Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Kejaksaan Agung mengajukan upaya hukum lagi untuk melawan putusan PK Mahkamah Agung dalam perkara Tommy Soeharto? (20 - 28 Oktober) | ||
Ya | ||
78% | 251 | |
Tidak | ||
17,7% | 57 | |
Tidak tahu | ||
4,3% | 17 | |
Total | 100% | 332 |
ORANG Indonesia ternyata tak gampang mengalah. Tepatnya: tak suka kalah. Akibatnya, langsung tak-langsung, wajah hukum kitalah yang amburadul. Contoh terbaru gambaran itu adalah perkara negara melawan Tommy Soeharto dalam kasus tukar guling aset Goro-Bulog. Di peradilan pertama, hakim memenangkan Tommy. Tak menerima putusan itu, penuntut umum menaikkan perkaranya ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) karena putusannya bebas murni. Hasilnya: Tommy harus masuk bui selama 18 bulan.
Alih-alih menerima kalah atas putusan itu, Tommy malah melakoni sejumlah jurus berkelit sekaligus. Pertama, memohon peninjauan kembali (PK) ke MA. Kedua, minta grasi ke presiden. Jurus pertama bergulir agak lama di MA karena harus melalui proses persidangan. Sedangkan jurus kedua langsung gugur di tangan bekas presiden Abdurrahman Wahid. Melihat dua jurus itu tak bisa menghentikan jatuhnya palu eksekusi, Tommy mengeluarkan jurus ketiga: kabur.
Dua pekan lalu, hakim agung MA memperpanjang adu kelit itu dengan menerima per-mohonan PK Tommy. Artinya, terpidana buron itu bebas murni. Dengan keluarnya putusan PK sebagai upaya hukum terakhir, soal ternyata tak lantas selesai. Kejaksaan masih bersiap melawan lagi lewat cara PK kontra PK—sesuatu yang tak diatur hukum, meski ada yurisprudensinya. Repotnya, masyarakat, setidaknya peserta jajak pendapat Tempo Interaktif, setuju dengan jalan yang ditempuh kejaksaan.
Upaya hukum menegakkan keadilan harusnya bukan dengan menerabas tata cara peradilan. Sebab, jika jalan seperti itu terus dipraktekkan, korbannya adalah kepastian hukum itu sendiri. Meski menyesakkan rasa keadilan, karena ber-arti negara menerima kalah, mestinya perlawanan dilakukan lewat cara lain. Misalnya eksaminasi para hakim agung. Selain mendidik para hakim, yang lebih penting adalah menegakkan kepastian hukum. Sebab, pencari keadilan bukan cuma Tommy, tapi juga rakyat kecil.
Jajak Pendapat Pekan Depan: Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menyetujui ide pakar pranata pembangunan Universitas Indonesia, Prof. S. Budhisantosa, bahwa sudah saatnya ada lokalisasi perjudian di Jakarta karena, meskipun dilarang, judi ilegal sulit ditertibkan. Ide lokalisasi judi ini kabarnya meniru proyek Genting Highland di Malaysia, sebuah lokalisasi perjudian eksklusif terbatas. Artinya, itu hanya bagi warga negara yang memang sah melakukan perjudian, baik secara agama maupun ekonomi. Meskipun niatnya baik, ide ini diperkirakan akan mendapat respons negatif dari kelompok-kelompok agama. Bagaimana pendapat Anda sendiri? Suarakan pendapat Anda melalui situs www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo