ACAP terjadi, seorang anak muda yang pintar tak betah di
universitas. Ia menganggap lembaga pendidikan tinggi itu paling
jauh hanya mencerak "rukang"--sementara berbagai persoalan tak
bisa dipecahkan dengan disiplin model itu.
Daoed Joesoef, Menteri P & K, dalam pidatonya pada pembukaan
seminar 'Ide-ide Barat dan Pendidikan Tinggi di Asia Tenggara'
(Hotel Indonesia, Jakara, 26-28 Juni), juga menyebut soal
keterbatasan universitas itu. Misalnya "Perkawinan antara
pemikiran abstrak dan metode-metode kuantitatif," dalam
kehidupan keilmuan dan pendidikan tinggi di Barat, "menghasilkan
mentalitas terbatas yang khas"--yang bisa sangat bagus untuk
semacam penelitian laboratorium, tapi gagal "bila kenyataan
sosial-politik yang harus dipahami."
Tetapi seminar, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Perguruan
Tinggi seAsia Tenggara (Association of Soutbeast Asian
Institutions of Higher Learning-ASAIHL) tidak memberikan titik
berat pada masalah-masalah mendasar seperti dicontohkan di atas.
Atau seperti yang juga disebut Daoed Joesoef betapa spesialisasi
yang ketat memang sesuai dengan struktur masyarakat sarat yang
terkotak-kotak--dan betapa penyebaran ilmu dan teknologi "bebas
nilai" menyebabkan dipisahkannya 'cara' dari 'tujuan', 'bentuk'
dari 'isi'. "Lulusan Universitas cenderung berpikir adalah
tanggung jawab moral bisa dilemparkan kepada orang lain dan
disiplin lain."
Para peserra dari ncgara-negara ASEAN itu, yang melemparkan 25
kcrtas kerja (terbanyak dari Malaysia) rupanya dihardik oleh
kenyaraan yang lebih mudah nampak banyaknya hal-hal dalam
pendidikan universitas (yang merupakan hasil adaptasi dari barat
itu) yang kurang relevan dengan kebutuhan riil kita. Bagaimana
insinyur lulusan universitas lebih suka disain bangunan model
Barat, misalnya. sagaimana seorang dosen ekonomi menyebut Chase
Manhattan Bank di New York untuk memberi contoh bank yang baik,
sementara di dekat universitasnya ada bank yang bagus.
Semua itu, teknis, banyak berhubungan dengan misalnya soal
penerbitan buku teks sendiri. Seperti ditulis Kasem
Prabriputalon dan Vira Chankong dari Universitas Khon Kaen,
Muangthai. "kerja riset mesti digalakkan" dalam proyek itu.
Tentu, buku teks hanya sebagian dari problem universiras "sarat"
kita. Seperti dikatakan Prof. Mahar Mardjono, Rektor UI kepada
TEMPO, kebutuhan untuk menilai kembali isi dan struktur
universitas kita sebenarnya "sudah lama dirasakan".
Bahkan, sebagai perbandingan, bisa dirasakan oleh lembaga
pendidikan tinggi di kalangan Islam--yang biasanya tidak
dianggap ambilan dari Barat. Pada hal seperti dikatakan Dr.
Harun Nasution, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta) di
rumahnya, "Barat" dalam pendidikan tinggi Islam paling mudah
dilihat pada spesialisasi tadi pembagibagian ilmu agama ke dalam
berbagai jurusan. Ini mula-mula dilakukan oleh misalnya Al-Azhar
di Mesir, universitas tertua di dunia, pada sekitar pertengahan
abad ini--karena meniru sarat. Dengan itu para lulusan menjadi
sama dtngan alumm umversItas profan sarJana yang kurang mampu
menjawab masalah (agama) secara utuh. Itu pula yang terjadi
dengan IAIN.
Lebih lagi ditukarnya sistem kredit (balqah) oleh Al-Azhar,
sistem yang secara khas tetap dipertahankan di pesantren kita,
dengan sistem semester.
Tapi seminar ASAIHIL (dibentuk 1960-an), sebuah pertemuan formal
dan periodik, memang tak bermaksud mengambil keputusan. Kertas
kerja itu pun umumnya hanya mengidentifikasi masalah. "Diharap
yang hadir memikirkan sendiri persoalan yang muncul," kata Dr.
Harsja sachtiar, Dekan FS-UI yang mengusulkan topik "Ide Barat"
ini dalam rapat pengurus ASAHI. Di Canberra tahun lalu. Sebab,
meski masalahnya bukan baru, sebenarnya "belum banyak kalangan
akademis yang menyadari pentingnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini