"ORANG Afrika ingin upah yang layak. Orang Afrika ingin melakukan kerja apa saja yang dapat mereka kerjakan -- bukan pekerjaan yang didiktekan pemerintah. Orang Afrika ingin hidup di tempat kerjanya, dan bukan diusir-usir keluar lantaran mereka tak lahir di sana. Orang Afrika ingin punya tanah . . ." Siapa lagi yang berkata setajam itu kalau bukan Nelson Mandela. Ia hitam, ia orang Afrika, karena itu ia amat tahu penderitaan bangsanya. Ia nyatakan sikapnya: agar orang-orang hitam bisa berdiri sama tinggi dengan segelintir orang kulit putih yang berkuasa di tanah leluhur orang hitam. Dan karena itu Mandela dipenjara. Di tahun 1964 ia divonis seumur hidup yang dijalaninya sampai sekarang, setelah sebelumnya ia keluar-masuk tahanan. Mandela memang terlahir sebagai simbol perjuangan. Ketika Mandela berusia 12 tahun, ayahnya, Henry Gadla Mandela, mendatangi Pimpinan Keluarga Raja. Henry sudah sakit-sakitan, dan merasa hidupnya tak lama lagi. Maka, ia menitipkan anaknya, Nelson Rolihlahla Mandela. Rolihlahla, itulah kata setempat yang berarti "si pembangkit kerusuhan". "Saya berikan padamu seorang pembantu. Ia bernama Rolihlahla. Ini satu-satunya anak lelakiku. Aku tahu, dari cara dia bicara kepada saudara dan temannya, anak ini punya kecenderungan membela perjuangan bangsa. Aku ingin kau membentuknya seperti yang kauharapkan darinya," demikianlah permintaan si bapak. Mandela menghabiskan masa kanak-kanaknya di lembah subur pebukitan Transkei, di pondok-pondok berlabur putih, tak jauh dari Sungai Mbashe. Ladang-ladang jagung tampak segar, pepohonan menghijau, dan padang rumput tempat sapi digembalakan menghampar. Dari lingkungan begitu kecintaan Mandela pada negeri dan pada masyarakatnya tumbuh berakar. Mandela lahir di Qunu, 18 Juli 1918. Ia memang bukan dari sembarang keluarga. Ayahnya adalah ketua penasihat Pimpinan Keluarga Kerajaan Thembu. Henry Mandela juga anggota Bunga (majelis rakyat) Transkei, yang beranggotakan orang-orang hitam dan putih, yang bertugas memberi saran pada pemerintah Pretoria untuk masalah-masalah lokal. Henry berpoligami, empat orang istrinya. Ibu Nelson, Nonqaphi yang kadang juga disebut Nosekeni, seorang wanita berkepribadian kuat dan bermartabat. Ia dan suaminya tak tanggung-tanggung memberi nama etnis Xhosa kepada anaknya, Rolihlahla. Sebuah nama yang ternyata kemudian amat tepat dengan sepak terjang Nelson Mandela: membangkitkan kerusuhan. Bukan sekadar huru-hara, tapi ramai-ramai buat sebuah cita-cita luhur sesuai dengan martabat manusia: kemerdekaan. Hidup keluarga Mandela di Qunu sangat hangat. Nelson dan kakak-kakak perempuannya mendapat tugas menggembalakan sapi, menggiring domba atau menugal ladang. Tiba-tiba ada peristiwa yang sangat berkesan bagi Si Pembangkit Kerusuhan cilik itu. Suatu malam ia mendapati orang-orang yang lebih tua, orang-orang yang sudah berjenggot, berkumpul bersama melingkari api unggun. Mereka berkisah tentang "masa lampau yang baik, sebelum kedatangan orang-orang putih." "Dan masyarakat kami pun hidup damai di bawah pemerintahan raja dan penasihat mereka yang demokratis. Kami bebas pergi dengan penuh rasa percaya diri, ke segala pelosok negeri tanpa rintangan. Seluruh negeri milik kami . . . "Para tetua pun mengisahkan perang para leluhur kami untuk mempertahankan tanah tumpah darah, segagah aksi para jenderal dan prajurit: Dingane dan Bambata dan Zulu Hintsa, Makana, Ndamble dari AmaXhosa Sekukhuni dan sejumlah lainnya dan utara adalah kebanggaan bangsa Afrika." Ketika kemudian ia masuk ke sekolah misi, Nelson kaget. Di situlah ia mendapati dunia yang berbeda. Buku sejarah di sekolah itu hanya mengenal pahlawan kulit putih. Orang-orang hitam dilukiskan sebagai orang biadab dan pencuri ternak. Perang antara AmaXhosa dan tentara Inggris dicantumkan dalam buku sejarah sebagai "Perang Kafir". Untunglah, di rumah, Mandela kecil mendapat pengetahuan lebih banyak daripada yang diperoleh lewat sekolah. Ia mendengar bagaimana Jenderal Smuts, pada tahun 1921 mengirimkan tentara untuk membantai 163 laki-laki, perempuan dan anak-anak, di dekat Bulhoek di Tanjung Timur. Juga bagaimana, beberapa waktu kemudian, pesawat Smuts mengebom wilayah Bondelswarts hanya lantaran masyarakat setempat menolak membayar pajak anjing. Sewaktu berusia 16 tahun, Nelson meluangkan waktunya beberapa minggu di pegunungan bersama kawan-kawan sebaya. Wajah mereka dicat putih, tubuh mereka dililit pakaian rumput. Seperti sebuah upacara penahbisan untuk menjadi lelaki dewasa dan untuk mulai terlibat dalam lembaga adat. Saat itu Nelson bersekolah di Clarkebury. Ia melanjutkan sekolahnya ke SMA di Healdtown lalu kuliah di Fort Hare College hingga sarjana muda. Tak setiap orang hitam bisa begitu. Dari hari ke hari ia makin merasakan ketimpangan di negerinya. Tanah dibagi tidak adil. Buat delapan juta lebih pribumi waktu itu hanya disediakan tanah seluas 12,7 persen dari wilayah negara. Lebih dari 87 persen lainnya khusus buat orang-orang putih yang tak lebih dari dua juta orang. Tiga puluh satu butir ketentuan diberlakukan pada orang-orang kulit berwarna sejak tahun 1910. Yang paling dibenci adalah kewajiban surat jalan. Seorang Afrika harus membawa surat jalan untuk pergi kerja, bepergian, atau keluar malam. Tragisnya, surat itu bisa dibikin oleh siapa pun yang berkulit putih. Ya, asal berkulit putih, tak peduli dia masih di bawah umur, anak-anak sekolah dasar misalnya. Kebersamaan nasib, kebersamaan perasaan, mempertemukan Nelson Mandela dengan Oliver Tambo. Mereka teman kuliah. Dan mereka segera menjadi teman erat, yang hingga kini bahu-membahu memperjuangkan masyarakatnya. Masa itu Nelson menjadi anggota Majelis Perwakilan Mahasiswa. Dan ia berkali-kali ikut protes memboikot ketentuan pemerintah. Di tahun 1941, Mandela ikut arus. Ribuan orang pergi ke arah Johannesburg, mencari penghidupan. Menggunakan bis, lalu ganti kereta -- dengan gerbong bertuliskan "Non-Eropa" -- Mandela pergi ke utara, melewati Natal dan berhenti di Egoli. Sebuah kota kering, berpasir, tapi menjanjikan kehidupan: inilah kota tambang emas. Kota itu teramat sesak kumuh, tanpa listrik, tak ada jalan mulus atau telepon. Polisi mondar-mandir merazia surat jalan. Kerusuhan sering meledak, kehidupan keluarga terbelah, dan kriminalitas memuncak. Bagi orang Afrika, inilah tempat untuk merasakan benar tidak adilnya undang-undang warna kulit. Bagi Mandela, hidup di Egoli adalah pelajaran politik. Tumbuh dari lingkungan yang hangat, berstatus, berumah tinggal nyaman, kini ia terlempar ke dunia urban yang keras. Tugas pertama adalah mencari pekerjaan, dan harapan terbaik tertumpu pada tambang emas. Setelah lama di situ ia terhibur: diterima menjadi satpam perusahaan tambang Crown Mines, dan dijanjikan kelak akan diangkat menjadi pegawai administrasi. Maka, jadilah Mandela sebagai satpam yang membawa pentungan dan borgol, menjaga gerbang barak buruh tambang. Baru beberapa hari ia bekerja, ayah angkatnya datang. Nelson pun keluar kerja. Lalu ia pergi lagi ke Alexandra di pinggiran Johannesburg. Alexandra memang membesarkan Mandela. Di kota itu, ia bertemu dengan Walter Sisulu. Seorang yang sudah merasakan betul bagaimana hidup bersebutan pribumi. Sisulu gigih, sampai ia bisa menjalankan sebuah usaha bisnis kecil. Sisulu mau menggaji 2 poundsterling sebulan plus uang komisi untuk pekerja baru. Mandela bergabung di situ. Sisulu yang membiayai kuliah tertulis Mandela di jurusan hukum. Lalu meminjami Mandela uang agar bisa membeli pakaian yang baik buat wisudanya. Mandela pun memasuki dunia orang putih. Sisulu yang memasukkan Mandela bekerja pada pengacara kulit putih. Hari pertama ia ke kantor, seorang juru ketik berkulit putih berkata, "Lihat, Nelson, kita tak mengenal pembedaan warna kulit di sini." Tapi sebentar kemudian ia menjelaskan. "Sewaktu nanti pesuruh datang membawa teh, datanglah dan ambil bagianmu dari nampan. Kami telah membeli dua cangkir buatmu dan Gaur. Kamu harus menggunakan cangkir itu. Beri tahu kepada Gaur. Dan hati-hati, Gaur punya tabiat buruk." Mandela mengatakan hal itu pada Gaur Radebbe, satu-satunya teman sekantor yang berkulit hitam. Gaur seorang radikal. Mendengar itu ia berkata, "Kau perhatikanlah dan lakukan persis seperti yang kulakukan." Sewaktu teh datang, Gaur menyisihkan cangkir baru dan mengambil cangkir lama. Mandela tak senekat itu. Ia memilih pura-pura tak minum teh. Wanita juru ketik lainnya malah acap menyuruh-nyuruh Mandela. Sewaktu seorang klien datang, gadis itu sok menunjukkan sikap kuasa. "Nelson," katanya, "pergilah dan belikan aku sampo dari toko kimia." Saat itulah ia benar-benar marah. Oliver Tambo pindah ke Johannesburg, menjadi guru sains dan matematika. Tambo dan Mandela jadi sering bertemu. Keduanya lalu bergabung menjadi anggota ANC (African Nationalists Congress), kelompok pergerakan orang hitam Afrika Selatan. "Kami tak pernah benar-benar muda. Tak ada dansa, sulit menonton film, tapi senantiasa kami sangat dekat satu sama lain, berdiskusi setiap malam, setiap akhir minggu," kata Tambo. "Bersama sejumlah kawan lain mereka pun membentuk Liga Pemuda. Tujuan mereka mencapai " demokrasi sebenarnya" dan agar orang Afrika menjadi "warga negara penuh". Ketika itu di Afrika Selatan banyak warga India. Mereka pun berjuang melawan politik pembedaan warna kulit. Ini merupakan gema dari langkah Mahatma Gandhi dengan satyagraha-nya pada 1907. Lalu ada Ismael Meer dan J.N. Singh yang melanjutkannya. Dari mereka, Mandela belajar bagaimana mengorganisasikan sebuah gerakan. Tahun 1946 pecah demonstrasi besar. Buruh tambang marah. Mereka dipaksa kerja keras, dan dibayar sangat murah: untuk kebutuhan makan pun tak cukup. Penyakit mewabah. Mereka menuntut kenaikan upah. Lebih dari 70 ribu buruh tambang bergerak ke jalan. Polisi menghadapinya dengan brutal: senapan, bayonet, dan pentungan yang berbicara. Setidaknya sembilan demonstran tewas. Menandai Hari Buruh, Mei 1950, Liga Pemuda menyerukan pemogokan sehari, secara nasional. Polisi lagi-lagi menghadapi para buruh dengan kekerasan. Di Orlando 18 orang Afrika tewas. Bagi para intelektual di Liga Pemuda, rangkaian peristiwa itu benar-benar membuka mata mereka. "Hari itu," kata Mandela, "adalah titik balik bagi hidupku. Dengan mata kepala sendiri kusaksikan kekejaman polisi. Kusaksikan dukungan yang teramat dalam dari para pekerja Afrika menymbut seruan pemogokan." Bukan hanya pekerja tambang yang bisa bergerak. Buruh-buruh lainnya pun hampir mematikan kegiatan semua kota Afrika Selatan. Pada 26 Juni 1950, kegiatan di pelabuhan Elizabeth, Durban dan Alexandra macet total. Suasana kota Cape Town dan Johannesburg pun terguncang, hanya di daerah Transvaal, seruan pemogokan tak banyak disambut. Tahun itu pula Mandela terpilih menjadi Ketua Liga Pemuda. Ia dan tokoh-tokoh liga sepakat: nonkekerasan tetap merupakan jalan terbaik untuk menghadapi pemerintahan bersenjata lengkap dan menjalankan kekerasan. Cara ini, tentu saja, tak mudah. Bagi mereka yang langsung menghadapi kekerasan, ini sebuah risiko besar. Massa semakin berani. Di hari ulang tahun ANC (organisasi ini berdiri pada 1912), ribuan laki-laki dan perempuan bergerak dari New Brighton ke Port Elizabeth. Mereka memasang pita bertuliskan "ANC" di lengan, dan berteriak: "Mayibuye! Africa!" Lalu berarak ke stasiun melewati jalur " Hanya untuk Orang Eropa". Polisi menghadang dan menangkapi ribuan demonstran. Di Transvaal, meski gema pemogokan tak begitu bergema, toh terjadi penahanan: Sisulu dan Nana Sita, dan 52 orang lain, pun ditahan. Di aksi waktu inilah untuk pertama kalinya Mandela ditahan, di Johannesburg. Mestinya ia mengadakan rapat hingga pukul 11 malam. Tapi polisi lebih dahulu menggiringnya. Di jalan-jalan, orang Afrika berteriak-teriak dalam bahasanya. "Kita orang Afrika! Kita orang Afrika! Kami menjerit untuk tanah kami. Mereka mengambilnya. Orang-orang Eropa itu. Mereka harus membiarkan negeri kami bebas...." Yang lain menimpali, "Wahai, petugas! Buka pintu-pintu penjara, kami ingin masuk, kami semua ...." Kerusuhan makin meruyak. Di stasiun New Brighton, polisi menembak mati dua orang hitam. Di lain tempat, 7 orang lagi tewas dan 27 orang luka. ANC memprotes cara pemerintah menghadapi aksi para pekerja. Di Kimberley paling kurang ada 25 orang Afrika ditembak mati. Tahun 1952 mengantarkan Mandela menjadi pemimpin teras ANC. Ia terpilih menjadi wakil ketua ANC, mendampingi Albert Lutuli. Mandela terus saja mengadakan pertemuan-pertemuan, dan bicara di depan massa. Hal yang sebenarnya, menurut keputusan pengadilan, terlarang baginya. Tapi ia tak peduli. Di luar jalur organisasi, Mandela pun bergerak. Ia dan Tambo memutuskan menjadi pengacara bersama. Nama "MANDELA & TAMBO" tertulis pada pelat logam di tingkat dua, gedung milik seorang India. Mereka menerobos dominasi kulit putih di bidang kepengacaraan. Orang-orang Transkei pun segera menyebut mereka sebagai "ahli hukum dari tanah kita". Para klien hitam berdatangan, siang malam, hampir semuanya mengadukan nasib. Sementara itu, pemerintah rasialis makin bersikap keras terhadap oposisi. Sebanyak 156 orang ditahan. Pesawat militer mondar-mandir, mengangkut para tahanan dari berbagai kota. Antara lain, Nelson Mandela. Sidang besar pun dibuka, waktu itu, tahun 1956. Syahdan, ribuan kulit hitam dan simpatisan gerakan antirasialisme berbaris di seputar gedung tempat penyidangan, menyanyikan lagu ANC. Semua yang diadili dinyatakan bersalah. Mereka semua dihukum penjara. Tapi, sebagian di tempatkan di penjara " Eropa", lainnya di penjara "Non-Eropa". Lepas dari penjara, justru gerak langkah Mandela makin hebat. Kini ia di sampingnya seorang wanita muda, cantik, Winnie Nomzamo namanya. Winnie aktif di Liga Wanita, ia pun terlibat dalam sejumlah demonstrasi. Kesamaan sikap politik, dan adanya rasa saling mengagumi mendekatkan keduanya. Mereka meni kah di tahun 1958. Tak soal bagi Winnie bahwa Mandela pernah punya istri dengan tiga anak -- istri itu diceraikan setahun sebelumnya. Keriuhan politik Afrika Selatan tak reda. Ada sebutan "Tahun Afrika", 1960. Ketika itu sejumlah daerah diutara negeri itu bisa merdeka. Kemerdekaan negara-negara tetangga menyulut semangat kaum hitam Afrika Selatan. Kekerasan demi kekerasan terjadi. Korban berjatuhan. ANC menyeru dunia agar memboikot barang-barang dari Afrika Selatan. Tapi rezim Pretoria tak bergeming. Mandela sudah lama bebas. Tapi kemudian ia dan tujuh orang lainnya, berdasarkan undang-undang darurat, ditangkap lagi. Ketika sidang baginya dibuka, ratusan polisi berjaga di koridor pengadilan. Rakyat bergerak, berusaha berada sedekat mungkin ke tempat pemimpinnya diadili. Slogan "Bebaskan Mandela" terdengar di mana-mana. Seorang hakim bertanya: Bukankah kebebasan yang dituntut Mandela adalah untuk menaklukkan orang Eropa? ndak. "Kami tak antiputih," jawabnya. "Kami melawan supremasi putih, dan dalam melawan supremasi putih kami didukung oleh sejumlah orang Eropa. Kami mengutuk rasialisme tanpa peduli siapa yang melakukannya." Nama Mandela makin bergema. Ia bukan lagi Mandela yang harus pura-pura tak doyan teh, seperti dulu. Tak lagi ada yang berani menyuruhnya membeli sampo, biarpun kulitnya tak berubah putih. Kini ia Mandela yang begitu ditakuti pemerintah, begitu dihormati bangsanya. Yang setiap langkahnya selalu dibuntuti. Yang setiap ucapannya selalu dicatat teliti. Setiap seruannya didengar dan dipatuhi oleh ratusan ribu pekerja tambang. Dan dunia bersimpati pada perjuangannya. Saat Mandela disidangkan, kerusuhan meledak di mana-mana, dan orang-orang hitam bertumbangan oleh peluru. Polisi berjaga di setiap tempat penting. Cuti para anggota militer ditangguhkan. Dan apa pun gerakan orang hitam, Mandela-lah yang dituding pemerintah. Lalu pada Juni 196, terjadilah peristiwa pahit bagi perjuangan masyarakat Afrika. Si terdakwa nomor satu Nelson Mandela dijatuhi hukuman seumur hidup. Ia dinyatakan pengadilan rezim kulit putihsebagai dalang berbagai sabotase. Ia juga dianggap hendak menumbangkan pemerintah yang berkuasa dengan kekerasan. Pemerintah Afrika Selatan seolah tak mendengar Mandela berkali-kali berucap bahwa ia tak tertarik pada kekerasan. Bahwa kekerasan tak akan menyelesaikan persoalan. Tuduhan terhadap Mandela sebenarnya adalah berangkat dari semangat rasialis, bukan yang lain. Masuk penjara sudah biasa bagi Mandela. Tapi kini ia harus terus meringkuk di kurungan, meninggalkan keluarga, kawan, dan masyarakat untuk hidup. Ia dibuang ke Pulau Robben, penjara pulau yang terkenal paling ganas di lepas pantai Afrika Selatan, sebagai narapidana no. 466/64. Sekali waktu petugas membentaknya. Mereka mencurigai Mandela menyimpan catatan terlarang, dan menyembunyikannya di dinding sel. Ia memang mendapat kertas untuk menulis surat buat keluarga. Surat itu pun harus selalu ditunjukkan dulu kepada petugas. Dari Pulau Robben, pada 1981 ia dipindahkan ke penjara Pollsmoor. Sebuah bui modern sekitar 45 menit berkendaraan dari Cape Town. Ketika berhasil mengunjungi dan mewawancarainya, seorang profesor hukum Amerika Serikat, Samuel Dash, kaget, karena Mandela terlihat sangat percaya diri, tegas, dan santun. "Sungguh, selama pertemuan itu, aku merasa bukan sedang berhadapan dengan pejuang atau gerilyawan atau ideolog radikal. Aku merasa berjumpa dengan seorang kepala negara," tulis Dash. Kepada Dash, Mandela menegaskan bahwa gerakannya bukan untuk membentuk negara hitam. Tapi negara buat semua. "Berbeda dengan orang kulit putih di mana pun di Afrika, kami sadar orang kulit putih di Afrika Selatan adalah warga negeri ini juga," kata Mandela. "Kami ingin mereka tinggal di sini dan berbagi kuasa dengan kami." Tapi bukan berbagi kuasa yang diperoleh. Mandela tetap dipenjarakan Botha hingga usianya 70 tahun kini. Dan ini hanya menambah marak semangat orang Afrika. Nama Mandela hampir selalu disebut dalam setiap syair lagu pujaan pembebasan bangsanya. Stevie Wonder pun mencipta dan melantunkan Happy Birthday, khusus untuk Mandela. "Sepanjang usia hidupku, aku telah membaktikan diriku sendiri bagi perjuangan bangsa Afrika. Aku telah melawan dominasi putih, dan aku telah melawan dominasi hitam. Aku menghargai gagasan sebuah masyarakat demokratis dan bebas, semua orang hidup bersama dalam keselarasan dan punya kesempatan yang sama. Untuk ini aku hidup dan bempaya memperjuangkannya. Jika memang diperlukan, aku siap mati. Nelson Mandela, mungkin tahanan politik terpenting di abad ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini