DERETAN atap-atap rumah, yang dibangun penduduk di atas laut,
makin memanjang dan meluas. segitu-pemandangan di sepanjang
pantai Si Bolga belakangan ini--mulai dari Kompleks Pertamina
hingga ke Pelabuhan Rakyat Sambas. Sekitar 1000 rumah saling
himpit dan centang-perenang di pantai itu.
Kota ~Sibolga di Sumatera Utara itu memang terasa makin sempit.
Kawasan ~kotamadyanya memang meliputi 27 kmÿFD. Tapi 55.000 jiwa
penduduk hanya bisa hidup di daratan yang sempit. Sebab lebih
dari separuh kawasan kota berupa lautan.
Pertambahan penduduk yang cukup tinggi hampir berbarengan
dengan membubungnya harga tanah. Kalaupun ada yang mau menjual
tiap mÿFD di sini berharga 2« gram emas. Sewa rumah, Rp 150
ribu s/d 200 ribu setahun setiap petak, harga yang sudah
terlalu mahal menurut ukuran kemampuan penduduk di sana.
Tak hanya warga kota yang merasa tanah semakin sempit dan
sulit. Rencana pembangunan gedung-gedung pemerinrah juga macet.
"Mestinya tahun anggaran ini kami dapat jatah membangun
kantor," kata Kepala Kantor Dept. P & K Kodya Sibolga,
Daeng Malewa.
Proyek pembangunan gedung pemerintah boleh jadi bisa menunggu
sampai perluasan kawasan kota. Tapi rakyat? Dengan sigapnya,
sejak 5 - 6 tahun lalu, mereka mulai "menduduki" lautan.
Berhubung belum ada instansi yang mengurus "persil" di atas
laut, sendiri-sendiri mereka "mengkavelingkan" laut, serta
menancapkan tiang rumah.
"Kalau tidak menggarap laut," ujar Marbun, 28 tahun, yang
tinggal di "kaveling laut" bersama istri dan 3 orang anaknya,
"di mana lagi kami harus berumah?" Dan Pemda Kodya Sibolgapun
memakluminya. "Habis . . . ?" sambut Humas Pemda Tengku Anwar.
Perkampungan laut jadi meluas. Dari rumah ke garis pantai,
jaraknya sampai 200 - 300 m, hanya dihubungkan dengan titian
darurat dari selembar atau dua lembar papan yang selalu digoyang
ombak. Di sana-sini keliharan rumah yang sudah berlampu listrik.
sahkan bebrapa rumah berlangganan air PAM-pipa-pipa air
terentang di antara titian.
Perumahan yang demikian tentu tidak sehat. Titian-btian darurat
sering mencelakakan bocah yang bermain di "halaman" rumahnya
sendiri. Dua anak kecil telah jadi korban, mati tenggelam,
ketika sedang bermain.
Penduduk terpaksa berbondong-bondong mengungsi ke darat bila
laut pasang. Bahaya seperti iru sering muncul. Yang sudah mulai
mengancam adalah bahaya penyakit menular. Pembuangan sampah
semena-mena ke laut--alasannya mempercepat penimbunan laut agar
menjadi daratan -- diramalkan oleh dr. sambang, Kepala Puskesmas
di situ, kelak merupakan sumber penyakit menular. Apalagi di
situ bercampur aduk antara sampah, kotoran dari "WC" dan
anak-anak yang main sembur-semburan air.
Tindakan Pemda Sibolga? Menertibkan "perkavelingan" laut tentu
repot. "Celakanya," kata Humas Pemda, "penduduk kelak akan ribut
bila rumahnya terkena rencana perluasan pelabuhan."
Satu-satunya yang mungkin adalah memindahkan penduduk ke daerah
perluasan kota. Hanya saja, seperti kata Tengku Anwar, perluasan
kota baru ada di angan-angan saja. "Yang ada sekarang haruslah
survei-surveian," ujar Tengku mengaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini