Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seruan Keluar ’Jalur’

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOM Amerika yang berjatuhan di Afganistan, sejak 7 Oktober silam, meledakkan kemarahan di mana-mana. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan seruan keras, Senin pekan lalu. Lembaga ini bahkan mendesak pemerintah agar membekukan sementara hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Seruan itu adalah ”seruan keras” kedua MUI dalam waktu tak sampai sebulan. Pada 24 September silam, MUI mengeluarkan seruan jihad seandainya Amerika dan sekutunya menyerang Afganistan.

Dua seruan MUI itu memancing kontroversi. MUI, yang seharusnya mengurus masalah ibadah, keagamaan, sosial kemasyarakatan, dianggap telah keluar ”jalur” dengan merambah wilayah politik. Lembaga yang didirikan Presiden Soeharto pada 1975 itu dinilai tidak berdiri di atas suara semua kelompok Islam—yang suaranya juga terbelah dalam kasus serangan Amerika itu.

Tak kurang dari Menteri Agama Said Agil Husin Munawar menuduh MUI telah berpolitik praktis. Ia juga menyayangkan sikap MUI yang tak berkoordinasi dengan departemennya sebelum mengeluarkan fatwa. ”Meskipun MUI sekarang ini independen, karena menyangkut soal fatwa, apa salahnya berkoordinasi. Saya kan juga masih tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI,” kata Said Agil.

Komaruddin Hidayat, cendekiawan dan pengajar dari Universitas Paramadina Mulya, melayangkan nada yang sama. Menurut dia, MUI seharusnya menjadi mediator yang mengakomodasi banyak pihak (Islam) di Indonesia, baik yang garis keras, moderat, maupun diplomatis. Bukan malah menjadi partisan dari kelompok keras. Komaruddin khawatir, lewat seruan yang provokatif, MUI akan terjebak seperti partai politik.

Pernyataan pemutusan hubungan diplomatik memang sulit digolongkan sebagai fatwa agama. Padahal, untung dan rugi pemutusan itu, juga boikot produk Amerika, seperti pendapat Ketua Umum Partai Amanat Nasional dan Ketua MPR Amien Rais, harus dipertimbangkan benar. Seruan ini, menurut Amien, bukanlah tindakan yang arif. Indonesia sangat bergantung secara finansial, ekonomi, dan perdagangan pada negara maju, terutama Amerika. ”Kenyataan menunjukkan, tangan Amerika ada di atas, dan kita di bawah,” katanya.

Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Alwi Shihab setuju. Bekas Menteri Luar Negeri itu mengatakan bahwa jalur diplomatik yang dibekukan akan merugikan hubungan Indonesia dan Amerika di bidang ekonomi. Akan tetapi, Sekretaris Umum MUI, Din Syamsuddin, menepis tuduhan bahwa lembaganya telah melenceng. MUI punya otoritas keagamaan untuk mengeluarkan pernyataan, kajian keagamaan, bimbingan terhadap umat Islam, katanya. Selain itu, ”Keliru besar kalau ada yang menganggap ini bukan persoalan agama,” tutur Din. Dalam Islam, menurut dia, tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Karena itu, gerakan-gerakan Islam, walaupun bukan partai politik, tidak akan pernah berhenti berpolitik.

Hanya orang yang lupa sejarah, menurut Din, yang beranggapan MUI dan ormas-ormas Islam tidak boleh berpolitik. Apa yang dilakukan organisasi massa Islam seperti Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah selama ini, menurut dia, merupakan langkah politik. ”Dan saya kira, Menteri Agama sangat tahu itu,” kata Din.

Mengenai risiko ekonomi yang mungkin timbul akibat pembekuan hubungan diplomatik, Din mengatakan justru inilah momentum bagi Indonesia berkelit dari dominasi dan kungkungan Amerika. Ketergantungan pada Amerika tidak membawa kesejahteraan bagi pemulihan ekonomi. ”Buktinya, sampai sekarang ekonomi kita tidak pulih, melainkan terus dimainkan oleh IMF,” kata doktor dari Universitas California Los Angeles, AS, itu.

Bagaimanapun, yang jelas bukan kali ini saja sebetulnya MUI melahirkan seruan kontroversial. Sejak dibentuk 26 tahun lalu, lembaga ini beberapa kali mengeluarkan seruan dan fatwa yang ramai di masyarakat (lihat tabel Fatwa dan Seruan Kontroversial).

Karena itu, Komaruddin wanti-wanti agar MUI lebih pandai mengatur diri. MUI harus tahu kapan saatnya mengeluarkan pendapat—untuk sebuah isu atau kejadian—dan kapan berhenti dan tidak berbicara. Majelis itu menjadi referensi kalangan luar negeri, dan pastilah MUI tidak menghendaki dirinya disebut provokator.

Wicaksono, Ardi Bramantyo, Agus Hidayat


Fatwa dan Seruan Kontroversial

Waktu Seruan/fatwa Keterangan
Februari 1998 Jihad nasional menghadapi tekanan ekonomi dan politik. Disampaikan dalam Rakernas MUI dan syukuran atas kesediaan Soeharto sebagai calon presiden.
September 1998 Memprotes penayangan lagu Takdir (Desy Ratnasari) di televisi. Syairnya dianggap menghujat Tuhan.
April 1999 Mengimbau umat Islam agar berpartisipasi dalam pemilu. Menyukseskan pemilu wajib hukumnya.
Juni 1999 Meminta umat Islam memilih partai Islam. Menghadang laju PDI Perjuangan dan Megawati menjelang pemilu.
Juli 1999 Tak setuju RUU Perubahan UU 14/1970 tentang Kehakiman. MUI menolak rumusan RUU yang menyatukan peradilan agama dan peradilan umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus