Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMUAT enam dalil memilih pemimpin, undangan berkop Masjid Al-Ihsan yang beralamat di Jalan Sei Batang Hari, Medan, beredar di grup-grup percakapan online sehari sebelum pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Dengan menukil ayat Al-Quran, edaran itu berargumen tentang larangan memilih pemimpin nonmuslim. Undangan ditutup dengan ajakan melakukan salat subuh berjemaah sebelum berangkat ke bilik suara bersama-sama pada hari pencoblosan, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tak menyebut nama, isi pesan itu jelas mengarahkan pembacanya agar tak memilih pasangan Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus. Dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara, hanya Sihar yang menganut Kristen. Sebagaimana Djarot, Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah, yang menjadi lawan mereka, beragama Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Masjid Baitul Muhsinin di Rantau Prapat, yang berjarak sekitar sembilan kilometer dari Masjid Al-Ikhsan, seruan untuk mendirikan salat subuh berjemaah dan berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara terpampang di spanduk yang membentang di gerbang. Pengurus masjid yang memasangnya mencantumkan slogan: "Dari Masjid ke TPS untuk Kemenangan Umat".
Wakil Ketua Tim Sukses Edy-Musa, Sugiat Santoso, mengatakan berbagai anjuran tersebut menguntungkan jagoannya. "Konsolidasi umat Islam sangat solid pada hari pemilihan," kata Sugiat, Kamis pekan lalu.
Sebelum hari pencoblosan, kampanye menggunakan isu agama dan etnis marak digelar. Yang paling heboh adalah tablig akbar di Lapangan Merdeka, Medan, pada 23 Juni lalu. Bertajuk "Doa untuk Sumut Bermartabat", acara itu dihadiri ustad kondang Abdul Somad Batubara dan Tengku Zulkarnain. Bekas Panglima Tentara Nasional Indonesia, Gatot Nurmantyo, datang sebagai tamu.
Pada saat berceramah, Somad menyelipkan pesan agar hadirin tak lupa melakukan salat subuh berjemaah pada hari pemungutan suara. "Setelah itu, pergi sarapan dan berangkat ke tempat pemungutan suara bersama-sama," ujar Somad. "Cermati track record-nya, apakah dia berasal dari partai penista agama."
Umar Syadat Hasibuan, pengasuh Pondok Pesantren Daarul Muhsinin, Labuhanbatu, Sumatera Utara, mengklaim sebagai pihak yang mendatangkan Somad ke acara tersebut. Menurut Umar, undangan untuk Somad dikirimkan sebulan sebelum acara. "Ustad Somad hanya menyerukan memilih pemimpin yang sesuai dengan ajaran Islam," tuturnya.
Anggota staf manajemen Somad, Nawir Qulubana, tak bersedia menjelaskan kehadiran mubalig kelahiran Asahan, Sumatera Utara, itu. "Ustad datang sesuai dengan undangan saja," ujar Nawir. "Silakan tanya detailnya langsung ke Ustad Somad."
Setelah Somad turun dari mimbar, panggung menjadi milik Gatot. Mula-mula Gatot menyatakan kedatangannya ke Medan untuk melantik pengurus Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia. Tapi, kata Gatot, Edy Rahmayadi mengabarinya bahwa ada Somad dan Zulkarnain dalam tablig itu. "Saya sering mendengar ceramah Ustad Somad, tapi baru pertama kali ini bertemu. Alhamdulillah," ujarnya.
Topik pidato Gatot melebar. Awalnya dia menyinggung peran santri dan ulama dalam kemerdekaan Republik. Lantas Gatot berpesan agar hadirin mencari amal dengan memilih pemimpin yang seiman. Gatot pun menyenggol isu etnis. "Jangan kecilkan jati dirimu dengan memilih pemimpin yang bukan dari Sumatera Utara," kata Gatot, diikuti takbir jemaah.
Pada hari pencoblosan, Edy-Musa mendapat 57,86 persen suara, sedangkan Djarot-Sihar 42,14 persen. Hasil ini melampaui sigi sejumlah survei sebelum pemilihan. Dalam survei Indo Barometer pada 26 Mei-2 Juni lalu, misalnya, elektabilitas Edy-Musa terpaut tipis di bawah Djarot-Sihar. Edy-Musa 36,9 persen, sedangkan Djarot-Sihar 37,8 persen. Tapi ada 25,3 persen responden yang masih merahasiakan pilihannya.
Exit poll lembaga survei Indikator Politik Indonesia terhadap 612 pemilih di Sumatera Utara menunjukkan Edy-Musa paling diuntungkan oleh isu etnis dan agama. Dari 14 alasan memilih kandidat, mereka yang menjawab karena agama sekitar 19,1 persen responden. Dari angka itu, sekitar 70 persen memilih Edy-Musa. Ini meliputi jawaban karena kesamaan agama, mengikuti anjuran ulama, dan menganggap Edy-Musa paling memperjuangkan agama.
Mayoritas pemilih Edy-Musa datang dari suku Melayu dan beragama Islam. Mereka yang bersuku Jawa kelahiran Sumatera Utara pun memilih Edy, yang kampungnya juga di provinsi tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi, isu etnis dan agama sangat mempengaruhi peta elektoral daerah yang kondisi demografinya beragam, seperti Sumatera Utara. Ada tiga etnis mayoritas di sana, yakni Batak, Jawa, dan Melayu. Islam dianut sekitar 63 persen penduduknya. Sedangkan Nasrani dipeluk oleh 33 persen. Maka kedua isu tersebut laku dijual seperti dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017. "Jangan abaikan juga faktor Djarot yang masih diasosiasikan sebagai pendamping 'penista agama'," ujar Burhanuddin.
Sugiat Santoso mengatakan kunci kemenangan Edy ada pada partisipasi pemilih yang meningkat. Dalam pemilihan gubernur tahun ini, tingkat partisipasi pemilih lebih dari 60 persen, sementara dalam pemilihan lima tahun lalu hanya 48,5 persen.
Menurut Sugiat, relawan Edy-Musa mendatangkan pemilih yang rumahnya jauh, seperti di pegunungan dan pesisir, ke lokasi pemungutan suara. "Relawan mengantar-jemput masyarakat yang kesusahan transportasi," ujarnya.
Ketua Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera mengatakan suara Edy-Musa melejit berkat kontribusi alumni 212, kelompok yang mendesak agar Basuki Tjahaja Purnama dihukum dengan tuduhan menista agama. Menurut Mardani, Medan adalah daerah basis terbesar eksponen 212 setelah Jawa Barat, Jakarta, dan Lampung. Dalam pemilihan ini, PKS dan Gerindra menjadi poros utama pengusung Edy-Musa.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy menganggap kekalahan Djarot-Sihar itu lantaran mereka tergerus kampanye negatif menjelang pencoblosan. PPP, yang berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengusung Djarot-Sihar, mengklaim sudah membendung serangan yang menggunakan isu agama.
Menurut Romahurmuziy, dalam sejumlah kampanye akbar untuk Djarot-Sihar, ia berkali-kali menegaskan Djarot tidak berhubungan dengan kasus penistaan agama. Pernyataan itu bahkan sudah dikemas dalam video singkat dan disebarkan secara masif mendekati hari pencoblosan. "Memang belum mampu membendung karena suara PPP di sana sangat kecil, cuma empat kursi," kata Romahurmuziy.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Eriko Sotarduga menyebutkan salah satu faktor yang menyebabkan jagoan mereka rontok adalah kekalahan telak di wilayah perkebunan swasta, antara lain di Asahan dan Langkat. Berdasarkan hitung cepat Komisi Pemilihan Umum hingga Jumat pekan lalu, suara Djarot tertinggal hingga 40 persen. "Masyarakat di sana belum ingin berubah," kata Eriko.
Raymundus Rikang, Dewi Nurita, Budiarti Utami Putri
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo