumah itu, termasuk bibi, nenek, dan keponakan Hardiyansah.

Pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, Hardiyansah sedang di Pasar Blang Oi, sekitar satu kilometer dari rumahnya. Tiba-tiba gulungan ombak datang. Beruntung, ia menemukan pohon kelapa, yang ia peluk erat. Berkali-kali ia mereguk air hitam keruh. Ketika air mulai tenang, tubuhnya penuh luka dihantam aneka barang yang hanyut. "Paru-paru saya kemasukan air kotor," katanya.

Hardiyansah kehilangan adik, bibi, dan keponakan, yang tak pernah diketahui kuburnya. Adik lelakinya, Nasrullah, selamat dan berhasil menyelamatkan neneknya. Ia membawanya menuju tempat tinggi. Sang nenek meninggal beberapa tahun lalu. Kini Hardiyansah tinggal di rumah yang dibangun Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, bersama istrinya, Cut Deviani.

Di Desa Lambung pula Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal, kehilangan neneknya, Khadijah. "Kami tak menemukan mayat Nenek," kata Illiza.

Penduduk Lambung, tempat Hardiyansah kini menjadi sekretaris desa, sekitar 2.000 orang. Hampir semua lenyap disapu gulungan air. Permukiman itu rata tanah. Hanya dua ratusan orang selamat. Satu-dua korban saja yang jenazahnya ditemukan. Hanya satu rumah bisa bertahan, milik saudagar Nahrawi, yang kini dijadikan Monumen Tsunami.

Tidak jauh dari rumah Nahrawi, kini berdiri bangunan penyelamat bantuan dari Jepang. Dari tempat itu, sepuluh tahun lalu, semua bisa melihat Masjid Baiturrahim Ulee Lheue yang berjarak satu kilometer.

Kini tak tampak lagi jejak bencana. Perumahan berdiri rapi. Jalan beraspal hotmix mulus selebar enam meter. Desa itu kini dihuni sekitar seribu orang, termasuk pendatang dari sejumlah daerah.

l l l

Di ujung utara Pulau Sumatera, Masjid Baiturrahim Ulee Lheue kokoh berdiri. Angin dari arah Pulau Weh di utara berembus keras ke kubah masjid. Masjid ini satu-satunya bangunan yang bertahan di kawasan Ulee Lheue ketika tsunami datang. Sekarang di kiri dan kanan rumah Tuhan itu kembali padat perumahan.

Seratus meter sebelah barat masjid itu, jembatan kokoh menghubungkan jalan dari arah jantung Kota Banda Aceh menuju Jalan Pelabuhan Lama Ulee Lheue. Lewat dari situ, bulevar sepanjang satu kilometer tertata apik. Ulee Lheue, seperti Lambung, merupakan lokasi paling parah pada tragedi sepuluh tahun lalu.

Di balik hutan cemara dekat Pelabuhan Ulee Lhue, Pantai Cermin menghampar. Pantai ini jadi tujuan warga Banda Aceh untuk bersantai. Sofyan, 34 tahun, yang tinggal sekitar sepuluh kilometer dari situ, mengatakan, sebelum tsunami, hampir tiap Ahad ia pergi ke Pantai Cermin. "Saya biasa mandi air laut," kata Sofyan.

Setelah tsunami, ia merasa ada yang selalu mengingatkannya agar tak ke pantai. Namun ia kini bisa menyingkirkan perasaan itu. Sembari berjalan di kawasan itu pada November lalu, Sofyan mengenang teman-temannya yang juga senang ke Pantai Cermin. Tsunami mengubah ratusan meter daratan menjadi laut. Asrama polisi dan penghuninya lenyap seketika. Pantai bergeser jauh ke arah daratan. "Tak seindah dulu," kata Sofyan.

Kawasan lain yang juga rusak parah terlanda tsunami adalah Kuta Alam, Syiah Kuala, Jaya Baru, dan Kuta Raja. Hampir sepertiga wilayah Banda Aceh yang luasnya 60 kilometer persegi berubah jadi daratan luas tanpa bangunan. Semua wilayah kota itu berbatasan dengan laut.

Statistik Kota Banda Aceh menyebutkan tsunami menelan 27 ribu dari total 263 ribu penduduknya. Semua pasar lumpuh selama sebulan. Ratusan kedai hanyut atau terendam. Lima kantor kecamatan rusak. Seribu pegawai Pemerintah Kota Banda Aceh mengungsi. Belasan ribu hektare hutan bakau, sawah, dan tambak rusak. "Saya berpikir waktu itu kiamat telah datang," kata Wali Kota Illiza.

l l l

PEUNAYONG tak pernah tidur. Kawasan pecinan ini merupakan pusat ekonomi Kota Banda Aceh dan Provinsi Aceh. Sejak subuh, pasar telah terjaga. Menjelang siang, toko di kawasan ini buka hingga malam. Aneka barang kebutuhan pokok, sandang, dan jajanan dijual di sana. Sejumlah hotel dan bank berdiri. Blok-blok bangunan berarsitektur campuran Cina dan Eropa, yang merupakan kawasan bisnis yang sibuk, membuat kawasan ini susah dibedakan dengan kota besar lainnya di Indonesia.

Mereka yang suka wisata kuliner bisa menikmati lezatnya Mie Razali. Tidak jauh dari sini, orang bisa menikmati Kedai Sate Matang di depan Hotel Medan. Ada juga tempat nongkrong beratap langit, Rex Peunayong. Warung kaki lima, dengan aneka macam jenis penganan, juga siap melayani pembeli hingga subuh di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, semacam kawasan Malioboro-nya Banda Aceh. "Banda Aceh tidak seseram yang dibayangkan orang," kata Akhyar Akhi, warga Kota Banda Aceh.

Ia pernah merantau di Jakarta dan kini kembali ke Banda Aceh. Ketika terjadi tsunami, ia menjadi sopir angkutan kota. Dibawa arus bah, mobil yang ia kendarai terganjal kayu, yang membuatnya terangkat di permukaan air. Akhyar selamat. Seseorang yang berada di loteng satu rumah di kawasan Peunayong menyelamatkannya.

Peunayong porak-poranda. Sampah kayu, seng, kasur, dan aneka perabot rumah tangga yang entah datang dari mana menggunung. Bangunan toko memang tidak ambruk. Tapi kawasan yang berjarak sekitar empat kilometer dari pantai ini lumpuh. Baru pada bulan kedua dan ketika setelah tsunami, Peunayong kembali bergairah.

Kota Banda Aceh terus berbenah. Kini kota ini penuh taman. Sungai juga dikeruk dan ditata, dengan taman menghampar di tepinya. Taman kota di tepi Sungai Krueng Aceh, dekat Jembatan Beurawe, seberang Hermes Palace Mall Banda Aceh, ramai dikunjungi orang. Peninggalan bersejarah Taman Putroe Phang, yang merupakan peninggalan Sultan Iskandar Muda, juga ditata.

Banda Aceh juga membangun hutan kota di Tibang, Syiah Kuala, yang dulu parah dilanda tsunami. Lahan ini dulu digunakan sebagai tambak atau kosong tak terurus. Kini di lahan tujuh hektare ini tumbuh 1.500 jenis pohon. Aneka satwa burung pun banyak yang singgah di sana. "Kami menggandeng bank untuk membuat hutan ini," kata Illiza.

Orang mengenal Wali Kota Mawardy Nurdin, yang insinyur tata kota, punya andil besar menata Banda Aceh. Di bawah kepemimpinannya, bandar raya yang jadi ibu kota Provinsi Aceh ini langganan meraih Piala Adipura. Perserikatan Bangsa-Bangsa menganugerahi kota ini sebagai model untuk pengurangan risiko bencana. Pada Februari lalu, Mawardy meninggal akibat sakit. Wakil Wali Kota Illiza Sa'aduddin Djamal menggantikannya.

Program pemberdayaan ekonomi dan partisipasi perempuan melalui Musyawarah Rencana Aksi Kaum Perempuan dalam membuat keputusan publik juga menjadi perhatian Wali Kota Illiza. Banda Aceh juga menjadi kota yang ramah buat kaum difabel. Gedung dan fasilitas umum harus memiliki akses untuk kaum berkebutuhan khusus itu.

Pemerintah Kota Banda Aceh kini sedang menggenjot penyelesaian proyek jalan layang Simpang Surabaya untuk mengatasi kemacetan. Pada jam berangkat dan pulang kerja, Simpang Surabaya menjadi titik macet. Proyek jembatan hampir satu kilometer ini bakal dimulai tahun depan dan ditargetkan selesai pada 2017. "Ini bagian dari mitigasi bencana, untuk jalur evakuasi," kata Illiza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus