Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rp 40 M: untuk Pangan atau Golkar?

Diduga, Rp 40 miliar dana Bulog dikucurkan Rahardi bukan untuk bantuan pangan, melainkan untuk dana politik Partai Golkar.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA saja Akbar Tandjung jadi begitu pelupa. Aneh. Usianya memang 56 tahun, tapi mestinya ia belum pikun benar. Apalagi untuk mengingat hal-hal yang tentunya luar biasa, seperti penyerahan cek senilai Rp 40 miliar. "Yang benar saja. Kalau empat ribu perak, sih, masuk akal dia lupa," kata Farid Faqih, koordinator Government Watch—lembaga yang pernah intensif menyoroti skandal dana yayasan Bulog semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Ketika dicecar para juru warta, Kamis pekan lalu, politisi yang terkenal licin ini memang bak hilang ingatan. Saat dikonfrontir dengan kesaksian mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan/Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Rahardi Ramelan, sang Ketua Umum Golkar cuma ingat pernah menerima cek senilai itu. Dan setelah itu, kata dia, dana langsung diserahkan kepada sebuah yayasan untuk mengatasi kerawanan pangan. Selebihnya ia lupa. Ketika didesak yayasan apakah gerangan itu, ia cuma menggeleng-geleng sambil berkata, "Nanti saya jelaskan lebih lanjut. Saya kan perlu mengingat-ingat kembali."

Terganggunya memori Akbar berkaitan dengan peristiwa penting dua hari sebelumnya. Selasa pekan lalu, seusai diperiksa di Kejaksaan Agung sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana Bulog sejumlah Rp 54,6 miliar, Rahardi merilis sebuah pengakuan penting. Untuk pertama kalinya, setelah hampir setahun "menghilang" ke Amerika dan Eropa Timur, sobat B.J. Habibie ini membuat kesaksian terbuka.

Rahardi menyatakan, ia memang diperintah Presiden Habibie untuk mengeluarkan dana. Keputusan diambil melalui sidang kabinet. Sekitar Maret 1999, sejumlah Rp 40 miliar disalurkan melalui Akbar—ketika itu Menteri-Sekretaris Negara—dalam rangka penanggulangan krisis pangan. Bentuknya berupa pengadaan sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) dalam skim Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pengeluaran lain senilai Rp 10 miliar dilakukan berdasarkan keputusan rapat kabinet Mei-Juni pada tahun yang sama. Kali ini mengucur ke Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI Jenderal Wiranto untuk keperluan anggaran pengamanan swakarsa. Kedua pos ini ditetapkan sebagai pinjaman yang mesti dikembalikan ke Bulog dari anggaran belanja negara tahun berikutnya. Adapun sisanya, Rp 4,6 miliar, dikucurkan kepada PT Goro Batara Sakti milik Tommy Soeharto sebagai pinjaman untuk penyelesaian pembatalan proyek tukar guling tanah milik Bulog.

Tak pelak, pengakuan ini lantas memperkuat berbagai sinyalemen sebelumnya bahwa sebagian besar uang itu sejatinya telah disalahgunakan sebagai dana politik Golkar. Februari lalu, soal ini pertama kali diembuskan Menteri Pertahanan Mahfud Md. "Catat ini, Golkar menerima Rp 90 miliar dari Bulog pada Pemilu 1999," katanya. Setelah itu, badai langsung menerjang Slipi, markas Golkar. Mesin Orde Baru ini menuai tuduhan telah menyalahgunakan uang negara. Paguyuban Korban Orde Baru dan Pijar Keadilan lalu mengajukan gugatan supaya Mahkamah Agung membubarkan Golkar. Tapi, pada akhir Juli lalu, karena dinilai tak didukung bukti kuat, tuntutan ini ditolak majelis hakim.

Imbasnya buat Golkar pun tak kecil. Beringin terpecah-pecah. Oleh sejumlah faksi di dalam Golkar, perkara ini tengah "digoreng" untuk mematangkan kejatuhan Akbar dari kursi ketua umum.

Dan penyidikan kasus Rahardi bisa mendatangkan gema politik berikutnya. Periksalah versi lain yang diungkap tiga petinggi Golkar (dari faksi yang berbeda) yang mengetahui rincian skandal ini. Menurut mereka, kesaksian Rahardi itu telah dipoles di sana-sini. Duit itu jelas masuk Golkar meski tak lewat jalur formal kas partai. Untuk itu, ada lubang-lubang yang perlu ditambal. Indikasi paling jelas muncul dari keterangan lupa dari Akbar soal yayasan itu. "Cerita yayasan itu kan karangan Akbar saja supaya tak menyentuh Golkar," kata sumber TEMPO.

Menurut seorang pengurus teras Golkar dan mantan menteri (di era Habbie), benar bahwa dana itu keluar atas keputusan sidang kabinet terbatas yang dihadiri empat orang. Mereka adalah Rahardi, Akbar, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat/Pengentasan Kemiskinan Hayono Suyono, dan Habibie sendiri. Namun, belakangan baru ketahuan bahwa Akbar ternyata tak menyalurkannya kepada menteri terkait. Ketika dikonfirmasi, Menteri Koperasi Adi Sasono, misalnya, mengaku tak sepeser pun menerima uang itu. "Saya cuma mendengar dana itu sudah cair. Tapi tak se-rupiah pun sampai ke tangan saya," kata sumber itu mengutip ucapan Adi Sasono.

Dana dikeluarkan dalam bentuk cek. Ada dua lembar senilai masing-masing Rp 10 miliar yang ditarik Akbar. Sedangkan sisanya dipecah dalam bilangan Rp 2-4 miliar dan ditarik beberapa orang lain. Ruskandar, Deputi Keuangan Bulog, sempat mengeluarkan tanda terima atas nama Akbar. Sebagian dana itu lalu digunakan untuk kepentingan Golkar. Penyaluran dilakukan melalui Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat, masing-masing sebagai bendahara dan wakil bendahara. Selebihnya, kata sumber itu, dibagi-bagi di kalangan petinggi Beringin. "Saya dikasih tahu, sehabis pemilu, beberapa orang Golkar kaya mendadak," katanya. Salah satu pemimpin puncak, misalnya, sempat santer digosipkan membeli rumah di Boston, Amerika, dan di Australia.

Penjelasan agak berbeda diungkap dua petinggi Golkar lain. Keputusan itu diambil bukan melalui rapat kabinet, melainkan dalam sebuah pertemuan di rumah Habibie di Patra Kuningan, Jakarta. Ketika itu, para petinggi Beringin lagi pusing tujuh keliling. Supaya tak tenggelam pada pemilu Juni 1999, sejumlah langkah mesti diambil. Telah diputuskan dua program harus segera digelar. Salah satunya adalah mendeklarasikan Golkar sebagai partai sekaligus mengampanyekan citra "Golkar Baru". Penanggung jawabnya adalah Agung Laksono. Yang berikutnya tak kalah penting, yaitu menggalang kalangan muda—pemilih potensial yang dikhawatirkan akan berpaling dari Beringin. Program ini dipikul Rambe Kamarul Zaman.

Celakanya, setelah Soeharto jatuh, sumber keuangan tak lagi mengucur deras. Aliran uang dari Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab) telah disetop. Banyak pengusaha lari menjauh. Usul untuk menggaruk pos dana sosial sebesar Rp 600 miliar di Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, yang dipimpin Tanri Abeng, pun dinilai terlalu riskan dari sorotan publik. Maka, muncullah ide itu, dana dipinjam dari pos nonbujeter: Bulog.

Indikasi itu klop jika dicocokkan dengan tanggal pengeluaran dana (lihat tabel). Hanya lima hari sebelum acara deklarasi Partai Golkar di Stadion Utama Senayan, 7 Maret 1999, Rahardi menggelontorkan Rp 20 miliar. Setelah itu, sejak April menjelang pemilu, Rahardi kembali berturut-turut mengucurkan dana. Untuk keperluan ini, mirip dengan versi sebelumnya, uang diserahkan kepada Fadel dan M.S. Hidayat, masing-masing Rp 20 miliar. Sialnya, sekretaris kedua bendahara itu sempat membuatkan tanda terima yang lantas disimpan Ruskandar.

Pembelokan fakta juga terlihat dalam penjelasan ihwal dana untuk Wiranto. Yang sebenarnya, kata para pengurus Golkar itu, anggaran ini bukan untuk pengamanan swakarsa, melainkan untuk operasi khusus di Timor Timur. Tapi mengakui ada kaitannya dengan daerah yang masih saja menjadi sorotan internasional itu tentu bisa merepotkan. Karena itulah perlu dicari fakta lain yang lebih aman. Indikasinya terlihat dari waktu pengucuran dana. Bujet ini dikeluarkan pada Mei 1999. Dan pada bulan inilah Jakarta memang sedang gencar-gencarnya menggelar kampanye untuk memenangi referendum. Majalah ini mencatat pada awal Mei itulah Barisan Rakyat Timor Timur persis didirikan. Ini sebuah organisasi payung kelompok pro-integrasi yang dibangun dengan dana miliaran rupiah. Cuma, tak seperti Akbar, pertanggungjawaban anggaran ini rapi. "Saya tidak tahu apa dikorup atau tidak, tapi laporannya beres," kata sang mantan menteri.

Begitu centang-perenang perkara ini muncul ke permukaan, Akbar terang belingsatan. Kasus penggelapan uang negara ini tidak hanya bisa menyeret karir politiknya hingga tenggelam, tapi juga dapat menjebloskannya ke bui. Dan karena itulah, mungkin, kenapa ia sampai terserang penyakit "lupa dadakan".

Lebih dari sekadar mengaku tak ingat, kata sumber-sumber TEMPO, Akbar dan kelompoknya juga terus berupaya menghapus jejak. Rahardi ditekan habis-habisan untuk tak menyeret-nyeret pihak lain. Rabu malam pekan lalu, diketahui Akbar bertemu secara rahasia dengan Rahardi untuk menyetem nada keterangannya di hadapan penyidik. Masing-masing ditemani pengacara dan Rahardi membawa seorang familinya sebagai saksi. Tekanan juga datang dari jurusan lain. Saat transit di Singapura sebelum terbang ke Jakarta pada 30 September lalu, Rahardi juga sempat didatangi sejumlah petinggi Republik di masa Habibie, antara lain Wiranto dan Adi Sasono. "Ujungnya, cuma Rahardilah yang bakal dijebloskan," katanya.

Bekas Deputi Keuangan Bulog, Ruskandar, mengalami nasib yang sama. Ia dikabarkan sempat dipendam tiga bulan di sebuah tempat yang amat dirahasiakan di Singapura. Berbagai barang bukti pun telah dimusnahkan. Tanda terima, misalnya, kini hilang tak berbekas.

Berbagai kejanggalan itu juga dilihat Muchyar Yara, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar. Ia menyoroti, jika itu benar atas keputusan rapat kabinet, kenapa sampai tak ada bukti tertulis, minimal notulen rapat? Kenapa cuma dinyatakan sekadar berupa perintah lisan? "Warung tegal saja pakai catatan," kata pengacara yang dikenal dekat dengan Wakil Ketua MPR Ginandjar Kartasasmita ini. Soal yayasan termasuk yang perlu dipelototi. Akta pendirian dan tanda terima uang perlu diteliti kesahihannya. "Jangan-jangan tanggalnya dibikin mundur," kata Muchyar.

Bantahan juga datang berduyun-duyun. "Tidak ada kaitannya dengan Golkar," kata Akbar. Fadel pun keras menyanggah tuduhan keterlibatannya. "Sama sekali tidak benar. Saya tidak pernah menerimanya. Dana itu sepenuhnya urusan pemerintah," kata pengusaha yang baru saja terpilih sebagai Gubernur Gorontalo ini. Adapun M.S. Hidayat tak menanggapi permohonan wawancara TEMPO melalui sekretarisnya di DPR.

Sangkalan juga datang dari Adi Sasono. "JPS itu bukan urusan Menteri Koperasi. Selama jadi menteri, saya tak ada hubungan dengan Akbar. Saya juga tidak pernah ke Singapura," katanya dengan nada tinggi. Sayang, penjelasan dari Wiranto tak bisa diperoleh. Melalui sekretarisnya, sang Jenderal cuma menyatakan tak mau berkomentar.

Tapi ada penjelasan menarik dari Habibie. Menurut Muladi, yang baru menemuinya Agustus lalu di Jerman, Habibie sudah memberikan jawaban tertulis yang telah disahkan Konsul Jenderal RI di Jerman. Isinya, Habibie menyatakan benar ia telah memerintahkan penggunaan dana Bulog itu untuk mengatasi krisis ekonomi. Tapi, ini yang penting, ia mengaku belum sekali pun mendapat laporan pertanggungjawaban dari Akbar soal penyaluran dana. Keterangan tertulis itu kini dipegang Muladi dan siap diserahkan ke Gedung Bundar. "Jika itu tidak cukup, dia bilang bersedia diperiksa," kata Muladi.

Pengacara Rahardi, Yan Juanda Saputra, juga menyangkal kliennya telah membelokkan keterangan. "Palsu bagaimana? Kan, semua keterangan itu juga diakui kebenarannya oleh Pak Akbar?" kata Yan. Ia juga membantah kliennya telah ditekan sejumlah pihak, termasuk dalam pertemuan di Singapura itu.

Perkara ini memang bak simalakama buat Rahardi. Jika tak membuka cerita sebenarnya, ia pasti akan tenggelam sendirian. Tapi, kalau hal itu dibuka tuntas, jagat politik Republik bisa oleng. Gelombangnya akan mengempas ke mana-mana. Soalnya, kata Farid Faqih yang bekas orang dalam Bulog itu, fulus sudah telanjur menciprat ke mana-mana. Kas semua partai besar nyaris pernah digerojoki dana gelap ini. Sejumlah di antaranya bahkan telah melesak ke dompet beberapa petinggi pemerintahan saat ini, termasuk ke saku seorang mantan presiden. "Mungkin cuma Partai Rakyat Demokratik yang tidak kebagian," kata Farid tertawa.

Golkar jangan lagi dikata. Perselingkuhan Bulog dengan "partai kuning" memang telah berlangsung lama. Dari dulu, badan penyangga ini telah dijadikan sapi perahnya. Cuma polanya yang berganti dari waktu ke waktu. Soal ini pernah diakui mantan Kepala Bulog Bustanil Arifin. "Saya memang orang Golkar. Dan untuk membiayai kegiatan kampanye, saya menggunakan uang tersebut. Apa ini salah?" katanya.

Pada awalnya, kata Muchyar, duit dari Bulog langsung digelontorkan ke kas Golkar. Berikutnya, karena mulai banyak disorot, rute dibuat sedikit berputar. Caranya, setiap rekanan Bulog yang mendapat jatah proyek mesti menyetor sekian persen keuntungan kepada Beringin. Setelah itu, metode pengaburan dibuat kian canggih. Seluruh dana kutipan itu ditampung dulu melalui Yayasan Dakab, yang diketuai Soeharto. Baru dari situlah duit lalu dikucurkan. Celakanya, setelah Soeharto ambruk, keran Dakab pun langsung disetop. Golkar jelas kelimpungan. Dan dalam keadaan kacau-balau inilah, seperti dalam kasus Rahardi, pola awal kembali dimainkan.

Menurut seorang mantan petingginya, patgulipat ini pernah diperiksa Rizal Ramli, Kepala Bulog di pemerintahan Abdurrahman. Dan hasilnya adalah sebuah kebobrokan yang mencengangkan. Jumlah Rp 54,6 miliar yang kini diributkan itu nyaris tak ada seupilnya. Semasa kepemimpinan Beddu Amang dan Rahardi saja, total pengeluaran yang tak jelas ujung-pangkalnya mencapai angka Rp 2,5 triliun. Juga terlihat, meski telah disamarkan, sejumlah besar dana memang masih mengalir ke Golkar dan berbagai operasi politik yang dirahasiakan. Dalam pembukuan, pos siluman ini lazim dicatat sebagai pengeluaran untuk "tujuan kenegaraan" atau "tujuan khusus" (lihat tabel).

Tapi menemukan sejumput bukti di belantara korupsi Bulog selalu jadi soal. Jangankan kuitansi, untuk apa persisnya setiap pengeluaran dana pun sama sekali tak dirinci. Tiap penarikan untuk Golkar sangat terjaga kerahasiaannya. Duit selalu diberikan melalui cek tunai. Yang tahu seluk-beluk alirannya pun cuma dua orang: Kepala Bulog dan deputi keuangan. Lain dari itu tidak. Kalau dua orang itu tutup mulut, pasti kasus ini akan alot untuk dibongkar.

Karaniya Dharmasaputra, Wens Manggut, Arif Kuswardono, Edy Budiyarso


Dana ”Gelap” dari Bulog Selama Periode Kepala Bulog Rahardi Ramelan (26 Agustus 1998-17 Desember 1999)
Tanggal Jumlah (Rp) Bank Tujuan
27 Agustus 1998 13.000.000.000 BCA Kenegaraan
2 Maret 1999 20.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 2.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 2.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 2.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
2 Juni 1999 4.650.520.784 Bukopin Kenegaraan
3 Juni 1999 5.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
10 Oktober 1999 5.000.000.000 Bank Exim Operasi Khusus
Total * 71.650.520.784  
* Uang Rp 54,6 miliar yang dipersoalkan berasal dari arus pengeluaran di atas.
Sumber: Dokumen Bulog


KRONOLOGI SEKITAR KASUS RAHARDI

1998
26 Agustus:
Rahardi Ramelan, saat itu Menperindag, merangkap jabatan sebagai Kepala Bulog, menggantikan Beddu Amang.

1999
1 Maret:
Rahardi Ramelan selaku Kepala Bulog mengeluarkan memo ke Deputi Keuangan Kepala Biro Pembiayaan Bulog. Isinya, supaya dikeluarkan dana Rp 20 miliar untuk sumbangan.

7 Maret:
Deklarasi Partai Golkar di Senayan.

23 dan 31 Maret:
BPKP berkirim surat ke pemerintah dan meminta dana nonbujeter Bulog masuk ke neraca Bulog.

8 April:
Rahardi minta ke Presiden agar dana nonbujeter Bulog tetap dikelola tersendiri dan pertanggungjawabannya langsung ke Presiden.

14 April:
Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung berkirim surat ke sejumlah menteri—dengan tembusan ke Presiden, yang isinya, dana nonbujeter Bulog agar tetap dikelola tersendiri di luar neraca Bulog.

7 Juni:
Pemilihan Umum.

29 Oktober:
Rahardi tak lagi menjabat Menperindag/Kepala Bulog.


2000

13 Februari:
Menteri Pertahanan Mohammad Mahfud melansir tudingan Partai Golkar mendapat kucuran dana Rp 90 miliar dari dana nonbujeter Bulog.

14 Februari:
Golkar membantah tudingan Mahfud.

15 Februari:
Meski meyakini kebenaran pernyataannya, Mahfud minta maaf ke Golkar.

1 Juni:
Gugatan pembubaran Golkar oleh Pijar Keadilan pimpinan R.O. Tambunan mulai disidangkan di MA.

31 Juli:
MA menolak gugatan Pijar Keadilan. Golkar tetap sah sebagai partai politik.

6 Agustus:
Tim pengacara Partai Golkar menyatakan akan menggugat balik Pijar Keadilan.


2001

9 Juli:
Rahardi resmi menjadi tersangka kasus dana nonbujeter Bulog.

28 Agustus:
Rahardi dinyatakan buron karena tiga kali tak memenuhi panggilan Kejaksaan Agung.

7 September:
Kejaksaan Agung minta bantuan Interpol (lewat polisi Indonesia) untuk memburu Rahardi.

29 September:
Rahardi kembali ke Tanah Air.

30 September:
Kejaksaan Agung mengeluarkan pencekalan untuk Rahardi.

1 Oktober:
Rahardi memenuhi panggilan tim penyidik dari Kejaksaan Agung.

3 Oktober:

  • Rahardi diperiksa. Ia menyerahkan data dan dokumen tentang kebijakan Bulog. Rahardi, seperti dikutip Yan Juanda, pengacaranya, mengakui:
  • Ada pengeluaran dana nonbujeter Bulog Rp 54 miliar atas persetujuan Presiden Habibie, setelah sebelumnya dibahas dalam rapat kabinet.
  • Dana digunakan untuk pembangunan kantor dan pembelian peralatan kantor. Dana tidak digunakan untuk Partai Golkar.

9 Oktober:

  • Rahardi diperiksa dan menyatakan telah mengeluarkan dana nonbujeter Bulog Rp 54,6 miliar. Rinciannya: Rp 40 miliar diserahkan ke Akbar Tandjung—saat itu Mensesneg—untuk keperluan program pengamanan pangan.
  • Rp 10 miliar diserahkan ke Jenderal Wiranto—saat itu Menhankam/Panglima TNI—untuk program pam swakarsa. Sisa dana dipinjamkan ke PT Goro Batara Sakti.

10 Oktober:
Kejaksaan Agung menyatakan keinginannya untuk mengklarifikasi pengakuan Rahardi ke Akbar dan Wiranto.

11 Oktober:
Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Partai Golkar, mengakui adanya dana yang diserahkan Rahardi untuk pengadaan pangan lewat Jaring Pengaman Sosial. Dana diteruskan ke sebuah yayasan, tapi Akbar lupa nama yayasan tersebut.

Dwi Wiyana (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus