Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DITEMANI sejumlah pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ketua Umum Megawati Soekarnoputri menatap layar televisi di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu sore pekan lalu. Saat itu, televisi sedang menyiarkan hasil hitung cepat pemilihan kepala daerah serentak yang digelar sejumlah lembaga survei.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Eriko Sotarduga, yang hadir di Teuku Umar, mengatakan Megawati tak berbicara banyak melihat hasil quick count. "Ibu cuma bilang, 'Jawa Timur dan Sumatera Utara di luar perkiraan'," tutur Eriko, Kamis pekan lalu. "Hasil survei internal kami, di dua provinsi itu kami masih bisa menang. Kalaupun kalah, tidak sebesar itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keperkasaan partai banteng sebagai pemenang Pemilihan Umum 2014 seolah-olah memudar. Hasil hitung cepat menunjukkan sejumlah calon yang diusung PDIP kalah telak. Di Jawa Timur, pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno tunduk pada Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak. Perkiraan Lingkaran Survei Indonesia, Saifullah-Puti kalah hingga 8,58 persen. Di Sumatera Utara, Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus kalah oleh Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah. Charta Politika memprediksi selisih perolehan suaranya hampir 10 persen.
Begitu juga di Jawa Barat. Hasanuddin-Anton Charliyan menempati posisi buncit dari empat pasang calon. Indo Barometer memperkirakan selisih suara pasangan itu dengan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum hampir 20 persen. Sedangkan di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen, yang dalam sejumlah survei unggul lebih dari 40 persen dibanding Sudirman Said-Ida Fauziyah, ternyata hanya unggul dengan selisih kurang dari 18 persen.
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur bersama Sumatera Utara merupakan provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak di Indonesia. Memenangi pemilihan kepala daerah di wilayah itu menjadi modal besar untuk bertarung dalam pemilihan anggota legislatif dan presiden tahun depan.
Dari 17 provinsi yang menggelar pemilihan, PDIP hanya menang di enam provinsi. Sedangkan untuk kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengklaim partainya menang di 91 pilkada yang diikuti-atau 152 daerah. "Kami menang 60 persen," ujar Hasto.
Eriko Sotarduga mengatakan partainya akan mengevaluasi hasil pemilihan kepala daerah serentak di wilayah yang kalah. Kader yang tak mampu memenangkan calon di pilkada bakal tersingkir dari daftar calon legislator atau mendapat nomor urut bawah. "Bagaimanapun, ini adalah hasil terbaik," ujar Eriko. "Partai sudah bekerja maksimal."
HASIL hitung cepat pada hari pencoblosan bertolak belakang dengan hasil survei sebelum pemilihan serentak. Di Jawa Barat paling mencolok. Awalnya, hampir semua riset lembaga survei memprediksi pertarungan hanya menjadi milik Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Nyatanya, perolehan suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu-didukung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gerindra-yang semula di bawah 10 persen, melonjak mendekati 30 persen. Begitu pula di Jawa Tengah dan Sumatera Utara.
Ihwal fenomena ini, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei sebelum pilkada lebih kompleks ketimbang quick count. Dalam survei sebelum pencoblosan, responden bisa mengubah atau masih merahasiakan pilihannya. Makin dekat dengan waktu pencoblosan, biasanya pilihan itu lebih sulit berubah. "Maka survei yang dilakukan berdekatan dengan pemilihan biasanya lebih akurat," ujar Burhanuddin. Sedangkan hasil hitung cepat lebih akurat karena pemilih sudah memastikan pilihannya.
Direktur Program Saiful Mujani Research and Consulting Sirojudin Abbas mengatakan survei terakhir lembaganya pada akhir Mei lalu menunjukkan cukup banyak pemilih berkategori lemah di tiap pasang calon. Sirojudin mencontohkan, saat itu, masih ada sekitar 30 persen pemilih lemah Ridwan Kamil. Angka yang lebih-kurang sama ada pada pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. "Pemilih lemah ini membuka peluang mengalihkan dukungannya ke calon lain. Sebagian dari mereka menyebutkan pilihannya akan lebih mantap pada dua-tiga pekan terakhir."
Selain swing voter seperti yang dicontohkan Sirojudin, faktor yang membuat hasil survei gagal meramalkan hasil pencoblosan secara akurat adalah undecided voter atau pemilih yang belum memutuskan atau merahasiakan pilihannya pada saat survei. Burhanuddin Muhtadi menemukan contohnya saat lembaganya menyigi wilayah Bogor.
Menurut laporan petugas survei kepada Burhanuddin, sejumlah pemilih yang berterus terang menyatakan diri sebagai pendukung PKS menjadi bungkam saat ditanyai soal calon kepala daerah pilihannya. "Ada instruksi dari pengurus partai supaya tak menjawab," kata Burhanuddin menirukan jawaban responden. Tak terbaca dalam radar survei, mereka baru menyatakan pilihannya di bilik suara. Responden demikian membuat angka undecided voter tinggi sehingga peluang hasil survei meleset makin besar.
Burhanuddin dan Sirojudin menilai PKS, yang dikenal memiliki pendukung militan, baru "panas" sebulan terakhir. Jaringan mantan gubernur Ahmad Heryawan, politikus PKS yang sepuluh tahun memimpin Jawa Barat, juga dianggap berperan besar menaikkan suara Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Ditambah lagi, isu pergantian presiden yang dilontarkan PKS cukup efektif menghimpun kekuatan anti-Jokowi, yang kemudian berdampak pada penurunan suara calon dari PDI Perjuangan.
Menurut Burhanuddin, isu agama juga menjadi dagangan yang laku dalam pemilihan kepala daerah kali ini. Dukungan sejumlah tokoh agama ikut mengerek elektabilitas calon yang diajukan partai oposisi. Burhanuddin menilai fenomena ini kian kuat seusai pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang membuat Basuki Tjahaja Purnama kalah telak, yang kemudian berimbas ke pasangannya, Djarot Saiful Hidayat, yang kembali berlaga di Sumatera Utara. "Djarot oleh lawan-lawannya diasosiasikan sebagai pendukung 'penista agama'," ujar Burhanuddin.
Hasil pemilihan kali ini, kata Burhanuddin dan Sirojudin, menjadi lampu kuning bagi Presiden Joko Widodo. Terutama di Jawa Barat, yang memiliki pemilih terbanyak se-Indonesia dan medan kekalahan terbesar Jokowi dalam Pemilu 2014. Menurut Sirojudin, hasil exit poll SMRC menunjukkan elektabilitas Jokowi di provinsi itu masih belum mencapai 50 persen meski telah mengungguli lawannya pada 2014, Prabowo Subianto. Selisih suara keduanya dalam exit poll-survei yang dilakukan setelah pemilih mencoblos di bilik suara-masih tipis. "Posisi Jokowi di Jawa Barat belum cukup aman," ujarnya.
Agaknya, hasil pemilihan gubernur inilah yang menebalkan kepercayaan diri kubu oposisi meski jagoannya kalah di tiga provinsi di Jawa. Ketua PKS Mardani Ali Sera menyebutkan perolehan suara partainya dan Gerindra justru bertambah dibanding saat pemilihan legislator empat tahun lalu. "Hasil pilkada kali ini menunjukkan pendukung Prabowo masih solid," kata Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon dengan wajah sumringah, sehari setelah pemilihan.
Pramono, Raymundus Rikang, Wayan Agus Purnomo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo