RASIALISME di Afrika Selatan bagaikan sebuah lagu abadi. Tak tergoyahkan. Derajat manusia yang dikotak-kotakan berdasarkan ras ini seperti tak pernah terusik. Begitulah apartheid, yang dalam bahasa resmi pemerintah Afrika Selatan disebut aparte ontwikkeling, alias perkembangan terpisah. Artinya, penduduk kulit putih dan hitam sama-sama harus maju tapi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi" mustahil terjadi. Bibit apartheid sudah ditancapkan semenjak kedatangan para bule Barat pada 1652, tertuan dalam bentuk undang-undang dasar. Mereka kaum Kristen Kalvinis, menilai penduduk pribum sebagai "putra Ham" (anak kedua Nabi Nuh yang dikutuk Tuhan untuk menjadi budak. Pandangan inilah yang melahirkan perbudakan. Si hitam pribumi ditempatkan lebih rendah kedudukannya ketimbang si kulit putih pendatang. Perbudakan semakin kukuh setelah dibukanya pertambangan intan dan emas di Afrika Selatan pada 1870. Permukiman mereka terpisah jauh dari perumahan penduduk kulit putih. Sumpek, kumuh, dan berpagar rapat. Sampai abad ke-19, permukiman kulit hitam masih berbaur dengan permukiman kulit putih. Namun, mulai awal ke-20, mereka digusur ke daerah pinggiran. Bahkan, penduduk peranakan pun ikut digusur ke pinggir. Adalah bangsa Belanda, penduduk kulit putih yang pertama kali menetap di Afrika Selatan, pada April 1652. Pemimpin pendatang ini bernama Jan van Riebeeck. Mereka kemudian dikenal dengan julukan Boer atau Afrikaner, yang umumnya bermukim di Cape Town. Kulit putih ini umumnya berbahasa Inggris atau Afrikaans bahasa resmi yang berasal dari bahasa Belanda abad ke-17. Ada pula kelompok etnis Eropa lainnya: Italia, Yunani, Jerman, dan Portugis. Lalu kelompok etnis India -- didatangkan oleh Belanda pada 1860 untuk dipekerjakan di perkebunan kelapa -- yang kemudian banyak bermukim di kota pesisir Durban. Untuk menguasai tanah Afrika Selatan? penguasa kulit putih, pada 1913, memberlakukan Undang-Undang Pertanahan Pribumi (Native Land Act), yang amat rasialistis. Misalnya, melarang kulit hitam (pribumi) membeli tanah di luar daerah yang sudah ditentukan. Bahkan bagi si hitam hak penguasaan tanah luar kota pun dibatasi. Mereka pun seperti burung dalam sangkar, terbatas geraknya. Dan sangkar itu, ya. undang-undang itulah. Misalnya, surat jalan untuk bepergian, terutama memasuki wilayah permukiman kulit putih, bagi si hitam adalah mutlak. Peraturan seperti itu sudah berlaku sejak seabad silam. Bahkan ada Undang-Undang Imoralitas (1927) yang melarang hubungan seks kulit putih dengan kulit hitam. Tahun 1949 perkawinan campuran antara kulit putih dan bukan putih pun dilarang keras. Tahun 1950, undang-undang itu diubah lagi, sehingga kelompok peranakan (kulit berwarna dianggap sederajat dengan kulit hitam. Pada 1939, pemerintah Afrika Selatan membentuk dasar-dasar tanah permukiman. atau dalam bahasa sana disebut Bantustan. Di kawasan Bantustan, yang umumnya gersang, kaum hitam ditempatkan. Kemiskinan, keresahan poliik, korupsi, dan tingkat kejahatan tinggi. Kesehatan masyarakat memburuk, dan banyak masalah lainnya lagi yang nyaris melumpuhkan kemampuan kaum kulit hitam untuk maju. Lucunya, dalam pidato-pidatonya, Perdana Menteri Botha menghendaki agar Bantustan dapat maju seiring dengan pembangunan menyambut era 1980-an. Negara-negara boneka dibentuk. Kalau negara itu ingin merdeka, harus minta restu pemerintah Afrika Selatan lebih dahulu. Tragis memang. Itulah taktik memecah-belah kesatuan suku suku. "Negara-negara merdeka" ini antara lain: Transkei (1976), Bophutha Tswana 1977), Venda (1979), dan Ciskei (1981). Tapi baru di Republik Ciskei", setelah tiga tahun merdeka, untuk pertama kalinya dapat dirasakan "kemakmuran" Perdagangan bebas diberlakukan. Kaum berkulit hitam, untuk pertama kalinya, di republik ini bisa punya tanah, rumah, dan lahan pertanian sendiri. Di Afrika Selatan, di bawah Pieter W. Botha berkuasa sampai kini adalah "Partai Nasional". Partai milik kelompok kulit putih minoritas ini memenangkan pemilihan umum sejak 1948. Akibat poitik rasialisnya yang kejam, hampir setiap saat terjadi kekerasan pembunuhan. Tak heran bila kaum kulit putih, yang menikmati kemewahan, hidup dalam ketakutan pula. Pemilikan senjata api tak bisa dibendung. Tiap orang kulit putih merasa perlu melindungi diri dan keluarganya. Hukum rimba pun sekali-sekali -- atau sering kali malah? -- berlaku Memang, pemerintah, dalam beberapa tahun terahtlir ini mencoba mengubah undang-undang di bidang politik, ekonomi dan sosial. Pertumbuhan penduduk kulit hitam dan modernisasi ekonomi besar-besaran juga memaksa pemerintah mengendurkan sistem apartheid. Alasannya, ketika itu, untuk menuju "pemerintahan multirasial". Tapi, pada kenyataan, semua terasa sia-sia. Prinsip apartheid tak berlanjut, dan inilah yang mendasari setiap tarikan dan embusan napas kehidupan di Afrika Selatan. Dengan upah kecil dan ongkos hidup yang tinggi, kebanyakan orang kulit hitam tak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Sementara itu, pendidikan anak kulit putih malah gratis. Ada tanda-tanda, dalam lima tahun terakhir ini, Afrika Selatan mulai ditinggalkan kaum kulit putih. Sementara itu, pendatang gelap kulit hitam malah semakin membanjir. Menurut catatan pemerintah, hanya sepanjang Januari-April 1986 lebih dari 2.000 orang kulit putih beremigrasi dari Afrika Selatan. Data tak resmi malah menyebut angka di atas 4.500 jiwa. Emigrasi besar-besaran, agaknya, sedang terjadi di ujung selatan benua "hitam" itu. Eksodus kaum kulit putih itu kebanyakan terdiri atas kelompok profesional dan tenaga terdidik. Bahkan menurut pengumpulan pendapat yang diadakan harian The Sunday Times terbitan London, 12 persen responden kulit putih ingin beremigrasi dalam satu dekade ini. Afrika Selatan bukan lagi tanah harapan yang menjanjikan emas bagi sebagian kulit putih, minoritas yang cuma berjumlah 4,5 juta jiwa di negara berpenduduk 25 juta jiwa itu. Afrika Selatan bagi mereka adalah negeri yang menjanjikan huru-hara setiap saat. Suasana politik terus memanas dan perekonomian semakin sulit, agaknya, yang membuat semangat kaum kulit putih untuk berdomisili di negeri ini semakin lumer -- kendati mereka rata-rata punya senjata api. Sanksi ekonomi yang pernah dijatuhkan kepada Afrika Selatan oleh berbagai negara cukup melumpuhkan ekonomi negara itu. Tapi mengapa Botha dengan politik apartheidnya tetap bertahan? Mungkin dugaan yang ditiupkan, entah dari mana, masih tetap dipercaya: bila Mandela sampai berkuasa, habislah orang kulit putih. Telinga Botha tampaknya sudah sangat tuli terhadap pernyataan Mandela bahwa Afrika Selatan negeri bagi si hitam, juga si putih. Atau Botha takut terhadap bayangan kekejamannya sendiri? Takut pembalasan dari mereka yang tertindas? Yulia S. Madjid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini