Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah-Rumah Mendesak Laut

Kota Sibolga terasa semakin sempit, tak ada tanah kosong lagi, penduduk terpaksa membangun rumah di permukaan laut. Semua rumah terlalu mahal.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERETAN atap-atap rumah, yang dibangun penduduk di atas laut, makin memanjang dan meluas. segitu-pemandangan di sepanjang pantai Si Bolga belakangan ini--mulai dari Kompleks Pertamina hingga ke Pelabuhan Rakyat Sambas. Sekitar 1000 rumah saling himpit dan centang-perenang di pantai itu. Kota ~Sibolga di Sumatera Utara itu memang terasa makin sempit. Kawasan ~kotamadyanya memang meliputi 27 kmÿFD. Tapi 55.000 jiwa penduduk hanya bisa hidup di daratan yang sempit. Sebab lebih dari separuh kawasan kota berupa lautan. Pertambahan penduduk yang cukup tinggi hampir berbarengan dengan membubungnya harga tanah. Kalaupun ada yang mau menjual tiap mÿFD di sini berharga 2« gram emas. Sewa rumah, Rp 150 ribu s/d 200 ribu setahun setiap petak, harga yang sudah terlalu mahal menurut ukuran kemampuan penduduk di sana. Tak hanya warga kota yang merasa tanah semakin sempit dan sulit. Rencana pembangunan gedung-gedung pemerinrah juga macet. "Mestinya tahun anggaran ini kami dapat jatah membangun kantor," kata Kepala Kantor Dept. P & K Kodya Sibolga, Daeng Malewa. Proyek pembangunan gedung pemerintah boleh jadi bisa menunggu sampai perluasan kawasan kota. Tapi rakyat? Dengan sigapnya, sejak 5 - 6 tahun lalu, mereka mulai "menduduki" lautan. Berhubung belum ada instansi yang mengurus "persil" di atas laut, sendiri-sendiri mereka "mengkavelingkan" laut, serta menancapkan tiang rumah. "Kalau tidak menggarap laut," ujar Marbun, 28 tahun, yang tinggal di "kaveling laut" bersama istri dan 3 orang anaknya, "di mana lagi kami harus berumah?" Dan Pemda Kodya Sibolgapun memakluminya. "Habis . . . ?" sambut Humas Pemda Tengku Anwar. Perkampungan laut jadi meluas. Dari rumah ke garis pantai, jaraknya sampai 200 - 300 m, hanya dihubungkan dengan titian darurat dari selembar atau dua lembar papan yang selalu digoyang ombak. Di sana-sini keliharan rumah yang sudah berlampu listrik. sahkan bebrapa rumah berlangganan air PAM-pipa-pipa air terentang di antara titian. Perumahan yang demikian tentu tidak sehat. Titian-btian darurat sering mencelakakan bocah yang bermain di "halaman" rumahnya sendiri. Dua anak kecil telah jadi korban, mati tenggelam, ketika sedang bermain. Penduduk terpaksa berbondong-bondong mengungsi ke darat bila laut pasang. Bahaya seperti iru sering muncul. Yang sudah mulai mengancam adalah bahaya penyakit menular. Pembuangan sampah semena-mena ke laut--alasannya mempercepat penimbunan laut agar menjadi daratan -- diramalkan oleh dr. sambang, Kepala Puskesmas di situ, kelak merupakan sumber penyakit menular. Apalagi di situ bercampur aduk antara sampah, kotoran dari "WC" dan anak-anak yang main sembur-semburan air. Tindakan Pemda Sibolga? Menertibkan "perkavelingan" laut tentu repot. "Celakanya," kata Humas Pemda, "penduduk kelak akan ribut bila rumahnya terkena rencana perluasan pelabuhan." Satu-satunya yang mungkin adalah memindahkan penduduk ke daerah perluasan kota. Hanya saja, seperti kata Tengku Anwar, perluasan kota baru ada di angan-angan saja. "Yang ada sekarang haruslah survei-surveian," ujar Tengku mengaku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus