Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pegiat hak asasi manusia menyoroti kian sempitnya kebebasan sipil.
Masyarakat yang berunjuk rasa mendapat represi dari aparat keamanan.
Kebebasan sipil di dunia maya juga terancam oleh UU ITE.
JAKARTA — Sejumlah pegiat hak asasi manusia menyoroti kian terpuruknya kebebasan sipil meski reformasi telah berjalan 23 tahun. Semakin takutnya masyarakat untuk berpendapat menjadi salah satu indikator buruknya kebebasan sipil itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan jerinya masyarakat menyatakan pendapat terekam, misalnya, dalam unjuk rasa menolak kebijakan pemerintah yang merugikan. Ia mengatakan masyarakat waswas berunjuk rasa menentang omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. “Masyarakat yang berunjuk rasa justru mendapat tindakan represif dari aparat,” kata Rivanlee, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukti lain, masyarakat semakin tak leluasa berekspresi dan berpendapat di dunia maya. Jika ada yang berpendapat lantang dan menyudutkan penguasa di dunia digital, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik siap menjerat. Sempat pula muncul semangat dari Presiden Joko Widodo untuk merevisi Undang-Undang ITE.
Menurut Rivanlee, masyarakat serba takut karena berpendapat di dunia nyata bisa kena represi, sedangkan bersuara di dunia maya bisa dijerat pidana. “Situasi buruk ini bertambah parah lantaran negara melakukan pembiaran," kata Rivanlee.
Peneliti Open Government Partnership Ravio Patra (keempat dari kiri) dan Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (KATROK) usai dibebaskan di Polda Metro Jaya, Jakarta, kemarin. Foto: Istimewa
Ia juga menilai pembungkaman oleh negara semakin berkembang. Salah satu bentuknya adalah peretasan aplikasi di telepon pintar seseorang. Contoh paling pelik adalah kasus aktivis Ravio Patra. Ia sempat diciduk polisi atas tuduhan provokasi lewat pesan yang tersebar melalui aplikasi WhatsApp pada 22 April 2020.
Saat diperiksa polisi, Ravio Patra bercerita bahwa akun WhatsApp miliknya diretas seseorang sebelum pesan bernada provokatif tersebut tersebar. "Sampai sekarang tidak jelas siapa pelakunya," kata Rivanlee.
Kabar teranyar, peretasan aplikasi WhatsApp juga dialami sejumlah aktivis Indonesia Corruption Watch, pegiat antikorupsi lain, hingga mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa hari lalu. Garis merahnya, mereka tengah mengadvokasi 75 pegawai KPK yang terancam dipecat lantaran tak lolos tes wawasan kebangsaan. "Karena kasus sebelumnya tak pernah terselesaikan, konsekuensinya akan terus berulang peristiwa ini," kata Rivanlee.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati sependapat dengan Rivanlee. Menurut dia, semakin tertutupnya kesempatan berunjuk rasa, kriminalisasi hak berpendapat, dan diskriminasi penegakan hukum di dunia digital menjadi parameter menurunnya kebebasan masyarakat sipil saat ini.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta, 5 Desember 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Menurut Asfinawati, seharusnya masyarakat dapat melawan dengan mengandalkan kekuatan politik Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, sesuai dengan konstitusi, DPR merupakan kekuatan yang bisa mengimbangi pemerintah saat menentukan kebijakan.
Celakanya, saat ini DPR tak melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah secara maksimal. Maklum, mayoritas fraksi partai politik di Senayan dikuasai koalisi pendukung pemerintah.
Jika sudah begini, kata Asfinawati, masyarakat sipil tak punya bantuan lain dalam melawan arogansi kekuasaan. "Mau tak mau harus bersuara lebih lantang. Sebab, sesuai dengan rumusan, pemberangusan pendapat harus dilawan dengan pendapat," kata Asfinawati.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, membantah anggapan soal pudarnya kebebasan masyarakat sipil. Ia justru mengatakan pemerintah saat ini sedang berupaya keras membuka akses demokrasi dalam berbagai aspek yang selama ini sulit diakses publik.
Salah satu aspek yang sedang dibuka pemerintah adalah demokratisasi ekonomi. "Pada titik ini, melalui berbagai kebijakan deregulasi, rakyat dapat mengakses negara secara luas," kata Jaleswari kepada Tempo, kemarin.
INDRA WIJAYA | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo