Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I Ktut Mario adalah sebuah legenda. Di Bali, sekitar tahun 1912, terjadi pembaruan gamelan. Gamelan Gong Kebyar yang komposisinya menyala-nyala penuh bunyi memecah tiba-tiba itu muncul dan menerbitkan gemuruh. Syahdan, ketika pertama kali diperdengarkan di desa-desa Bali, sapi-sapi lepas tunggang-langgang. Pada saat itu, Mario menciptakan Kebyar Duduk (1920). Sendirian ia merespons gending, menampilkan tari yang energetik, gelisah, agresif, penuh emosi, meletup-letup.
Pada 20 Juni lalu seniman Tabanan, kabupaten tempat lahir Mario, seolah ingin membanggakan Mario yang sudah lama tiada itu. Mereka datang ke Wantilan Art Center, Denpasar, menampilkan karya-karya Mario. Karya yang hebat, tapi itu hanya salah satu dari Pesta Kesenian Bali tahun ini. Setiap kabupaten menampilkan karya puncak seniman besarnya. Buleleng dengan Gending Trunajaya karya I Gde Manik, Gianyar dengan tari Sekar Jagat karya Swasti Bandem, Badung dengan Legong Kraton karya Lotering, Denpasar dengan tari Margapati karya Nyoman Kaler, Jembrana menampilkan tari Makepung karya Ketut Swentra.
Pesta Kesenian Bali digagas pada 1979 oleh Gubernur Bali saat itu, Ida Bagus Mantra. Berusia 26 tahun, pesta yang bisa disebut PKB ini adalah festival daerah yang tertua. Festival Kesenian Yogya (FKY), misalnya, diprakarsai Dewan Kesenian Provinsi sejak 1989. Atau Festival Seni Surabaya (FSS), yang tahun ini baru menginjak tahun keenam. Dana dari APBD yang dikucurkan ke PKB juga paling besar: Rp 2,5 miliar. Bandingkan dengan FSS yang Rp 500 juta, atau FKY yang hanya Rp 200 juta.
PKB berdana besar, juga kontroversial: ia kini dituding hanya sebuah rutinitas turistik. "Sekarang sama persis dengan pameran pembangunan," kritik budayawan Aryantha Soetama. Prof. I Wayan Dibia, yang terlibat sejak PKB 1979, membantahnya. "Bila benar-benar mengikuti PKB dari waktu ke waktu, terlihat ada inovasi." Ia mencontohkan perkembangan Gong Kebyar. Selama lima tahun terakhir para penabuh ikut menari saat memainkan gamelan. Dalam PKB kali ini, menurut dia, tarian itu kian sempurna dan bukan cuma pemanis penampilan grup, tetapi sudah menjadi bagian yang utuh.
Di Yogya, dana cekak tak membuat panitia FKY "gentar" mengundang grup-grup dari luar kota. "Sebab, selama ini kesenian Yogya asyik dengan dirinya sendiri, sehingga kurang melihat perkembangan luar," kata Bambang Paningron. Ketua FKY ini sempat waswas karena dana Rp 200 juta, sesuai dengan yang dianggarkan pemerintah daerah, baru turun tiga jam sebelum acara pembukaan.
"FKY butuh seorang entrepreneur yang tahu bisnis," kata Sapto Raharjo, komponis yang menjadi ketua Festival Kesenian Yogyakarta 1999-2000. Itu diperlukan agar panitia bisa membuat program jangka pendek dan jangka panjang secara pasti. Hendro Suseno, seorang perupa, sebaliknya mengusulkan agar panitia FKY berposisi sebagai fasilitator saja. Penyelenggaraan acara diserahkan ke kelompok-kelompok seni sampai ke desa-desa secara swadaya. Mereka mengadakan acara atas koordinasi panitia. "Itu bisa murah dan betul-betul festival publik," katanya.
Toh FKY tetap unik. Pertunjukan Tato Totem di Pantai Parang Tritis karya Bernadetta Sri Harjanti dari STSI Surakarta, misalnya. Tiba-tiba di pantai muncul banyak pasangan pengantin dengan rias campuran Yogya-Barat. Pengantin prianya: sepuluh orang binaragawan dari Ade Rai Gym. Pengantin perempuannya: lengan, dada atas, sebagian wajah, pahanya bertato. Senja itu, di antara debur ombak ujung pantai, para binaragawan itu menggerakkan tubuhnya di sela karang. Pengantin yang ditato merayap, menari, memasuki celah gua.
Festival Seni Surabaya 2004 dibuka tarian Sardono W. Kusumo, Nobody's Body. Sebenarnya anggaran FSS semula Rp 1 miliar. Tapi dari tahun ke tahun dana terus melorot. M. Anis, ketua panitia, malah mengkritik Wakil Gubernur Jawa Timur Sunaryo, yang dinilainya menghambur-hamburkan uang rakyat untuk menyalurkan hobi dalangnya. "Dua kali pementasan wayang Sunaryo itu bisa membiayai festival selama 15 hari ini," tuturnya. Seperti FKY, FSS banyak menampilkan kesenian luar daerahnya. Akibatnya, Syaiful Hajar, perupa Surabaya, menilai panitia kurang jeli melihat potensi seniman Jawa Timur. "Seniman Jawa Timur itu sifatnya separatis, seperti GAM, letaknya tersembunyi, jaringannya putus, dan mereka lebih suka berpindah-pindah," katanya, sedikit berlebihan.
Di luar tiga kota itu, masih ada Festival Riau, Festival Kutai, Makassar Art Forum, dan banyak lainnya. Problematikanya tak teramat istimewa, tapi serius. Begitu banyak festival di Nusantara, namun tak satu pun forum jaringan antarfestival berdiri. Bahkan sebuah buku direktori festival di Indonesia pun kita masih belum punya. Padahal itu banyak membantu. Sebab, seperti dikatakan I Wayan Dibia, festival harus dipandang sebagai sebuah investasi jangka panjang bagi kebudayaan.
Seno Joko Suyono, L.N. Idayanie (Yogyakarta), Rofiqi Hasan (Denpasar), Agus Raharjo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo