Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDIRMAN Said masygul terhadap berbagai hasil survei menjelang pemilihan Gubernur Jawa Tengah. Beragam sigi menyebutkan elektabilitasnya berada di kisaran belasan persen. Akibatnya, menurut Sudirman, banyak koleganya tak berani menggelontorkan bantuan buat pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah. "Ngapain buang-buang uang," kata Sudirman, Jumat pekan lalu, menirukan ucapan koleganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudirman menyoroti sigi Lingkaran Survei Indonesia pada 3-10 April lalu. Dalam sigi dengan 600 responden tersebut, elektabilitas Sudirman-Ida hanya 10,5 persen. Sedangkan elektabilitas Ganjar Pranowo dan Taj Yasin Maimoen mencapai 50,3 persen. Sebanyak 39,2 persen responden kala itu belum menentukan pilihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Survei Charta Politika pada akhir Mei lalu malah menunjukkan perbedaan yang makin signifikan. Berdasarkan sigi ini, elektabilitas Ganjar-Taj Yasin mencapai 70,5 persen, sedangkan Sudirman berada pada angka 13,6 persen. Sudirman heran karena, dalam sigi internal, elektabilitasnya mencapai 38 persen.
Keyakinan Sudirman ditopang fakta bahwa partai pendukungnya di Jawa Tengah, yakni Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, telah bergerak untuk mensosialisasi dirinya. PAN, misalnya, bergerak lewat jaringan Muhammadiyah. Adapun kaum nahdliyin, sayap perempuan, dan pengurus Nahdlatul Ulama digarap PKB. "Masak, pergerakan ini enggak ditangkap lembaga survei lain?" ujar Sudirman.
Karena itu, Sudirman tak terlalu kaget ketika perolehan suaranya melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan prediksi sejumlah survei sebelum pemilihan. Berdasarkan hitung cepat Komisi Pemilihan Umum hingga Jumat pekan lalu, perolehan suara Ganjar dan Sudirman hanya berselisih 3 juta pemilih. Ganjar memperoleh 10,2 juta suara atau 58,79 persen, sedangkan Sudirman mendapat 7,1 juta atau 41,21 persen. Adapun tingkat partisipasi pemilih di Jawa Tengah mencapai 68 persen.
Sudirman-Ida hanya unggul di empat kabupaten, yakni Kebumen, Tegal, Purbalingga, dan Brebes, kota kelahiran Sudirman. Di Kabupaten Tegal, Sudirman menguasai 55,6 persen pemilih, di Brebes 60,5 persen, dan di Kebumen 55,6 persen.
Yang mengejutkan, Sudirman unggul tipis di Purbalingga, kota asal Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko. Ganjar memperoleh 242.478 suara, sementara Sudirman meraup 242.526 suara. "Ini mengejutkan karena kami menang di basis PDI Perjuangan," kata Sudirman.
Ketua PDI Perjuangan Jawa Tengah Bambang Wuryanto menuturkan gembosnya suara Ganjar terjadi di tiga kabupaten, di luar Purbalingga. Menurut dia, total suara yang tergerus mencapai 1,9 persen. Bambang menduga penggembosan ini terjadi dalam rentang waktu 36 jam sebelum pencoblosan pada Rabu pekan lalu.
Dalam hitung cepat versi PDI Perjuangan, Ganjar menangguk 59,22 persen. Angka ini meleset dari target minimal yang dicanangkan, yakni 61,6 persen. Bambang sempat memprediksi perolehan suara moderat Ganjar-Taj Yasin 65,4 persen dan suara tertinggi 71,6 persen. "Kami akan mengevaluasi target yang meleset ini secara menyeluruh," ujar Bambang.
Salah satu sebabnya, kata Bambang, ada seruan yang disebarkan melalui pesan pendek untuk mendukung lawan Ganjar-Taj Yasin. Sedangkan di tiga kabupaten itu, menurut laporan anak buah Bambang di lapangan, pesan pendek tersebut disambut juga dengan masifnya gerakan tim Sudirman mendekati pemilih. Jika pergerakan ini dilakukan di seluruh wilayah, Bambang yakin Ganjar bakal kalah. "Untungnya, ini dikerjakan di tiga daerah. Barangkali aktor dan tools mereka kurang," ujar Bambang.
Sudirman membantah memiliki logistik berlimpah. Ia mengatakan elektabilitasnya yang rendah di berbagai survei menyebabkan banyak koleganya tak berani memberikan sumbangan. Sudirman bahkan tak memberikan honor untuk saksi yang bertugas di 63 ribu tempat pemungutan suara. Kepada relawan yang mengawal pencoblosan dan penghitungan, ia hanya menyediakan konsumsi.
Menurut Sudirman, tim suksesnya juga diteror saat hendak membawa uang saksi dari Jakarta ke Semarang pada Kamis dua pekan lalu. Di tengah jalan tol, ada lima kendaraan yang mencegat mobil tim suksesnya. Meskipun mereka tak dirampok, Sudirman mengatakan peristiwa itu mengganggu kondisi psikologis timnya. "Uang konsumsi terlambat datang dan berpengaruh pada kesiapan saksi," ujarnya.
Sudirman sedang memikirkan langkah hukum atas kejadian itu. Sebab, uang tersebut diperoleh dari hasil menggadaikan rumah tinggalnya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Sebagai "pengantin" dalam pemilihan kepala daerah, Sudirman tak ingin terkesan maju dengan tangan hampa. Padahal relawannya telah berkorban dengan menyumbangkan aneka alat peraga kampanye.
Persoalan utama Sudirman adalah tingkat pengenalan publik. Sigi Charta Politika menunjukkan popularitas Sudirman hingga akhir Mei lalu hanya 41,2 persen. Pasangannya, Ida Fauziyah, bahkan hanya dikenal oleh 27,9 persen responden kala itu. Menurut kelaziman, agar terpilih, seorang calon mesti mendapat skor popularitas sekurang-kurangnya 80 persen.
Maka relawan Sudirman-Ida datang langsung ke rumah-rumah pemilih untuk menempelkan stiker berisi foto pasangan nomor urut dua ini. Mereka juga membuat aneka kegiatan, seperti bersih-bersih pantai, malam takbiran bersama pada Lebaran lalu, serta ronda keliling selama sebulan sebelum pencoblosan.
Sudirman juga berfokus pada segmen petani dan nelayan dengan menyerang program Kartu Tani versi Ganjar Pranowo. Dalam debat terakhir, Sudirman menuding Ganjar sebagai gubernur inkumben menelantarkan 4,3 juta petani dan 200 ribu nelayan akibat program ini. "Banyak petani yang kecewa dengan Ganjar," kata bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tersebut.
Bambang Wuryanto mengakui masa transisi program Kartu Tani dimanfaatkan betul oleh lawan politik untuk menggambarkan ruwetnya pemerintahan Ganjar. Akibatnya, kata Bambang, petani meyakini program Kartu Tani menyulitkan, yang membuat mereka tak bersedia memilih Ganjar untuk periode kedua. "Tapi, menurut saya, pengaruhnya tak signifikan," ujar Bambang.
Untuk merebut suara nahdliyin, Sudirman mengandalkan jaringan Ida Fauziyah, bekas Ketua Umum Fatayat, organisasi perempuan Nahdlatul Ulama. Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siroj secara terbuka mengajak warga nahdliyin dan Partai Kebangkitan Bangsa memenangkan Ida. "Semua yang hadir di sini harus ja'ala, bekerja dan berkeringat," ucap Said Aqil pada peringatan Nuzululquran di kantor NU Jawa Tengah, awal Juni lalu. Ja'ala berarti "menjadikan".
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting, Sirojudin Abbas, mengatakan data exit poll menunjukkan sentimen oposisi, yakni PKS dan Gerindra, terkonsolidasi. Elektabilitas Sudirman-Ida makin terkerek karena kehadiran mesin politik PKB. Data exit poll SMRC menunjukkan lebih dari setengah pemilih PKB mendukung Ida Fauziyah. "Kalau faktor PKB ditarik, suara Sudirman-Ida mungkin kurang dari 30 persen," ujar Sirojudin.
Politikus Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan mesin partainya memang bekerja secara efektif di berbagai wilayah. Akibatnya, terjadi kenaikan suara secara signifikan di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Faktor lain yang mengatrol perolehan suara Sudirman-Ida adalah keterkaitan Ganjar dalam perkara korupsi. Ganjar berkali-kali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik. Sirojudin menilai hal tersebut menjadi faktor pelemah Ganjar di mata pemilih. Ini kontras dengan Sudirman yang dikenal sebagai tokoh pemberantasan korupsi. "Tapi efeknya secara ilmiah mesti dilihat lagi," ujar Sirojudin.
Menurut Bambang Wuryanto, isu korupsi hanya laku pada 12 persen pemilih. Ia yakin bukan faktor ini yang membuat suara Ganjar melorot, melainkan hal-hal yang dikemukakannya tadi.
Sehari setelah pencoblosan, Ganjar kembali diperiksa dalam perkara e-KTP. Ganjar mengatakan belum menerima ucapan selamat dari kompetitornya. "Saya pingin ketemu karena sudah kangen," ujar Ganjar. Sudirman belum mengucapkan selamat kepada Ganjar karena menunggu hasil resmi penyelenggara pemilu.Menurut Sudirman, "Setelah itu, kami aman bersikap."
Wayan Agus Purnomo, Stefanus Teguh Edi Pramono, Raymundus Rikang, Andita Rahma (Jakarta), Fitria Rahmawati (Semarang)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo